"Makasih ya, nih helm lo." Misha menyerahkan helm milik Arsen yang ia gunakan tadi.
"Gue masuk dulu," lanjut Misha.
Arsen hanya menganggukkan kepalanya, ia menatap ke arah rumah Misha yang terlihat sangat mewah. "Pantes sifatnya agak sombong."
Sementara itu, Misha masuk ke dalam rumahnya dengan langkah cepat. Ia mengernyitkan alisnya saat tak melihat mobil milik orang tuanya di halaman rumah.
Misha berjalan cepat ke arah kamarnya dan segera men-charger ponsel miliknya. Lalu ia membuka aplikasi hijau yang ada di ponsel itu.
"Bagus deh, mereka pergi, artinya gue udah bebas dari masalah kemarin."
Misha memutuskan untuk meletakkan kembali ponselnya dan mencari makanan yang ada di dapur karena perutnya sangat lapar.
"Misha!" seru seseorang dari arah ruang tamu.
Misha tersentak kaget, orang tuanya sedang berada di luar negeri dan ia hanya seorang diri di rumah itu. Bagaimana bisa ada orang lain memasuki rumahnya.
Ia memberanikan diri berjalan mendekati asal suara tadi dengan tangan yang sudah mengepal kuat.
Bugh
Satu pukulan mendarat tepat di wajah orang yang tadi memanggil namanya.
"Aduh, anjir, lo kenapa si?" tanya orang itu.
Misha mengerjapkan matanya saat melihat orang di depannya, ia meringis pelan.
"Kok lo ada di sini, bang? Gue kira tadi lo maling jadi gue pukul," ucapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Pria tadi menatap sinis ke arah Misha. "Gue di sini karena di suruh mama buat jagain lo biar gak pacaran terus, sebenernya gue juga malas di sini."
Misha menampar pipi kakak laki-lakinya itu. "Pacaran? Mana ada gue pacaran, lo tuh yang pacaran terus!"
Raka—kakak laki-lakinya itu hanya mengangkat bahunya tak acuh.
"Gue kasian sama lo, jadi lo gue kasih kebebasan, tapi jangan sampe kelewat batas."
Misha tak menghiraukan ucapan sang kakak, ia memilih duduk di sofa yang ada di ruang tamu dan memakan makanan yang ada di atas meja.
"Kok pas gue masuk lo gak ada?" tanya Misha.
Raka ikut duduk di sebelah Misha. "Gue di kamar. Eh, tapi kok mobil lo gak ada? Lo balik naik apaan?"
Misha tak menjawab pertanyaan Raka, ia justru berlari ke arah kamarnya untuk mengambil ponsel miliknya untuk menghubungi Arsen.
¤¤Keesokan harinya, Misha mengajak Arsen untuk belajar bersama sepulang sekolah, karena hari ini ia tidak ada jadwal les.
"Ayo, mau belajar dimana?"
Misha nampak berfikir sejenak, lalu ia memutuskan untuk mengajak Arsen ke rumahnya, tanpa memberitahu Arsen terlebih dahulu.
Mereka pergi ke rumah Misha menaiki motor milik Arsen, karena mobil Misha masih belum bisa digunakan.
"Loh? Kok ke rumah lo? Emang orang tua lo gak marah?" tanya Arsen saat keduanya tiba di rumah Misha.
Misha mengangkat bahunya tak acuh, lalu menyuruh Arsen masuk ke dalam rumahnya.
"Oh ini pacar lo, Sha?" sambut Raka saat keduanya menginjak ruang tamu.
Dengan cepat Misha menjawab, "bukan. Dia teman gue."
Raka menatap Misha dengan satu alis terangkat dan senyum miring di bibirnya. Sedangkan Arsen yang melihat interaksi keduanya hanya diam merasa canggung.
"Gue Raka, abangnya Misha, lo yang waktu itu pelukan sama Misha di acara ulang tahun temennya kan?" tanya Raka kepada Arsen.
"G-gak, waktu itu Misha pusing, jadi gue nolongin dia biar gak jatuh," jawab Arsen sedikit gugup.
Raka tersenyum miring. "Santai aja sama gue."
Arsen hanya tersenyum tipis ke arah Raka, lalu ia berjalan mengikuti Misha ke arah halaman belakang rumahnya, untuk mulai untuk belajar bersama.
"Kenapa lo ajak gue ke rumah lo?" Arsen mengulang kalimat yang tadi belum Misha jawab.
