18. Hamil

3.4K 80 16
                                        

Edward menatap  Jeni yang duduk di seberang meja dengan badan yang tertutup rapat dengan pakaian tebal. Jeni juga memakai masker untuk menutupi setengah wajahnya.

"Jadi benar itu virus?" tanya Edward penuh selidik.

"Jadi menurutmu aku sedang melakukan hal bodoh? Akting?" sahut Jeni ketus.

Edward tertawa lalu menyeringai. Tangannya yang besar meraih dahi Jeni lalu menyentuhnya penuh perhatian. Sepertinya Jeni tidak bohong.

Belda muncul dengan membawa dua minuman.  Teh untuk Edward dan kemon madu untuk Jeni.

"Ayo ke dokter!" ajak Edward.

"Aku hanya masuk angin."

"Kalau kamu benar-benar sakit dan perlu istirahat kau tidak perlu ke kantor lagi."

"Kebetulan kalau begitu, aku berencana akan berhenti."

Edward terdiam. Di tatapnya mata Jeni yang sayu.

"Berhenti?" Edward tidak percaya.

"Sepertinya aku tidak terlalu ingin bekerja lagi."

Edward tertawa lalu berdiri. Pria itu mengantongi tangannya lalu mendekati Jeni.

"Jangan dekat-dekat! Nessa sudah curiga padaku." sembur Jeni ketus. Edward semakin keras tertawa membuat Jeni semakin keki. Edward membungkukkan tubuhnya sehingga wajahnya berhadapan dengan wajah Jeni.

"Yang benar? Kamu yakin tidak mau lagi milikku? Yang katamu besar dan memabukkan. Tidak mau menjilatinya lagi?"

Suara Edward berbisik membuat bulu kuduk Jeni meremang. Darahnya berdesir dan meraskan gelenyar panas pada tubuhnya.

Pipi Jeni memerah dan Ia yakin Edward bisa melihat rona merah itu meskipun tertutup masker.

"Ayo sayang, jangan bersikap jual mahal padaku, kau tidak akan tahan."

"Brengsek, apa sih sebenarnya mau kamu?" Jeni berdiri gusar.
Kenyamanannya terusik oleh aliran sensual yang di salurkan oleh Edward.

"Mau pergi denganku atau mau tetap di sini?" Edward kembali ke kursinya lalu meneguk tehnya. Jeni masih diam tidak bereaksi.

"Aku pergi dulu. Istirahatlah dengan baik."

Edward meninggalkan Jeni setelah mengusap kepalanya dengan lembut.

"Edward!"

Langkah Edward terhenti. Ia tersenyum senang. Ia yakin Jeni tidak akan tahan dengan godaannya. Edward merasakan langkah Jeni mendekatinya.

"Tunggu aku!" bisiknya masih dengan nada ketus.

Edward melihat Jeni meninggalkan dirinya dan kembali setelah beberapa menit.

Jeni telihat jauh lebih segar, tidak terlalu pucat karena ia membedaki wajahnya.

Setelah berpamitan dengan Nessa mereka meninggalkan rumah. Meskipun Nessa sempat memperingatkan dirinya, tapi Jeni tidak peduli.

Jeni di antar oleh Edward menemui dokter. Tidak menyakangka mereka mendapatkan berita yang tidak bisa di percaya tapi itu sungguh nyata.

"Hamil dokter?" Edward masih tidak percaya.

"Ya, sudah delapan minggu dari terakhir ibu Jeni menstruasi. Kita lihat kondisi janinnya ya."

Jeni dan Edward fokus melihat ke arah monitor melihat janin yang bergerak-gerak. Jeni terdiam. Ia bingung dengan apa yang ia alami. Sebentara Edward sangat antusias mendengar penjelasan Dokter.

Edward's BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang