1

968 14 1
                                    

--Follow penulisnya, votement ceritanya

.

Gita memandangi foto pernikahan berbingkai putih yang menggantung kokoh di ruang tengah. Senyum selalu merekah tatkala melihat betapa bahagianya potret abadi dia dengan sang suami, Azriel. Suara rendah televisi menemani kegiatannya membersihkan apartemen. Dengung samar anchor tiba-tiba menjadi lebih jelas suaranya di telinga ketika ia menyampaikan berita pagi ini.

Hidung Gita kembang kempis mendengarkan lebih seksama berita yang bertajuk 'hubungan terlarang ayah dan anak'. Betapa makin tua dunia ini dengan begitu banyaknya kemaksiatan yang tak termaafkan seperti ini. Semakin lama ia mendengarkan ia makin tertarik dengan latar belakang kedua orang satu darah itu.

Istri yang merantau, istri tak mampu memenuhi kebutuhan suami, suka sama suka dan yang paling memualkan --kepuasan seks.

Dari sekian rentetan alasan tersebut, bagi Gita poin terakhir hampir membuat asam lambungnya naik. Bagaimana bisa seorang ayah 'menikmati' puteri kandungnya sendiri. Apa kepuasan yang didapat itu setara dengan konsekuensi yang didapat?

Apa hanya karena sebuah seks bisa membuat gelap mata?

Bagi Gita, seks itu sebuah kegiatan intim untuk saling menyampaikan rasa sayang dan cinta, bukan ajang pelampiasan nafsu bejat semata. Ia berucap syukur dalam hati karena menikahi Azriel yang selalu memperlakukannya baik ketika berhubungan suami-isteri. Sudah hampir dua tahun bersama dan ia menghabiskan malam-malam bersama dengan sang suami dengan penuh cinta.

Gita berjalan ke arah cermin setinggi tubuh dan memandang wajah yang memerah itu. Seks. Kata singkat itu membawa banyak memori serta mengundang minat besar di sudut hati Gita.

Apa benar ada seks yang hebat? Hingga membuat seseorang orgasme berkali-kali? Selama ini, Gita tidak pernah tahu seks karena didikan keras ibu dan bapak. Ia dalam keadaan suci seperti embun di pagi hari saat pertama kali Azriel menyentuhnya. Seks adalah ungkapan sayang kepada pasangannya, itu yang Gita yakini.

Degup jantung yang meninju dada membuat Dita tersadar sudah terlalu jauh terlena dalam fantasi liar. Ia tepuk-tepuk wajahnya yang memanas dan lekas membereskan sisa pekerjaan rumah tangganya.

.
.
.

Kebetulan hari ini Gita harus bekerja ekstra membersihkan rumah karena unitnya mendapat giliran untuk menjadi tempat arisan ibu-ibu yang tinggal di satu komplek apartemen yang sama. Selesai bebersih, ia lanjut mengisi toples dengan cemilan teman mengobrol nanti. Meski Gita bakalan lebih banyak diam karena secara ia yang paling muda di kelompok arisan itu, agaknya ia masih sungkan. Terlebih Gita sangat pemalu.

Singkatnya, pukul sebelas tiba dan pintu apartemennya tak berhenti terbuka dan tertutup seiring dengan datangnya ibu-ibu tetangganya yang membawa Tupperware beragam isi dan beberapa juga membawa serta anak mereka. Untung Dita sudah menyembunyikan koleksi action figure milik sang suami.

Bagai tak pernah kehabisan topik pembicaraan, para ibu-ibu masih anteng enggan beranjak meski waktu pulang para suami hampir tiba. Gita tidak masalah dan senang-senang saja, apartemennya terasa hangat dan ramai. Saat Azriel memboyongnya ke hunian baru ini, ia sudah berpikir akan sedikit berinteraksi dengan tetangga yang hidup masing-masing dalam petakan kotaknya. Namun rupanya orang-orang disini sangat berbeda dengan kebanyakan orang yang tinggal di apartemen.

Obrolan panjang hari ini sangat beragam. Dimulai dari harga sembako yang terus merangkak naik, gosip artis kenamaan yang tersandung kasus narkoba sampai meruncing ke 'urusan ranjang' yang ujung-ujungnya Gita si bontot menjadi sasarannya.

"Gita nih, sampean ini tak suruh kontak kenalan aku. Lah wong tokcer, sepupu-ku yo langsung tekdung habis konsul kesana."

"Apa dokter Azriel-nya loyo? Tapi dia keliatan sehat bugar kok."

Serbuan ibu-ibu itu dibalas Gita dengan senyum seadanya. "Saya dan suami baik-baik saja kok. Mungkin belum waktunya dikasih saja."

"Sudah dua tahun loh Git, masa gak pengen ini rumahnya rame. Masa harus diramein sama kita melulu." sahut seorang ibu yang serentak diiyakan.

"Saya kalo suami pulang dinas malah bisa seminggu lima kali digempur, kalo gak minum obat alamat si bungsu punya adek lagi."

"Terakhir kapan sama pak dokter?"

Muka Gita memerah seketika, ia tertawa sumbang sebelum menjawab rasa kepo mereka. "Akhir-akhir ini suami saya pulang malam terus, jadi-- ya gitu deh bu."

"Sekali-kali, neng Gita inisiatif senengin suami lah. Keliatan banget neng-nya pemalu. Pantes aja lama kosong, orang gak tahu sama apa yang dimau."

Gita makin tak bisa mempertahankan senyum sopannya. Baginya, hubungannya dengan Azriel baik-baik saja dan keduanya jelas sehat. Hanya karena Tuhan belum mempercayakan amanah kepada mereka bukan berarti ada yang salah dengan hubungan mereka.

Pintu apartemen kembali terbuka setelah cukup lama tak kedatangan tamu lagi. Gita bergegas bangkit melihat siapa yang datang dan terkejut menemukan Azriel pulang di saat matahari belum tenggelam.

"Kok udah pulang?"

"Kok kamu kaget?" Azriel balas meledek Gita dengan nada yang sama. Matanya menelisik sandal di dekat pintu.

Gita yang mengikuti arah pandang Azriel lekas menjelaskan, "Arisan."

Dengan wajah menyesal, Azriel bertanya. "Apa harusnya aku pulang nanti aja?"

Belum sempat Gita menjawab, seorang ibu di belakang punggungnya menyela. "Pulang cepat pak dokter?"

Azriel tak lagi berniat berbalik, ia sudah ketahuan basah. "Eh, bu. Iya nih, kebetulan lagi gak ada jadwal operasi."

Azriel pun kemudian menggiring sang isteri menuju ruang tengah yang mana ibu-ibu masih asyik mengobrol.

"Eh, pak dokter pulang cepat ya."

"Iya nih bu." sahut Azriel dengan senyum teduhnya. Ia menyapa ramah para ibu-ibu yang sudah lama dikenalnya.

Azriel lebih baik seribu kali lipat soal sosialisasi daripada Gita. Ia tak sungkan menanyakan kabar suatu hal yang bahkan Gita sendiri tak ketahui, padahal yang arisan kan Gita.

"Pas banget malam jumat nih."

"Ya udah yuk, kita pulang. Udah sore juga, suami bakalan pulang sebentar lagi."

"Waktunya urusin 'urusan dapur' masing-masing ya jeng."

"Ha-ha, iya. Mari Git, pak dokter."

"Iya bu." jawab Gita

"Makasih yah ibu-ibu semua udah nemein Gita." Azriel menambahkan ketika mengantar para tamu di depan pintu. Ucapan Azriel disambut dengan respon beragam dari ibu-ibu yang berpamitan.

Satu per satu para ibu-ibu kembali ke rumahnya masing-masing. Azriel menutup pintu dan menggandeng Gita.

"Emak-emaknya blak-blakan banget ya."

Gita meringis, "Makanya. Kena serang terus aku."

Azriel duduk di sofa, melepas dasinya sementara Gita memunguti wadah yang tandas isinya. "Emang gimana diserangnya?"

Gita memutar bola mata dengan semburat merah muda di kedua belah pipi. "Ya gitu lah deh, masa kamu gak paham."

Sekonyong-konyong Azriel memeluk Gita dari belakang membuat wanita yang tahun ini berusia 26 tahun itu memekik kaget.

"Kangen kamu, Git."

"Geli ih." keluh Gita karena Azriel menyerang titik sensitif-nya.

"Ayok ah."

"Apa."

Azriel dengan sengaja menyenggol miliknya di bokong Gita yang berlagak pura-pura tidak paham. "Mumpung malam jumat." bisiknya meniupkan hawa panas di telinga.

"Bau rumah sakit kamunya." sewot Gita sembari mencoba meloloskan diri dari rengkuhan Azriel.

Azriel pun melepaskan cengkramannya. "Ya udah, ayo mandi bareng."

"Dasar bayi gede!"

.
.
.

Give Me One More NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang