Perjodohan. Satu kata yang terus berputar-putar selama 3 hari di dalam isi kepala seorang Kim Sohyun. Bagaimana tidak, 3 hari lalu sang Ayah mengatakan bahwa pria yang dijodohkan dengannya akan datang ke rumah untuk mengajaknya pergi jalan-jalan atau bisa disebut sebagai sebuah kencan pertama. Memikirkannya saja sudah membuat kepalanya begitu pening, apalagi malam ini pria itu akan menjemputnya pukul 8 malam.
Sekarang waktu sudah menunjukkan hampir pukul 8 malam dan berakhirlah Sohyun di depan meja riasnya. Malam itu Sohyun menggunakan gaun selutut berwarna pastel cerah yaitu biru, dengan motif bunga kecil yang manis. Potongan selututnya mengembang di bagian bawah, lengkap dengan puff dan ikat mungil yang menonjolkan siluet anggun. Rambut ditata bervolume dengan ujung sedikit curly dan poni samping yang rapi, memberi sentuhan feminin khas era itu. Makeupnya menghadirkan eyeshadow pastel lembut berwarna pink, eyeliner hitam tipis tidak memberikan kesan terlalu dramatis. Blush on dipakai dengan cukup berani di tulang pipi, memberikan rona pink cerah yang segar. Lipstiknya pun tak kalah ikonik, warna pink fuchsia yang glossy, memberikan sentuhan akhir yang manis sekaligus berani, menjadikannya tampak sempurna.
Sohyun menatap dirinya di cermin tanpa ekspresi. Tatapannya begitu datar meski dalam hati ia mengakui bahwa hasil makeup kakaknya tampak sangat cantik, hal ini mengingatkannya pada sang kakak, Jisoo, yang memiliki bakat menjadi perias dan ingin membuka sebuah salon tapi di tentang Ayah mereka yang beranggapan bahwa pekerjaan itu tidak sepantasnya di kerjakan Jisoo, karena dianggap hal itu tidak cocok dengan kakaknya yang dirasa lebih cocok menjadi pembuat kue, terlihat lebih feminin.
"Bagaimana, kau suka, kan?"
Suara Jisoo yang terdengar lembut seperti sebuah harmoni, langsung membuyarkan lamunan Sohyun. Gadis itu tiba-tiba saja mengingat bagaimana Namgil menentang putri sulungnya untuk membuka sebuah salon dan memutuskan menjodohkannya. Perjodohan yang membuat dua insan saling tidak mencintai terpaksa terikat dalam sebuah pernikahan sehingga melahirkan buah cinta mereka berdua.
"Jari jemarimu memang sangat berbakat, eonni," puji Sohyun tersenyum tulus.
"Kau membuatku malu," balas Jisoo dengan pipi merona seperti memakai blush on.
Sohyun memutar tubuhnya menjadi menghadap sang kakak. Kedua tangannya menggenggam tangan mungil Jisoo yang tampak lebih kurus sejak sebulan lalu, ia pun berkata lirih. "Apakah eonni bahagia menjalani pernikahan ini? Kenapa dulu kau menyetujui perjodohan tersebut, padahal aku tau banyak mimpi yang ingin kau gapai terlebih dahulu."
Jisoo menatap lekat kedua mata penuh sorot kesedihan di hadapannya, tangan kanannya yang di genggam Sohyun dan mengulurkannya pada pipi adik manisnya itu, "Sebenarnya ada yang belum kau tahu tentang perjodohanku ..." Jisoo menjeda kalimatnya sambil merapikan poni adiknya yang tampak sedikit tidak rapi. "Perjodohan ini tidak sepenuhnya karena paksaan Ayah. Sejak di bangku sekolah, aku sudah mengagumi sosok suamiku. Dia adalah sosok pria cerdas dengan pandangan jauh ke depan, matanya selalu memancarkan antusiasme akan ide-ide baru. Setiap kata yang ia ucapkan penuh makna dan keyakinan, membuat siapa pun yang mendengarnya terinspirasi. Wawasannya luas, namun kerendahan hatinya yang justru membuatnya semakin memikat hati."
Mata Sohyun tak bisa melepaskan tatapannya dari Jisoo. Ia mengenal kakaknya terlalu baik untuk tidak menyadari sesuatu yang berbeda dalam pancaran mata dan suara Jisoo. Meski kisah yang diceritakannya penuh dengan kekaguman dan kebanggaan, ada jejak yang tersembunyi di sana—sebuah kesedihan yang terlalu dalam untuk diabaikan.
"Eonni, kau... kelihatannya bahagia," ucap Sohyun, mencoba menyeimbangkan rasa penasaran dengan kepedulian. Ia menggenggam tangan Jisoo sedikit lebih erat, berharap kakaknya akan terbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
What's The End for Us?
Fiksi Penggemar14 Februari 1985 Takdir terus mempertemukan mereka seakan memang ditakdirkan bersama. Kim Sohyun hanyalah seorang gadis yang ingin hidup sederhana dan bebas. Ia ingin berpendidikan tinggi setara dengan Ayahnya dengan gelar Profesor. Ia tidak ingin...