Chapter 5

913 45 3
                                    

Saat aku membuka mata pagi ini, rinai hujan sudah menyambutku. Senyum manis langsung terkembang dari bibirku. Astaga. Sejak kapan aku bisa tersenyum kala hujan datang. Laki-laki itu mulai memperngaruhiku. Omong kosong tentang keajaibannya mulai meracuni otakku.

Sebelum beranjak ke kamar mandi, aku melihat sebentar isi surelku. Ada sebuah pesan baru. Rain. Sepagi ini?

 
Hai,
Saya yakin kamu akan membaca surel ini saat pagi hari. Bukan berarti tanpa mencuci muka terlebih dahulu. Sudah terlambat, jika ingin pergi untuk mencuci muka. Saya yakin tidak akan membantu.
Kamu menagih janji tentang Lynn? Sabar. Mandilah dulu. lihat sudah pukul berapa.
Rain.

Aku berdecak. Sudah? Begitu saja? Aku mencoba menscroll lagi isi surelnya itu. Tidak ada lanjutan apa pun di sana. Surel macam apa ini. seenaknya mengubah mood orang sepagi ini, lalu memberikan teka-teki lainnya. Memang dia fikir, dia siapa.

Aku memberengut sembari menutup tampilan surel di layar laptopku. Aku melirik jam weker di sisi laptop. Tujuh tepat. Hari ini, aku sudah berjanji akan menemani Karin menonton film. Tapi, hujan di luar merubah moodku.

"Hmm…" sapa seseorang di seberang sana dengan setengah sadar.

"Karin, aku membatalkan janji, ya. Aku ada urusan mendadak."

"Hm? Urusan mendadak apa?"

"Aku harus ketemu dengan seseorang."

"Si Rain itu? jadi, kamu membatalkan janji sama teman baikmu, demi cowok misterius itu?"

"Come on, Rin. Dia Cuma bisa aku temui waktu hujan turun saja."

Aku mendengar Karin berdecak, "memangnya dia bidadari, yang Cuma turun ke bumi waktu hujan aja? Basi, ah." Karin memutuskan sambungan telepon. Sementara aku, terdiam. Bidadari yang turun hanya saat hujan.

*

Bulan desember kali ini, adalah bulan yang paling sering menurunkan hujan. Aku sering mendengar -tetangga-tetanggaku--yang sebagian besar adalah ibu rumah tangga--menggerutu, karena pakaiannya selalu tidak kering akibat hujan yang tidak berhenti turun sepanjang hari. Tetapi, di sisi lain, aku menemukan seorang pria yang selalu tersenyum dengan pipi yang tersipu di saat hujan turun. Menatapnya, seakan dia ingin mendekap setiap bulir hujan yang jatuh di depan matanya. Dia seperti melebur bersama dinginnya hujan. Karena pria ini pula, aku mengembangkan senyum saat jendelaku dipenuhi dengan bulir hujan. Keajaiban. Dia mengatakan, kalau hujan memiliki keajaiban. Dan sepertinya, aku mulai melihat apa yang dia sebut keajaiban.

Sekarang, aku sedang duduk di kursi taman yang sering dia duduki dengan payung warna merah muda milik Karin sebagai pelindungku. Asap putih mengepul dari gelas kopiku di sela hembusan angin dingin. Ya, aku sedang menunggu pria itu menampakkan diri. Berharap bukan penantian sia-sia, seperti hari kemarin dan beberapa hari yang lalu. Hujan cukup deras kali ini. Aku yakin dia akan datang ke taman ini. Aku yakin dia tidak akan melewatkan kesempatan menatap sayang kepada hujan hari ini.

Aku duduk sendirian di kursi taman ini. Beberapa orang hanya berlarian di depanku untuk menghindari hujan. Menepi di bawah pohon rindang untuk berteduh, seperti yang kulakukan waktu itu. Waktu pertama aku melihat pria itu dengan payung abu-abu. Saat itu, rambutnya setengah basah. Wajahnya sendu. Tidak seperti yang kulihat beberapa hari ini. Sendu. Dia pernah menatap sendu saat menatap hujan. Lalu, kenapa sekarang dia selalu menatap sayang saat hujan? Aku merogoh ponselku. Membuka tampilan surel dan..

 
Hei Rain,
Aku baru ingat. Saat pertama kali kita, aku melihatmu. Kamu sedang menatap hujan dengan sendu. Kuulangi. Kamu menatap hujan dengan sendu. Sebelumnya, kamu berpikir kalau hujan hanya membawa sendu, bukan?

Tentang HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang