7. Obrolan Pertama

29 2 0
                                    

Berdua dengan ayahnya Argano, hanya berdua. Sedangkan Argano memasuki kamarnya sendiri, mungkin. Dasar anak itu, dia yang ngajak tapi dia yang malah meninggalkan aku yang sedang gugup berduaan dengan sang ayah.

Dan parahnya, tidak ada yang memulai dulu dalam pembicaraan. Aku diam, ayahnya Argano juga diam memilih bermain hpnya. Ingin sekali berucap, 'Woi aku ini tamu loh, ajak ngobrol kek, minimal hargai, bukan malah main hp gitu' tapi mana punya nyali akunya.

Dia menyimpan hpnya. Kemudian menatapku. "Terimakasih sudah mengantarkan putra saya dengan selamat sampai disini. Maaf jika merepotkan."

Aku terpaku lagi. Dia bicara padaku? Ini adalah momen pertama dia mengajakku bicara. Tapi aku malah melongo tidak tahu mau jawab apa.

"Kenapa diam?" Mampus. "Eh engga kok pak. Itu tidak merepotkan saya sama sekali."

Dia menautkan alisnya, "Pak? Apa saya setua itu untuk kamu panggil pak? Kamu bukan karyawan saya yang harus memanggil saya dengan sebutan pak."

"Lalu saya harus memanggil anda dengan sebutan apa kalau bukan pak?" Aku bertanya. "Terserah. Asal kamu tidak memanggil saya dengan sebutan pak."

Hah?

"Yaudah saya panggil Mas aja. Kalau aku panggil abang nanti saya dikira adek anda lagi," Ujarku setelah berfikir mau memanggil dia apa. "Terserah."

Dan kembali diam, lagi. Aku dan dia tidak ingin memulai obrolan setelah mati topik. Mendingan kalau seperti ini aku pulang saja.

"Yah, apa gak ada makanan buatku makan?" Suara Argano terdengar. Aku melihat dia dengan menggunakan kaos polos santai dan celana selutut.

"Memang. Ayah tadi lupa membawakan makanan buat kamu. Kamu tunggu sebentar, biar ayah pesankan makanan." Saat ayahnya Argano mengambil HP, aku menegur.

Aku berfikir sesuatu, "Ada bahan-bahan makanan gak Mas? Kalau ada biar saya masakin, itupun kalau diperbolehkan. Gak lama kok, tenang aja." Dia menatapku curiga, "Bisa memangnya?"

"Anda meragukan kemampuan saya?" Berani aku untuk menantangnya, tapi dia malah berdecak untuk membalasku. "Saya cuma bertanya."

"Ayo masakin kak, kalau nunggu delivery bakalan lama." Anak itu sudah mengizinkan. Aku langsung diarahkan Argano berserta Argano Senior untuk ke dapur rumah. "Oke cukup. Kalian silahkan tunggu diluar"

Mon maap aja, ini sebenarnya bukan aku yang tuan rumah, tapi kok malah aku yang ngusir mereka padahal mereka yang tuan rumah asli. Tapi yasudah lah.

"Aku mau nunggu di rumah TV aja," Itu yang di ucapkan Argano. Kemudian dia berjalan meninggalkan dapur.

"Lalu mengapa anda masih disini?" Aku bertanya. Anaknya udah menyingkir dari pandangan, ayahnya tetep berdiri diam di tempat gak mau berpindah.

"Mengusir tuan rumah heh?"

"Bukan begitu. Lebih baik anda jangan disini, silakan pergi, nanti kalau sudah siap akan saya berikan ke anda dan Argano," Bukannya pergi, si doi malah menarik kursi, kemudian mendudukan bokongnya. Kok ngeselin ya pak?

"Saya cuma takut dapur saya kenapa-napa karena ulah kamu. Cuma berjaga-jaga." Lebih baik diam, dari pada harus beradu argumen lagi, dan bakalan mungkin aku yang kalah disini.

Langsung mengechek bahan-bahan yang ada di kulkas. Aman, otakku langsung bisa mencetuskan makanan apa yang cocok dengan bahan bahan itu. Melirik sekilas orang lain di dapur ini, ternyata dia sambil main HP dari pada menonton kegiatanku.

Kalau emang iya beneran menonton, kupastikan aku bakalan grogi sekujur tubuh. Pacuan jantung juga pasti tidak aman. Maka dari itu lebih baik jangan.

Di tengah tengah acara masak, aku merasa ada sesuatu yang menatapku lekat. Hatiku bilang jangan geer, tapi otakku malah memastikan. Damn, benar adanya, tuan Arselino menatap fokus kegiatanku.

PESONA MAS DUDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang