P R O L O G

280 35 3
                                    

LIBUR musim dingin telah tiba. Park Jihu memilih menghabiskan waktu liburnya pergi ke Jeju di mana neneknya tinggal. Ketika baru turun dari mobil, gadis itu melihat neneknya sedang sibuk mengeluarkan barang-barang lama dibantu pekerja rumah. Di usia yang sudah senja, beliau masih aktif saja melakukan berbagai hal dan tidak pernah mengeluh sakit pinggang.

"Nenek aku datang!" seru Jihu penuh semangat. Ia berlari kecil menuju sang nenek dan memeluknya erat. "Aku sangat merindukanmu."

Neneknya tertawa kecil. "Cucuku sudah besar rupanya. Kenapa tidak memberitahu nenek bahwa kau akan datang ke sini?" tanya Kim Haesook setelah menguraikan pelukan.

"Surprise. Jika aku beritahu itu tidak lagi menjadi kejutan."

"Kau benar. Masuklah terlebih dahulu, nanti nenek menyusul. Barang-barang ini harus segera disimpan ke dalam gudang sebelum salju turun dan menyebabkan nenek kesulitan berjalan."

Jihu menggeleng, ia meraih tangan sang nenek dan menggenggamnya lembut. "Biar aku saja. Lebih baik nenek istirahat di dalam, sisanya biar aku yang menangani dibantu Minhee eonni." Ia mendorong pelan punggung neneknya.

"Harusnya kau yang istirahat. Perjalan Seoul-Jeju tidaklah dekat, sana baringkan tubuhmu di kasur. Perempuan paruh baya itu akhirnya mengalihkan tugas pada sang cucu.

Bersama Minhee, Jihu berjalan menuju gudang yang memiliki bangunan terpisah dari rumah dan letaknya berada di belakang. Tangannya meraih gembok pada pintu dan membukanya menggunakan kunci pemberian Minhee. Ketika pintu gudang terbuka, Jihu langsung terbatuk-batuk cukup lama. Jaring laba-laba memenuhi bagian atas pintu.

"Minhee eonni haruskah kita membersihkan gudang?" tanya Jihu menuju saklar lampu yang ternyata berfungsi.

"Sejak awal memang mau dibersihkan." Jawab Minhee.

Kini gudang terlihat terang dan gadis itu bisa melihat secara keseluruhan isinya. Sangat luas. Ini tidak terlihat seperti gudang, pikirnya. Ia langsung meletakkan barang-barang lama di tangannya diluar gudang dan mulai membongkar barang-barang di dalam gudang, mungkin ia bisa menemukan sesuatu yang berharga.

Dalam proses pembersihan gudang sudah beberapa kali Jihu menjerit atau berlari kecil saat melihat ada kecoa. Dibantu oleh pekerja sang nenek, Jihu mengeluarkan seluruh barang-barang menuju sisi luar gudang yang masih dinaungi atap sehingga tidak akan kebasahan oleh salju.

Waktu pun bergulir dengan cepat. Sudah tiga jam Jihu sibuk merapikan kembali barang dan memasukkannya ke dalam gudang. Namun, sebuah kotak kayu yang lebih seperti peti kecil berukiran bunga mawar merambat di sekeliling kotak telah menarik perhatiannya. Sama sekali tidak terkunci. Penuh kehati-hatian, Jihu meniup kota kayu penuh debu hingga bersih.

Setelahnya, secara perlahan ia membukanya dan langsung menemukan setumpuk surat dengan amplop merah muda. Terakhir, di antara surat itu terselip sebuah foto seorang gadis cantik menggunakan gaun dan ditangannya terdapat sebuket bunga. Lalu di sampingnya ada seorang pria berpakaian formal duduk di sampingnya. Mereka berdua tersenyum melihat ke arah kamera.

Jihu ikut tersenyum melihatnya. Ia mengusap foto itu penuh kasih sayang, bagaikan benda yang mudah rapuh. Dan ia baru menyadari kapan foto itu diambil. Tangannya membekap mulutnya tidak percaya. 14 Februari 1987. Tanggal tersebut tertera tepat di sudut kiri foto.

 Tanggal tersebut tertera tepat di sudut kiri foto

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nek!" Panggil Jihu. Ia berjalan cepat menuju ke rumah dan tidak lupa membawa kotak kayu itu di tangannya.

"Ada apa, Jihu? Kau tidak apa-apa, kan?" tanya Haesook memastikan cucunya tidak terluka.

Jihu menggeleng. Sebagai gantinya ia menunjukkan foto yang didapatkannya dari kotak. "Apa nenek mengenal mereka? Aku menemukan foto ini dari dalam kotak kayu. Di dalamnya juga terdapat tumpukan surat."

Ekspresi wajah Haesook berubah menjadi sendu. Jihu dapat menangkap perubahan itu dan merasa tidak enak pada neneknya. Apakah ia telah lancang membuka kotak kayu itu?

"Kemari," ucap Haesook menjatuhkan bokongnya di atas sofa. Sebagai cucu penurut, Jihu duduk di samping neneknya tanpa membantah. Haesook mengusap-usap beberapa kali foto dalam genggamannya disertai helaan napas berat. "Mereka adalah Ibu dan Ayahku. Maka dari itu mereka nenek dan kakek buyutmu. Tampan dan cantik, bukan?"

"Ya, mereka tampan juga cantik ditambah pakaian yang mereka gunakan." Sahut Jihu jujur.

"Ini foto pernikahan mereka. Jihu bagaimana bisa kau menemukannya? Nenek saja kesulitan."

"Entahlah, nek. Aku menemukannya saat akan meletakkan beberapa barang yang tersisa. Karena penasaran maka aku membukanya dan sebuah kebetulan kotak ini tidak dikunci sama sekali." Tunjuk Jihu pada kotak dalam pangkuannya

Sang nenek mengambil alih kotak tersebut. Meletakkannya di atas meja serta meraih salah satu surat. Jihu mendekatkan diri untuk melihat tulisan di kanan amplop. Di sana tertulis nama Lee Dohyun, begitupun surat-surat berikutnya.

"Itu nama siapa, Nek?"

"Nama Kakek buyutmu. Dia adalah seorang dokter."

Mendengar penjelasan sang nenek membuat Jihu kagum. Ia juga ingin menjadi seorang dokter, ditambah fakta bahwa kakek buyutnya seorang dokter telah membuatnya bertekad bulat untuk menjadi seperti beliau.

"Mau membaca isinya?" tawar Haesook pada cucunya.

Mata Jihu berbinar dan langsung mengangguk penuh semangat. Kini surat itu sudah beralih di tangannya, sangat harum.

"Nenek akan buatkan minum untukmu, pasti kau haus." ucap neneknya beranjak dari sofa. Sedangkan Jihu telah terlarut membaca tulisan dalam surat. Bahkan matanya pun menjadi berkaca-kaca seakan mengerti bagaimana perasaan sang penulis.

Surat itu ditulis menggunakan tulisan tangan indah dan kualitas tinta yang baik, karena hingga kini tulisannya tidak termakan oleh waktu. Jihu membacanya secara perlahan membayangkan dirinya lah yang menulis surat khusus tersebut. Dadanya pun terkadang merasakan gejolak emosi.

19 Mei 1988

Kau itu bagaikan barang antik, selalu dijaga serta dirawat agar tidak mudah rusak.

Kepadamu, tolong diingat bahwa hatiku tetaplah milikmu. Hingga kapanpun.

14 Februari 1989

Selamat ulang tahun pernikahan, suamiku.

Harapanku di hari ulang tahunmu ini adalah agar rasa cintaku untukmu tidak pernah pudar. Apa ini klise? Aku harap tidak dan kau pun tidak tertawa saat membacanya.

Sudah dua tahun.

Mungkin bagi sebagian orang dua tahun merupakan waktu yang singkat, tetapi bagiku abadi. Waktu yang cukup untuk selalu mencintaimu tanpa henti sampai rambutku memutih.

Hari ini akan awal yang baru untukku. Karena kau tahu, mencintaimu tidak pernah membuatku bosan. Rasa cintaku kian bertambah seiring waktu berjalan dan ku harap kau pun begitu. Dan di sini aku selalu menunggumu.

•••

Akan di lanjut setelah ‘Our Summer Hate’ selesai.

What's The End for Us?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang