26-Benih cinta?

74 4 0
                                    

“ARJUNAAA!” Denis memekik nama Arjuna di lorong menuju perpustakaan.

BUGH! Denis melayangkan bogem mentah ke wajah Arjuna.

BUGH! Arjuna membalas hal yang sama.

Arjuna mengeratkan tangannya di kerah Denis, namun Denis langsung memukulnya balik hingga sekarang terbalik, Denis yang memegang kendali Arjuna dengan mencengkeram kerah jaketnya.

“Belum puas lo buat Asmara menderita, iya?”

“JAWAB GUE PENGECUT!”

Arjuna geram, dia mendorong Denis sekuat tenaga hingga cengkeraman itu terlepas dan langsung dia layangkan pukulan itu. Namun, nahas tak mengenai Denis. Malah Arjuna terkena boomerang, dia mendapat serangan balik dari Denis hingga tersungkur.

Denis berjungkuk dan mencengkeram kerah Arjuna.

“Lo boleh hina gue sepuas lo. Lo boleh pukulin gue sepuas lo sampai mati. Tapi… tolong jangan buat Asmara menderita, jun.”

Arjuna berkaca-kaca. Dia tertegun dan shock. Bagaimana mungkin seorang Denis yang selama ini dia kenal dingin dan tidak punya belas kasih, di hadapannya ialah seorang pria hangat yang sudah mencair. Denis meneteskan air matanya bahkan sampai wajahnya pun memerah. Itu pertanda, bahwa ucapannya bukanlah main-main.

“Gue akui gue orang jahat. Tapi ternyata lo lebih jahat dari gue.” Ucapnya melepas kerah secara kasar, lalu berdiri membelakangi Arjuna.

“Asal lo tau, sekarang gue adalah perisai untuk Asmara. Ga kenal siapa pun orangnya, kalau dia udah berhasil buat Asmara nangis, jangan menyesal kalau dia akan berakhir lebih menderita lagi.”

“Lo ga ada hak buat ikut campur masalah gue sama Asmara.”

Denis memberhentikan langkahnya, lalu ia berbalik. Dia menatap dingin Arjuna yang tengah berjalan pelan menuju arahnya dengan raut yang sama.

“Kita yang memulai, maka kita juga yang harus mengakhiri masalah itu sendiri,” tekannya menatap tajam Denis sebelum akhirnya pergi.

“Emang dari awal… Lo udah ditakdirin mati di tangan gue jun,” gumam Denis saat Arjuna sudah menjauhinya.

***

Jam sudah menunjukan pukul 12 malam. Waktu emas bagi komplotan Jenderal beraksi kembali setelah sehari vakum. Mereka tak kenal lengah dan lelah meski sudah mendapatkan peringatan keras baik dari warga dan polisi ataupun mendapatkan hukuman berupa kurungan penjara. Tapi hanya demi uanglah mereka gelap mata hingga yang benar saja, mereka buta dan yang salah, mereka anggap jalur yang benar.

Kali ini, Jenderal beraksi di daerah yang sudah lama tak mereka jamah. Yakni di daerah Tambun. Mereka menyebar di beberapa titik perkampungan maupun komplek perumahan dan beberapa toko.

Jundan bersama dengan Asep mencoba menjalankan aksi maling mereka di komplek perumahan baru. Mereka sudah lengkap menggunakan alat penyamaran berupa topeng, jaket dan topi hitam.

“Ayo cepet!” Jundan berjalan mengendap lebih dulu ke sebuah rumah berpagar tak terlalu tinggi. “Aman kan?” tanyanya ke belakang berbisik.

“Aman,” jawab Asep mengacungkan jempol.

Jundan berjalan kembali sampai ia tak menyadari bahwa Asep tiba-tiba di sergap dari belakang oleh dua orang dengan pakaian yang sama percis dengan mereka. Asep tak sedetik pun diberi ruang gerak, beberapa detik ia di sekap dan langsung tak sadarkan diri, lalu ia di bawa oleh satu orang untuk bersembunyi sedangkan satu orang lagi, mengikuti langkah Jundan.

Jundan menoleh. “Sep, lo dulu coba yang naik,” bisiknya. Kemudian, orang yang dikira Asep itu membuka topeng dan terpampanglah wajah Yuda dengan tatapan datar pada Jundan.

“Yuda? Kok …” Jundan terbelalak, ia begitu shock, bahkan ia membuka topengnya.

Jundan mendadak kaku, karena ada 6 orang dari arah berbeda berjalan kearahnya dengan pakaian yang sama dikenakan oleh Yuda, namun tanpa topeng.

Tangan dan bibir Jundan gemetar, jantungnya berdetak tak karuan, bersamaan dengan keringat dingin yang mulai keluar.

“A-ada apa nih kok rame-rame?”

“Jadi benar ya laporan yang saya terima ini …”

Ketika Jundan menoleh ke belakang, sudah ada 3 bapak-bapak yang menatapnya dingin.

“Bahwa sudah ada beberapa orang yang tersebar untuk aksi perampokan di perumahan ini,” ujar Bapak berkumis yang berdiri di tengah. “Dan komplotan yang dulunya pernah meresahkan warga saya, yakni klub motor Jenderal.”

“I-ini bukan seperti yang Bapak liat kok. I-ini fitnah, Pak. Tau darimana kalau saya itu anggota dari Jenderal?”

“Dari sini jun,” Rafan muncul di belakang Bapak-bapak yang berdiri tegap.

Jundan semakin berkeringat dingin, ia mulai was-was.

Rafan menunjukan buku keanggotaan Jenderal yang baru. “Apa lo masih mau ngelak juga? Kalau perlu, Bapak ini bisa cari sendiri nama dan wajah lo di buku ini,” ucapnya bergaya cool.

Gila, dari mana si Rafan dapet buku itu coba?

Rafan memberikan buku anggota Jenderal pada Bapak yang di duga adalah ketua RW setempat.

Beberapa lembar mereka telah buka dan dengan teliti mencari nama Jundan. Dan di halaman ke 5, barulah mereka menemukan foto Jundan.

Rafan tersenyum miring ketika Bapak-bapak itu menatap tajam Jundan. Lalu, tiba-tiba Jundan berlari untuk kabur, tapi untungnya, anggota Phoenix lain lebih cerdik dan cekatan dari Jundan sehingga Jundan baru beberapa langkah, ia sudah di cekal.

“Bawa dia ke kantor polisi!” Perintah ketua RW setempat.

“Pak tolong jangan bawa saya, Pak,” rintih Jundan ketakutan.

Tak ada yang bisa menolongnya, ia pun semakin di bawa paksa oleh dua orang anggota Phoenix yang mencekalnya. Akhirnya, Jundan di kawal dan di tuntun oleh beberapa anggota Phoenix bersama Bapak-bapak RW setempat ke kantor polisi.
Setibanya mereka di kantor polisi, polisi langsung meminta beberapa keterangan dari Jundan. Tak lama, Krisna pun datang dengan gusar dan panik.

“Jundan.”

“Bang,” rengeknya ingin menangis. “Bang gue ga mau di penjara Bang, tolongin gue,” pintanya memohon dengan memegang kedua tangan Krisna di hadapan penyidik yang tengah menginterogasinya.

“Kenapa bisa sampai seperti ini?” Tanya Krisna heran.

“Bang lo harus bilang kalau ini fitnah Bang. Klub Phoenix yang ngelakuin ini semua, mereka mau balas dendam ke kita Bang.”

Krisna langsung geram dengan mengepalkan kedua tangannya. Lalu, ia berbalik arah, namun langkahnya terhenti karena sudah ada Pak Kasim yang baru saja datang bersama dengan Rafan dan Rendy.

“Hah, i-itu Pak Kasim?” Gumam Jundan shock.

“Saya ke sini ingin memberikan kesaksian tambahan Pak Polisi,” ucap Pak Kasim.

“Baik, kalau begitu silahkan duduk.”

“Pak Polisi, saya ingin memberikan keterangan bahwa saudara Jundan ini sebelumnya memang sudah ingin merampok di wilayah konplek perumahan saya. Dan dia memberikan keterangan palsu bahwa dia berasal dari klub motor Phoenix, padahal sebetulnya dia berasal dari klub motor Jenderal, Pak.”

“Apa buktinya bahwa saudara Jundan itu anggota klub motor Jenderal?”

“Ini buktinya, Pak,” Rafan memberikan buku anggota klub Jenderal.

“Dari mana kamu memiliki buku itu?!” Tekan Krisna geram.

“Dari Jundan sendiri.”

Krisna shock menatap Jundan yang mendadak kaku.

“Dia kurang cerdik sih Bang, makanya mudah percaya gitu aja sama Yuda tanpa kalian tau bahwa Yuda itu masih setia sama Phoenix. Jadi, siapa klub bodoh yang sebenarnya Bang?” Decih Rafan merendahkan.

Krisna menggeram kuat hingga urat nadi di lehernya pun mencuat, bahkan kedua tangannya pun mencengkeram dan rasanya ingin sekali langsung memukuli Rafan.

Rafan berjalan mendekati Krisna, menatapnya begitu dingin dan tajam. “Ingat Bang, apa yang kita tanam, itulah yang kita petik,” tekannya percis di hadapan wajah Krisna yang jaraknya lumayan dekat.

Tenang Krisna, tenang. Kamu harus tetap tenang dalam situasi apa pun.

“Oke karena dari interogasi, saksi dan juga bukti sudah didapatkan, maka saudara Jundan kami tahan sementara di dalam sel sampai ada kejelasan untuk pasal yang di langgar beserta keterangan hukuman yang akan di terima. Kalau tidak ada yang ingin di diskusikan, maka saudara Jundan bisa langsung kami bawa ke sel,” ucap Pak polisi. Kemudian, dua polisi lain datang dengan membawa borgol. Mereka memborgol Jundan dan mengawalnya masuk ke sel.

“Bang selametin gue, Bang … Baaaaang!” Pekiknya histeris ketika tengah berjalan menuju sel.

Krisna hanya diam sembari menatap nanar dan sayu pada Jundan, ia tak bisa berbuat apa-apa. Kemudian, tatapannya itu beralih tajam pada Rafan.

“Saya akan pastikan, kata peribahasa kamu tadi, itu akan balik ke kelompok kamu!” Tekannya geram dengan memelototi Rafan.

“Dan saya ga akan biarkan itu terjadi. Saya pastikan, bahwa Bang Krisna salah telah memilih klub Phoenix sebagai rival,” balas Rafan tenang.

Krisna menggertak kesal sebelum akhirnya ia berbalik arah dan pergi meninggalkan kantor polisi.

“Ya Allah, Arjuna.” Dilan melihat Arjuna terkulai lemas di bopong oleh Rendy saat pintu rumah baru saja terbuka.

Rendy langsung menyerahkan Arjuna pada Dilan. Seketika Dilan menutup hidungnya, mencium bau menyengat dari Arjuna.

“D-dia mabuk?”

“I-iya Om,” jawab Rendy kikuk.

“Astaghfirullah Arjuna,” ringis Dilan miris.

Arjuna masih setengah sadar, namun dia begitu lemas karena berlebihan meminum alkohol hingga berdiri saja dia tak sanggup.

“Kalau ga saya berhenti paksa dia buat minum, mungkin udah overdosis alkohol kali Om. Bayangin aja Om, udah tujuh botol dia minum.”

“Kamu kenapa sekarang jadi begini sih Arjuna, Ya Allah. Tapi terima kasih ya ren, sudah mau antar Arjuna.”

“Iya sama-sama Om. Kalau gitu saya pamit ya.”

“Iya Rendy, hati-hati.”

Dilan langsung membawa Arjuna masuk ke kamar tanpa diketahui oleh Kakek Hamzah ataupun Kiara. Dilan hanya di bantu oleh Pak Samin membopong Arjuna.

Dilan melepas sepatu Arjuna, sedangkan Pak Samin melepas jaketnya.

“Ya Allah den Arjuna,” ringis Pak Samin.

“Makasih ya Samin, sekarang kamu boleh keluar. Tapi jangan kasih tahu dulu Papah sama Kiara ya.”

“Iya Pak siap.” Pak Samin pun keluar dari kamar Arjuna. Dia memang tugasnya menjaga keamanan rumah selain menjadi sopir pribadi.

“Kenapa sih lo itu harus dateng.”

Dilan menoleh gusar saat hendak pergi. Dia mendengar Arjuna berceloteh saat setengah sadar. Lalu dia menghampiri Arjuna, duduk di tepi kasur untuk mendengar lebih jelas.

“Kenapa harus lo orang yang buat gue sakit, hah?! Kenapaaa!”

Dilan hanya menyerngit mendengarnya. Dia perlu lebih detail lagi apa yang selanjutnya Arjuna katakan.

“Lo itu bukan tipe gue. Tapi kenapa gue bisa suka sama lo?”

Dilan menaikan alis. “Arjuna lagi suka sama siapa?” Gumamnya pelan.

“Pelet lo kuat juga ya. Tapi … kita ga bisa nyatu. Lo kan udah milik orang. Lagian mata lo buta ya. Gantengan juga gue kali dari pada si Yazdan itu, cih.” Arjuna menggeliat dan mengubah posisi tidurnya dengan memeluk guling. Kemudian, Dilan menyelimutinya sebelum betul-betul pergi.

“Jadi, Arjuna menyukai Asmara?” Gumam Dilan sembari berjalan menuju kamarnya.

SINCERITY [TAMAT] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang