"Ar, lo sibuk gak hari ini?"
Arsen yang sedang menggambar menghentikan kegiatannya dan menatap gadis yang berbicara kepadanya.
"Gak sih, kenapa? Mau belajar bareng?"
Gadis di sampingnya memutar bola matanya malas. "Gak mood belajar, gue mau ngajak lo ke taman deket rumah lo."
"Tumben, tapi kalo lo mau, yaudah ayo, mau kapan? Pulang sekolah?"
Misha hanya mengangguk. Ia melangkahkan kakinya ke arah kantin.
"Gue kenapa sih?" gumamnya.
¤¤Sepulang sekolah, mereka berdua pergi ke taman yang berada di dekat rumah Arsen. Mereka tak pergi bersama, karena hari ini Misha memakai mobilnya yang sudah dibenarkan.
"Kenapa lo ajak gue ke sini? Ada yang mau diomongin? Atau ... lo mau berduaan sama gue?"
Misha menatap sinis ke arah Arsen. Ia sebenarnya memang ingin mengunjungi taman ini untuk sekedar bersantai sambil menulis cerita, tapi entah mengapa ia mengajak Arsen untuk ikut ke sini.
"Pd banget lo, gue cuma bosen sendirian jadi ngajak lo," elak Misha.
Arsen tersenyum tipis, ia melihat Misha yang mengeluarkan laptop dari tas nya. "Mau ngerjain tugas?"
Temannya itu hanya menggelengkan kepalanya, ia melanjutkan kegiatannya. Ia mulai menuangkan isi pikirannya ke dalam cerita yang ia tulis. Sedangkan Arsen sesekali mencoba melirik apa yang sedang diketik Misha, tapi Misha sama sekali tak mengizinkan Arsen untuk melihat.
Tiga puluh menit kemudian Misha menutup kembali laptopnya karena ia sudah kehabisan ide. Ia menatap Arsen tajam.
"Kepo banget sih lo."
"Ya, abisnya lo gue tanya gak mau jawab. Emang lo ngapain? Nugas? Nulis makalah? Atau yang lain?" tanya Arsen
Misha menghela napasnya, ia menatap ke arah langit. "Apa tanggapan lo tentang penulis?"
"Penulis, menurut gue itu adalah salah satu orang yang kreatif dan punya pemikiran tinggi. Menyelesaikan satu cerita itu bukan hal yang mudah dari sudut pandang gue, ya dulu gue juga punya teman yang suka nulis, jadi gue suka dengar berbagai hal dari dia," jawab Arsen.
Misha mengangguk paham, ia menghela napasnya lelah.
"Lo suka gambar kan? Menurut lo hal pertama yang harus lo pelajarin biar gambar lo bagus apa?"
Arsen berpikir sejenak, lalu ia terkekeh pelan. "Hal pertama kalo lo mau melakukan sesuatu itu harus sesuai keinginan sendiri, niat sendiri, dan tanpa paksaan, masalah bagus atau gak sebenarnya gak penting, karena yang bagi kita bagus aja belum tentu bagus di mata orang lain kan?"
Misha tersenyum tipis. "Terus, kalo misalnya melakukan sesuatu yang bukan keinginan sendiri dan dipaksa orang lain gimana?"
Pria itu menatap ke arah Misha dengan tatapan bingung, dan Misha menanggapinya dengan hal serupa. Arsen terkekeh, lalu ia menyandarkan kepalanya pada kursi taman.
"Menurut gue, dia gak akan bisa melakukan hal itu dengan sempurna. Lagian emang ada yang kayak gitu?"
Tatapan Misha berubah menjadi datar. Ia menatap ke bawah dan berkata pelan, "ada, gue ...."
"Udah, gue mau pulang, makasih ya," ucap Misha.
¤¤Malam ini Raka mengajak Misha untuk pergi ke sebuah kafe bersamanya. Ia juga mengajak teman lamanya yang merupakan salah satu murid di sekolah yang sama dengan Misha.
"Rak, lama gak ketemu lo," sapa orang itu sambil berjabat tangan dengan Raka.
Pandangannya teralih pada Misha, pria tadi tersenyum. "Hai Misha."
Misha tak membalas sapaan orang itu, ia justru mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kafe. Perlahan senyum tipis terbit di bibir Misha.
"Lo di sini kan? Gue mau duduk sendiri di belakang sana." Misha menunjuk salah satu bangku yang ada di belakang dekat jendela.