"Karena gue tau, lo bakal ajak gue ke kafe, gue gak suka belajar di tempat ramai."
Lelaki itu mengangguk paham, ia menatap Misha yang tampak serius mencari bukunya.
"Cantik," ucapnya pelan.
Misha langsung menghentikan kegiatannya dan menatap ke arah Arsen. Ia mengangkat satu alisnya membuat Arsen gugup.
"Lo dengar?"
Misha menggelengkan kepalanya singkat, lalu ia melanjutkan kegiatannya yang tertunda.
¤¤"Misha! Gue mau ke luar beli makanan ikut gak?" tanya Raka.
Arsen sudah kembali ke rumahnya sore tadi, setelah mereka selesai mengerjakan beberapa soal bersama.
"Ikutt," sahut Misha dengan penuh semangat.
Raka menggelengkan kepalanya melihat tingkah adiknya yang tak seperti biasa. "Kesambet dimana nih anak."
"Ayo, naik motor lo kan?"
Raka mengangguk, ia berjalan ke bagasi rumah untuk mengambil motor miliknya yang sudah lama tidak ia gunakan. Raka memutuskan untuk mengajak adiknya ke sebuah toko es krim yang tak jauh dari rumahnya.
"Bang, kenapa lo bisa pintar?"
Raka menatap Misha bingung. Raka memang sangat pintar di bidang akademik dan hal itu salah satu alasan mengapa Misha dipaksa kedua orang tuanya untuk seperti kakaknya.
"Ya gue iri aja sama lo, lo bisa bikin mama sama papa bangga tanpa harus ada tuntutan, sedangkan gue? Gue selalu diminta buat jadi kayak lo, padahal gue punya keinginan gue sendiri."
Mendengar hal itu, Raka merasa bersalah. Ia tau selama ini adiknya selalu diminta menjadi sepertinya, dan ia tidak bisa melakukan apapun untuk membantu Misha, karena ia sendiri tidak berani untuk berbicara tentang hal ini pada orang tuanya.
"Sorry .... "
Misha menatap mata Raka yang berubah sendu. "Bukan salah lo juga, makasih ya udah dukung gue terus."
"Gue bakal bantu lo kalo lo benar-benar butuh itu," ujarnya.
"Oh iya, pacar lo yang kemarin gimana? Masih sama dia atau udah ganti yang baru?" tanya Misha mengalihkan pembicaraan.
"Masih, tapi gue kurang suka sama sifat dia, dia suka bikin masalah mulu di kampus, ya lo kan tau gue gak suka sama orang yang bermasalah."
Misha mengangguk paham, ia pernah menemui pacar kakaknya itu saat ia di ajak menonton konser bersama keduanya. Waktu pertama kali Misha bertemu dengannya, ia sudah dapat menyimpulkan orang itu hampir sama dengan Jessica.
"Cari yang baru aja, lo kan pintar, cakep, kaya, apa kurangnya coba? Cewek banyak, bang."
Misha menghela napasnya, ia memikirkan betapa enaknya kehidupan Raka, semuanya dipenuhi orang tuanya, tidak dituntut dalam hal apapun, diberikan kebebasan dalam pergaulan, bahkan ia selalu mendapat perhatian lebih dari orang tuanya.
"Lo sendiri? Gak mau gitu punya pacar? Atau jangan-jangan lo beneran pacaran sama Arsen?"
Misha mendecak sebal, lagi-lagi pria itu yang dibahas. "Gak, gak minat kalo sama Arsen. Lagian gue kan gak dibolehin pacaran sebelum masuk UI."
Raka tertawa pelan. "Tapi aneh loh, masa foto lo sama Arsen yang kemarin benar-benar kayak orang pelukan, bahkan gue liatnya kalian kayak mau ci---"
"Gak! Kan Arsen udah jelasin tadi. Udah gak usah bahas itu."
Raka hanya tertawa melihat tingkah adiknya.
"Yaudah, ayo cari makanan buat nanti di rumah," ajak Raka.
¤¤
KAMU SEDANG MEMBACA
W A D [END]
Teen FictionSeorang gadis cantik yang harus mengorbankan impiannya demi kedua orang tuanya. Hal itu membuatnya selalu mengganggu orang yang lebih baik darinya. Ia tidak ingin ada yang lebih darinya dalam bidang akademik, karena orang tuanya meminta gadis itu un...