5. Sebuah Perayaan

113 23 9
                                    

Seluruh anggota keluarga Tuan Kim sudah berada di meja makan setiap pukul 6 pagi. Sarapan adalah salah satu rutinitas yang harus dilakukan seluruh anggota keluarga tanpa terkecuali. Sohyun hampir saja absen jika Ayahnya tidak menyadari bahwa ia sudah bersiap pergi mengirim berkas lamaran pekerjaan.

Tidak ada kehangatan di antara keluarga ini. Mereka hanyalah sekumpulan orang kaku yang hidup di satu atap yang sama dan menyebutnya dengan kata keluarga. Sesekali hanya terdengar denting piring dan sendok beradu, juga celotehan dari si kecil Yoo. Keponakan Sohyun satu itu mungkin satu-satunya anggota keluarga paling ceria.

Tatapan menusuk dari kakak iparnya telah mengusik waktu sarapannya. Sohyun ingin segera mengakhiri sarapan terlebih dulu daripada anggota keluarga lainnya. Namun hal itu tidak mungkin terjadi, karena peraturan di keluarga ini adalah orang yang pertama selesai makan itu ayahnya baru diikuti anggota keluarga lainnya. Aneh bukan? Tapi itu sudah menjadi tradisi sejak ayahnya kecil dan diterapkan di keluarganya.

Tidak ada pembahasan mengenai kejadian semalam. Ayahnya seakan menganggap itu sebatas angin berlalu yang berarti tidaklah penting.

"Kak lenganmu yang semalam membiru sudah di kompres?" tanya Sohyun membuka obrolan. Hal ini menarik keingintahuan Tuan Kim.

"Memangnya ada apa semalam?" Tanya sang Ayah penuh rasa penasaran.

Sohyun menampakkan senyum sinis pada kakak iparnya. "Semalam kakak ipar me-"

"Semalam oppa tidak sengaja mendorongku dan menyebabkan lenganku terkena sisi meja. Dia bermaksud menghindarkanku dari panci yang akan jatuh tepat di atas kepala, Yah." Sela Jisoo. Lewat gerakan mata ia memohon pada Sohyun untuk tetap diam.

"Betul, Ayah. Semalam aku berusaha menolong istriku agar tidak terkena panci saat sedang berusaha mengambilnya di gudang tanpa meminta bantuan suaminya sendiri." Tambah Yeonseok disertai senyuman penuh kemenangan.

"Lain kali kau harus berhati-hati. Seandainya suamimu tidak ada di sana, mungkin kepalamu akan terluka lebih parah daripada di lengan." Jawab sang Ayah kembali fokus pada sarapannya.

Jisoo hanya mengangguk pasrah. Sohyun yang melihat itu merasa miris, karena kakaknya sama sekali tidak berdaya menghadapi suami yang senang melakukan kekerasan fisik. Sungguh mengerikan, pikirnya. Ia mencoba fokus menyelesaikan sarapan meski diliputi perasaan dongkol. Tapi setelah dipikir lagi pasti percuma saja mengatakan perlakuan kasar kakak iparnya pada sang ayah, tanggapannya selalu memenangkan kakak ipar.

Selesai sarapan Sohyun tidak segera pergi menuju kantor pos. Dia di minta menunggui keponakan paling kecilnya yang ceria bermain sebentar. Kakaknya bilang harus pergi ke rumah temannya dan pergi bersama sang suami. Ayahnya sudah pergi menuju kantor percetakan koran harian milik keluarga mereka yang sudah turun-temurun. Ibunya pun sibuk

"Kapan aku dapat panggilan kerja, ya?" Gumam Sohyun menemani keponakannya menggambar.

Yoo Jaehee menepuk pelan lengan bibinya. "Bibi lebih baik menggambar saja bersamaku. Siapa tahu nanti ada panggilan kerja." Jaehee memberikan pensil warna pada Sohyun juga secarik kertas.

"Baiklah. Kau mau bibi gambarkan apa?"

"Itu terserah pada bibi. Lihat aku sedang menggambar mengenai tata Surya," tunjuk Jaehee pada gambarnya yang sudah hampir selesai. Anak laki-laki berusia 3 tahun itu memang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Bicaranya pun sudah lancar.

"Keponakan bibi sangat pintar. Darimana kau tahu ini tata Surya?"

"Dari buku milik bibi. Nenek bilang, bibi sangat menyukai tata surya sejak berusia 5 tahun. Aku menemukan buku itu di gudang." Sahut Jaehee berusaha menyelesaikan gambarnya.

What's The End for Us?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang