Chapter 7

821 42 2
                                    

Gemericik air terdengar bersautan, jatuh ke atas payungku. Temaram lampu taman membuat suasana semakin sendu. Setelah pulang kerja tadi, aku singgah di kursi taman yang sudah lama tidak dikunjungi pemiliknya ini.

Dengan setelan sweater rajut warna nude, celana jeans lima senti di bawah lutut dan payung milik Karin, aku duduk diam di sini, menunggu kedatangan Rain. Sudah hampir satu jam aku di sini, semenjak langit berubah gelap, tapi lelaki itu tidak juga menampakan dirinya. Mungkin aku memang sudah kehilangan akal sehatku. Menunggu seseorang yang belum lama kukenal untuk membahas masalah hati yang sedang kualami. Ya, aku memang benar-benar kehilangan akal sehatku.

Aku merogoh ponselku dari dalam tas. Tidak ada surel masuk. Ke mana lelaki itu. Membalas pesanku saja tidak. Aku menghela nafas pelan, lalu mengulurkan tanganku, menengadah ke atas. Tetesan hujan menyambut. Senyum langsung terkembang di bibirku. Aku sangat yakin, wajahku terlihat seperti Rain saat dia menatap sayang ke arah hujan. Dengan pipi bersemu dan mata berbinar. Aku memajamkan mata. Hatiku langsung merasa hangat. Kenangan indah masa kecil langsung menyambutku. Gelak tawa Keyra kecil terdengar nyaring di telingaku. Bisikan sayang mama, bisa kurasakan lagi. Hembusan nafasnya yang lembut. Sentuhan tangannya, belaiannya. Hujan ini membawa kenangan indah mama kembali padaku. Kenangan indah yang dulu menjadi luka, yang selalu berusaha kucoba hilangkan.

"Keyra.." aku segera membuka mata. Adit sedang berdiri di hadapanku dengan kening berkerut. "Sedang apa di malam hujan begini?"

"Menunggu seseorang." suaraku terdengar acuh tak acuh.

Dia mengambil tempat di sebelahku, masih dengan kening berkerut, dia kembali bertanya, "Seseorang? Siapa?"

"Memang harus aku beritahu semua kegiatanku padamu? Ini, kan, sudah jam luar kantor."

"Ya, bukan begitu maksudku." dia merapatkan duduknya kepadaku. "Soal yang kemarin malam itu, aku minta maaf. Seharusnya, aku tidak pernah menanyakan itu padamu."

Aku hanya diam sambil terus menatap tetesan hujan yang membasahi telapak tanganku.

"Aku ingin kau melupakan semua perkataanku." Ucapnya lagi.

Aku menoleh ke arahnya, dia sedang menatapku dengan mata yang sedikit merah dan raut wajah yang sangat sendu. Dia tersenyum sekilas, lalu bangkit dari tempatnya dan berjalan pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Aku mengikuti langkahnya yang sedikit gontai dengan pandangan mata. Salahkah keputusanku?

Tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Sudah hampir tiga jam aku duduk di sini, harap-harap cemas untuk menunggu seseorang yang entah datang atau tidak. Aku kembali merogoh ponselku, tidak ada surel baru. Ke mana lelaki itu. Kenapa di saat genting seperti ini dia tidak menampakan dirinya?

Aku kembali teringat tentang kata-kata Adit tadi. Melupakan semua yang dia katakan. Apa dia gila? Tentu saja aku tidak bisa. Melupakan malam itu, malam di mana aku berada tepat di depannya dengan buket bunga di sampingku, menatap Adit dengan jarak sedekat itu tanpa ada teman-teman kantor di sekelilingku. Aku tidak perlu menyembunyikan senyum malu-maluku di depannya, aku tidak perlu diam-diam menatapnya seperti yang selalu kulakukan saat rapat berlangsung, tapi entah kenapa, saat lelaki itu mengatakan dia menyukaiku, aku seperti merasa dipermainkan. Otakku bersorak riang, tetapi hatiku menolak untuk mempercayainya. Aku tidak tahu alasannya apa. Biasanya, jika berada di dekat Adit, kedua organ itu saling mendukung satu sama lain, tapi kali ini tidak. Ada hal lain yang diinginkan hatiku. Ada hal lain yang membuatnya menolak untuk melupakan apa yang dia harapankan beberapa tahun ini. Hal lain yang belum tentu dia benar-benar menginginkannya.

Aku menghela nafas pelan. Kulihat jam yang melingkar di tanganku. Pukul Sembilan malam. Aku melirik pintu masuk taman sekilas, tidak ada harapan. Aku bangkit, lalu melangkah berlawanan dengan pintu masuk taman menuju rumahku.

Tentang HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang