Chapter 6

863 34 0
                                    

Keesokannya, hujan terus turun sepanjang hari. Dan, sepanjang hari pula senyumku selalu terkembang. Ini pertama kalinya tidak ada umpatan dari mulutku saat hujan turun. Aku mengulang lagi keajadian kemarin di pemakaman. Senyum Rain yang beberapa kali kupergoki, membuat pipiku panas. Senyumnya kali itu, begitu manis. Begitu tulus. Senyumnya menawan. Oh, astaga, Key. Apa yang kau pikirkan.

Aku terus melirik keluar jendela. Mana tau lelaki itu datang. Namun, sampai jam pulangku tiba, tidak ada tanda-tanda lelaki itu akan datang. Setelah mematikan layar komputer, aku meraih tas jinjing. Aku melongok ke bilik milik Karin, mejanya sudah rapi. Sementara pemiliknya, sedang asik dengan cermin dan gincu.

"Mau kemana, Rin?" aku bersandar di pembatas bilik kami.

"Mau ngedate, dong." Ucapnya. Kini, dia sedang memoles blush on di pipi gembilnya.

"Ngedate malam selasa? Nggak kecepetan?"

"Namanya orang jatuh cinta, tiap malem juga berasa malem minggu." Dia mengerling genit ke arahku, "Udah cantik?"

Aku mengancungkan kedua ibu jariku.

Dia tersenyum manis sekali. "Oke, aku duluan ya, Key. Dah." Dia menarik tasnya, lalu bergegas keluar ruangan.

Aku menghela nafas pelan. Aku berjalan mendekati jendela. Menatap titik-titik hujan yang masih bergelantung di jendela. Di bawah sana, di depan pintu gerbang taman, tidak ada mobil sedan hitam yang kukenal terparkir. Hanya ada beberapa pedagang kaki lima dan anak-anak kecil yang sedang menjajakan jasa peminjaman payung. Senyumku terkembang. Kenangan saat pertama kali aku bertemu dengan Rain terulang. Kukira, dia tersinggung karena aku mengira dia salah satu dari kerumunan anak kecil itu. Tapi ternyata, Rain berbaik hati untuk mengambilkan payung yang lain. Rain. Lelaki itu penuh dengan kejutan. Aku bahkan tidak bisa menebak ekspresi yang selalu berubah setiap detiknya. Terkadang, wajahnya datar tanpa ekspresi. Terkadang, wajahnya sendu. Dan yang paling sering, wajahnya tersenyum penuh sayang dikala menatap hujan.

"Maaf, Mbak Keyra," suara berat lelaki menarikku dari khayalan, seorang satpam sudah berdiri di ambang pintu, "taksinya sudah nunggu di lobby."

"Taksi? Tapi saya nggak pesan taksi, Pak."

"Tapi, kata supirnya, yang pesan atas nama Keyra."

Keningku berkerut. Jangan-jangan...

"Sebentar lagi saya turun, Pak." Aku tersenyum. Setelah mengangguk, satpam itu pergi.

 
Rain,
Mau kamu bawa ke mana lagi? kenapa kamu nggak bilang ke aku kalau hari ini ada kejutan lainnya? Bls secepatnya.

Aku berdiri di depan lobby menatap sebuah taksi yang sudah terparkir. Satpam yang tadi menegurku, membukakan pintu taksi untukku. Setelah mengucpkan terima kasih, aku masuk ke dalam taksi. Seperti yang kemarin, tanpa menunggu aku menyuruhnya atau bertanya kepadaku, supir taksi langsung menginjak pedal gasnya. Taksi putih ini meluncur pelan membela kota Jakarta yang diguyur hujan. Jalanan cukup padat. Genangan air di mana-mana. Beberapa motor berhenti di pinggir jalan. Mempersiapkan motornya untuk genangan dengan kedalaman yang tidak terduga. Aku menatapi titik hujan yang menepel di kaca jendela taksi. Aku menatap bayanganku di balik kaca yang berembun. Sedetik kemudian, bayangan mama sedang tersenyum hadir menggantikan bayanganku. Hatiku berubah menjadi hangat. Sangat kontras dengan hawa dingin yang diciptakan hujan. Keajaiban hujan mulai hadir ke dalam hidupku.

Ponselku bergetar sekali.

Maaf, Key, taksi? Taksi apa? aku tidak mengirimkan taksi untukmu hari ini. Aku bahkan tidak ada di Jakarta hari ini. sudah dipastikan itu taksi yang akan menjemputmu?
Rain.

Tentang HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang