Denting bel yang terpasang di atas pintu masuk terdengar beberapa kali. Suara bisik-bisik yang terdengar di sekitar, menambah kehangatan yang diciptakan oleh kafe ini. Lelaki dengan payung--Rain--benar. Kafe ini tempat favorite untuk menghabiskan malam di kala hujan.
Saat baru memasuki kafe, dia langsung mengajakku duduk di pojok ruangan dengan jendela besar di samping kami. Aku--kami--bisa dengan leluasa menatap titik hujan yang berjatuhan perlahan di kaca jendela itu. Di depan kami, dua cangkir porselen mengepulkan asap putih. Cangkir miliku sudah setengah kosong dengan bercak gincu di salah satu sisinya. Sementara cangkir di depanku, masih rapi. Seperti pertama kali diletakkan di hadapannya. Aku mencuri pandang kepada lelaki yang ada di hadapanku. Dia sedang sibuk dengan ponselnya. Wajahnya terlihat khawatir. Aku mengkerutkan kening saat dia menopang dagunya, lelah.
"Ng, kenapa?" aku takut-takut bertanya padanya.
Dia mendongakan kepala, "Ng? tidak."
"Lalu, bagaimana dengan…."
Dering ponselnya menghentikan perkataanku, "Halo," dia bangkit, lalu berjalan menjauh ke pojok ruangan.
Aku memperhatikannya dari jauh sambil mengaduk-aduk cokelat panasku. Dia berdiri gelisah membelakangi tembok. Satu tangannya memijat pelan pelipis. Frustasi. Wajahnya terlihat sangat khawatir. Aku ingin tahu apa sebenarnya yang dia dengar melalui ponsel itu. Oh, Keyra. Berhenti untuk selalu ingin tahu urusan orang lain.
Aku mengalihkan pandanganku ke cangkir miliknya yang belum tersentuh sama sekali. Aku baru sadar kalau serbuk cokelatnya membentuk huruf L. L. Lynn? Gadis yang dia sebut-sebut sebagai alasan kenapa dia selalu menatap cinta ke arah hujan?
"Maaf, saya harus pergi," aku menoleh kaget. Lelaki itu sudah duduk di hadapanku. Sibuk menulis sesuatu di atas kertas.
"Pergi kemana? Ada urusan kantor mendadak?"
"Kirimi saya email. Saya akan memenuhi janji untuk menceritakan siapa Lynn." Dia memberikan secarik kertas yang sudah tertulis sebuah alamat email. "Saya harus pergi." Dia bergegas pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi.
"Buat apa dia mengajakku ke sini, kalau hanya untuk menerima sebuah alamat surel?" gumamku saat dia sudah menghilang.
Aku tetap memutuskan untuk menghabiskan malam di kafe ini. Sudah lama sekali aku tidak pernah keluar walau hanya untuk sekedar minum cokelat panas seperti ini. Aku kembali melihat cangkir yang tidak tersentuh sama sekali oleh pemiliknya. Kutarik perlahan cangkir itu ke hadapanku. Serbuk cokelat yang tadinya tergambar jelas, perlahan memudar seiring dengan menghilangnya busa di atas cappucino panas itu. Aku merogoh ponsel di tas jinjingku. Memotret cangkir dengan inisial huruf L itu.
Malam semakin larut tapi kafe ini semakin ramai. Hujan di luar pun sudah berhenti sejak tadi. Aku enggan untuk beranjak dari kursi yang sudah kududuki sejak tiga jam yang lalu. Tiga jam. Aku masih ingin berlama-lama duduk di sini untuk beberapa menit atau jam lagi. Tetapi, surel peringatan dari Karin membuatku harus kembali ke rumah. Besok agenda rapat dan dia sudah mengingatkan aku untuk tidak datang telat lagi. sebelum berjalan ke meja bar untuk membayar pesananku--pesanan kami, aku menghabiskan dulu sisa cokelat panasku di dalam cangkir.
"Hai, Mas. Bill untuk meja nomer 13." Aku tersenyum saat sudah berada di depan meja bar.
Seorang pelayan di hadapanku segera memeriksa pesanan dengan nomer meja yang aku sebutkan.
"Maaf, Mbak, tapi pesanannya sudah dibayar." Dia menyerahkan tanda bukti pembayaran kepadaku.
Aku menerimanya dengan dahi berkerut, "sudah?"
"Iya. Tadi Mas Rain yang bayar sebelum pergi."
Aku mengangguk-angguk. Ternyata lelaki itu sudah cukup dikenal di kafe ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Hujan
RomanceKamu percaya, kalau hujan membawa keajaiban? Sebelumnya, aku benci ketika musim hujan datang. Semua hal menjadi kelabu. Hujan membuatku tak pernah bisa memaafkan diriku. Karena, hujan telah mengambil ibuku. Kemudian, semuanya berubah. Sejak aku bert...