Mau tak mau Raka harus menuruti keinginan adiknya itu. Misha memang orang yang tidak suka dengan orang yang baru ia temui, jadi saat ia bertemu orang baru ia akan menjauh.
"Adik lo cantik, pintar juga, buat gue boleh kali," goda Marvel-teman lama Raka.
Mendengar hal itu Raka langsung menatap Marvel dengan tatapan yang sulit diartikan, lalu ia tersenyum miring. "Dia gak bakal mau sama lo, dia itu---"
"Gue tau, gue udah tau gimana adik lo, tapi bisa atau gak gue dapetin dia itu takdir," potongnya.
Raka hanya menggelengkan kepalanya, ia sangat tau Marvel, temannya itu tidak pernah menganggap serius kata-katanya, itu hanyalah kata-kata yang sebentar lagi akan dilupakannya.
Sedangkan di sisi lain, Misha duduk seorang diri sambil menatap ke arah luar kafe, sesekali ia menatap ke arah kakaknya yang nampak asik.
"Mau punya teman, tapi gue terlalu jahat untuk dijadikan teman," ucapnya.
"Egois, suka gak mood tiba-tiba, suka marahin orang walau gak salah, suka gak jawab ucapan orang, padahal orang itu udah ramah," lanjutnya.
Gadis itu meminum minuman yang ia pesan. Ia kembali menatap ke sekeliling kafe, dari seluruh pengunjung kafe hanya dirinya yang duduk seorang diri.
"Udah gak punya pacar, gak punya teman lagi," gumamnya.
¤¤Hari ini orang tua Misha kembali ke rumah, mereka mengajak Misha dan Raka untuk makan malam bersama di sebuah restoran karena ada sesuatu yang akan dibicarakan.
"Harus banget ke sana? Gak bisa di rumah aja gitu ngomongnya?" tanya Misha kepada Raka.
Kedua orang tuanya sudah pergi sejak tiga puluh menit yang lalu, mereka pergi lebih awal karena ingin menemui rekan bisnisnya.
"Iya, ayo, jangan lama, nanti mama marah."
Misha memutar bola matanya malas. Mereka berdua segera berangkat ke restoran yang sudah diberi tahu oleh orang tuanya.
Lima belas menit kemudian mereka tiba di tempat itu. Tempat itu tampak sangat mewah dan cukup sepi.
"Ma, pa," sapa Raka kepada kedua orang tuanya.
Mereka berdua duduk bersampingan dengan Gysa–mama Misha dan Kaiden–papa Misha yang berada di depannya.
"Maaf, ma, tadi lama," ucap Raka.
Gysa hanya mengangguk dan menatap Misha dengan tatapan serius.
"How is your boyfriend, Jemisha?" Gysa tersenyum miring.
Misha mengernyitkan alisnya, ia menabak bahwa mamanya sedang membicarakan Arsen.
"he's not my boyfriend," tegas Misha.
Gysa terkekeh pelan, ia mengalihkan pandangannya ke arah Raka.
"Saya tau semua, bahkan saya juga tau waktu kalian belajar bersama di rumah, dan Raka sama sekali tidak melarang orang itu masuk," ucap Gysa.
Raka meneguk ludahnya, sejak awal ia memang sudah menyangka hal ini akan terjadi, karena orang tuanya tidak mungkin hanya menyuruhnya menjaga adiknya, pasti ada orang lain atau mungkin CCTV yang mengawasi mereka.
"Ya, kalau kamu mau pacaran sama dia boleh, tapi harus turutin permintaan saya, tidak lupa kan? Oh iya, saya dengar dia saingan kamu di sekolah kan? Hati-hati posisimu tergeser."
"Saya gak ada hubungan dengan dia, kalau pun saya mau pacaran, bukan sama dia tentunya, dan dia memang saingan saya, tapi saya akan tetap mempertahankan posisi saya," geram Misha.
"Bagus kalau begitu, saya akan mengenalkanmu dengan anaknya teman saya," kata Kaiden.
Misha mengepalkan tangannya erat, ia menatap papanya dengan tatapan datar.
"Tidak masalah jika hanya berkenalan, tapi jika lebih jangan harap kali ini saya menuruti kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
W A D [END]
Teen FictionSeorang gadis cantik yang harus mengorbankan impiannya demi kedua orang tuanya. Hal itu membuatnya selalu mengganggu orang yang lebih baik darinya. Ia tidak ingin ada yang lebih darinya dalam bidang akademik, karena orang tuanya meminta gadis itu un...