"Perasaanku terlalu besar untuk dikatakan sebagai teman kencan biasa. Benar, aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama saat kita melakukan kencan buta. Dan aku mulai berpikir dengan cara pandang berbeda, bahwa kau merupakan gadis yang memiliki pemikiran unik. Saat bersamamu, aku merasa bahagia."
Sohyun bungkam. Pernyataan cinta secara langsung lebih mengejutkan dibandingkan saat mendengarnya dari acara radio. Keheningan malam serta butiran salju yang turun menambah suasana menjadi lebih serius. Genggaman pada tali tasnya pun semakin mengerat berusaha menyusun kalimat untuk diutarakan.
Di bawah tetesan salju musim dingin kedua insan itu saling memalingkan wajah dan saling terdiam, hanyut dalam pemikiran masing-masing.
"Kau tidak perlu menjawab, karena itu bukan sebuah pertanyaan. Melainkan jawaban atas pertanyaan darimu. Setidaknya aku sudah mengutarakan perasaanku dan itu ..... melegakan."
"Hari sudah malam, sebaiknya kau pulang." Ucap Sohyun menggerakkan tangan kaku bermaksud mempersilakan Dohyun pulang. "Aku juga ingin .... mengucapkan terima kasih ... untuk hari ini." Tambahnya kikuk.
"Aku pulang." sahut Dohyun sangat canggung.
Baru saja akan membuka pintu mobil, terdengar suara orang berdeham dan tidak di sangka berdiri seorang pria paruh baya berusia di atas 40 tahun sedang menatap ke arahnya. Dohyun mengurungkan niat menaiki mobil setelah di pandang cukup tajam.
Menyadari ada orang lain selain dirinya dan Dohyun, perempuan itu menoleh ke samping. Ayahnya berdiri di balik pagar dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Masalah besar pasti akan terjadi.
Sohyun buru-buru mendekati ayahnya. "Appa, kenapa berdiri di sini? Ayo masuk."
"Anak muda, ada yang ingin aku bicarakan. Apa kau ada waktu untuk sekedar mampir minum secangkir teh hangat?" tawar Tuan Kim mengabaikan ajakan sang putri.
Sebelum menjawab, Dohyun melihat kode pemberian Sohyun. Perempuan itu menggelengkan kepala dan membuat raut wajah tidak setuju.
"Tentu, Tuan."
Pada akhirnya ia tidak mengikuti arahan Sohyun.
Secercah senyum tipis telah menghiasi wajah Tuan Kim, ia mengajak Dohyun masuk ke rumahnya. Sohyun langsung mengikuti langkah sang ayah memasuki rumah dan mulai dilanda cemas jika ayahnya telah merencanakan sesuatu pada pria baik itu.
Ruang tamu yang biasanya sepi mendadak berubah ramai dengan keberadaan kakaknya serta kakak ipar bersama anak mereka, keponakan Sohyun. Ibunya juga berada di sana seperti telah menunggu kedatangan mereka berdua. Kakak iparnya bahkan memberikan tatapan menyelidik setelah Dohyun di persilakan duduk.
"Siapa namamu, anak muda?" Tanya Tuan Kim langsung pada inti pembicaraan. Sohyun yang tidak suka basa-basi adalah bukti bahwa ia cukup mirip ayahnya.
"Saya Lee Dohyun, Tuan." Jawab Dohyun penuh kesopanan.
"Apa pekerjaan dan hubunganmu dengan putriku? Juga dari mana kalian bisa saling mengenal?" Tanyanya bertubi-tubi. Sekumpulan pertanyaan mematikan telah keluar.
Sohyun menghela napas. Kejadian delapan tahun lalu telah terulang kembali, di mana kakaknya di antar oleh seorang pria yang menjadi kekasihnya pulang dari sekolah. Semenjak interogasi itu kabarnya tidak pernah terdengar lagi, kecuali berita mengenai kepindahannya ke Busan. Sejak itu pula kakaknya tidak membawa seorang pria ke rumah atau sekedar mengantar sampai di depan rumah.
Dohyun melebarkan senyumnya dan menjawab dengan lugas. "Pekerjaan saya adalah sebagai seorang dokter di salah satu rumah sakit yaitu Bundang. Juga sedang melanjutkan studi sebagai spesialis anak." Ia sempat menjeda kalimat sambil menatap tulus ke arah Sohyun, membuat perempuan itu hampir salah tingkah. "Kami pertama kali bertemu di perpustakaan Universitas. Kim Minjae memperkenalkan kami. Kebetulan saat itu Nona Sohyun merupakan mahasiswa yang sedang menyusun tesis."
KAMU SEDANG MEMBACA
What's The End for Us?
Fanfiction14 Februari 1985 Takdir terus mempertemukan mereka seakan memang ditakdirkan bersama. Kim Sohyun hanyalah seorang gadis yang ingin hidup sederhana dan bebas. Ia ingin berpendidikan tinggi setara dengan Ayahnya dengan gelar Profesor. Ia tidak ingin...