Malamnya, Rain mengantarkanku pulang. Sebenarnya, aku ingin menunggu gadis kecil itu sampai dia sadar, tapi Rain memaksaku untuk pulang, dengan alasan besok aku harus bekerja. Setelah melongok sekali ke dalam ruangannya, aku berjalan berdampingan dengan Rain menuju parkiran.
"Apa yang terjadi dengan, siapa namanya?" tanyaku pada Rain saat kami berada di dalam mobil.
"Ara. Dia sakit..." Rain menghela nafas.
Aku hanya bisa menatapi wajahnya yang sedih tanpa bisa memberi komentar. Teka-teki lainnya. Kenapa dia sangat penuh dengan teka-teki?
Sekarang, aku sedang duduk di balkon dengan segelas cokelat panas, menatapi bangku taman yang tidak berpenghuni itu. Sudah hampir empat bulan, sejak pertama kali aku bertemu secara tidak sengaja dengan Rain di taman itu. Sejak hujan bisa turun setiap harinya, hingga sekarang hanya beberapa kali dalam seminggu. Sejak saat itu juga, aku sudah berburu, mengumpulkan puzzle-puzzle yang disebar oleh Rain, tapi sampai detik ini aku hanya memegang satu keping puzzle dari sekian banyak puzzle. Rain menyukai hujan karena Ara—keponakannya—juga menyukai hujan. Ara menyukai hujan, karena hujan memberikannya kehidupan. Tapi, puzzle lain bercecer. Kenapa Rain yang mengurusi Ara? Kenapa bukan orangtunya? Ke mana orangtuanya? Mungkinkah Ara itu anaknya? Anak? Benarkah?
Aku bergidik membayangkan kalau Ara adalah anaknya. Kalau memang dia sudah mempunyai anak, berarti aku sudah menyukai seorang lelaki beristri. Astaga, Key. Benarkah kau benar-benar menyukai pria hujan itu? mungkin kau hanya terhanyut dengan teka-tekinya? Tidak, ini benar-benar rasa suka. Seperti rasa yang kurasakan pada Adit, dahulu.
Malam semakin larut, dingin semakin mengerjapku. Aku mendekap tubuhku sendiri, lalu berjalan masuk ke dalam kamar. Kantuk belum menyapa, jadi aku memutuskan untuk duduk di depan laptop. Mencari beberapa kegiatan untuk membunuh kesepian ini. Aku membuka tampilan surel yang dikirim oleh Rain sejak empat bulan yang lalu. Surel pertamanya yang menyebut nama 'Lynn' dan surel-surel selanjutnya yang penuh dengan kejutan. Ada satu kejadian yang kuingat sampai detik ini dan aku sangat bersyukur karena telah bertemu dengannya. Dia membawaku ke makam mama. Mendamaikan kenangan pilu menahunku. Makam mama. Ah, ya, surat itu.
Aku membuka laci mejaku. Sobekan kertas yang kering langsung menyumbul. Tulisan tangan Rain yang tidak sengaja basah olehku. Seakan baru kemarin surat ini kuterima. Seakan baru kemarin aku berteduh di bawah pohon dengan sepatu hak tinggiku di tengah hujan. Betapa sangat menakutkan waktu. Berjalan sangat cepat saat kita tidak sadar.
*
Denting bel di atas pintu langsung menyambutku. Dekorasi kafe ini sedikit berubah sejak terakhir aku ke sini. Banyak balon warna-warni di tiap sudutnya. Setiap kursi diberi pita warna putih besar di bagian belakangnya. Di mejanya juga tersedia topi ulang tahun dengan kerlip-kerlip yang menarik mata.
"Permisi," aku menghampiri meja bar, "apa tempat ini disewa?"
"Tidak, Mbak."
"Oh, apa sedang ada perayaan atau semacamnya?"
"Iya. Hari ini ulang tahun Ara." Dia menunjuk gadis di sebuah figura, "jadi, semua tamu yang datang, kami gratiskan untuk setiap pesanannya."
"Oh, begitu."
"Silahkan memesan, nanti saya akan antarkan ke meja."
"Ng, cokelat panas saja. Terima kasih." Aku tersenyum lalu berjalan menuju ke tengah ruangan. Mencari meja untuk bisa kutempati.
Kakiku berhenti melangkah saat di pojok ruangan kulihat lelaki yang menyebarkan puzzle-puzzle ini. Dia sedang berbincang dengan beberapa orang, serta seorang gadis dengan kuncir dua di tengah-tengah mereka. Rain memarlingkan pandangannya ke arahku yang masih terpaku di tengah ruangan. Dia tersenyum, lalu bangkit menghampiriku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Hujan
Любовные романыKamu percaya, kalau hujan membawa keajaiban? Sebelumnya, aku benci ketika musim hujan datang. Semua hal menjadi kelabu. Hujan membuatku tak pernah bisa memaafkan diriku. Karena, hujan telah mengambil ibuku. Kemudian, semuanya berubah. Sejak aku bert...