Chapter 8

570 26 2
                                    

Aku bangun dengan kepala berputar serta suhu tubuh yang meningkat. Kemarin, aku menghabiskan hariku dengan mengurung diri di kamar mandi di bawah pancuran keran air. Puluhan tisu sudah berserakan di lantai kamar. Sejak subuh tadi, aku tidak berhenti membersitkan cairan hidung dengan tisu. Tubuhku sangat tidak enak pagi ini.

Aku melirik jendela besarku. Hujan turun deras sekali. Rain. Aku langsung menyibak selimutku, berjalan terhuyung menuju balkon. Aku berdiri sambil berpegangan kuat pada tralis balkon, mengedarkan pandangan, berusaha mencari keberadaan lelaki itu. Aku yakin dia akan datang. Dia tidak mungkin melewatkan hujan deras ini.

Aku masih mengedarkan pandanganku, tidak ada dia. Tidak ada Rain. Surelku sejak kemarin pun, tidak dibalas olehnya. Ke mana dia saat aku membutuhkan keajaibannya. Dia bahkan belum menepati setiap janjinya. Dia hanya datang dan menghilang begitu saja. Seperti hujan.

"Keyra?" aku menoleh saat suara lembut memanggilku.

Karin sedang berdiri di ambang jendela, menatap khawatir ke arahku. Aku tahu dia akan datang hari ini. Sejak kemarin, semua pesan singkat dan panggilannya, kuabaikan. Kemarin aku—kulangi lagi—terlalu sibuk mengurung diri di kamar mandi.

"Pintu depan nggak dikunci. Jadi, aku langsung masuk aja." Tambahnya saat tak mendapatkan sahutan apa pun dariku. "Ngapain di situ?"

Aku menggeleng, lalu berjalan masuk, menghampirinya ke dalam kamar.

"Aku khawatir sama kamu." Dia mengedarkan pandangan ke lantai yang penuh dengan tisu, "kamu sakit, Key?" dia menyentuh keningku, memeriksa suhu tubuh.

"Nggak apa-apa. Cuma flu saja." Aku memaksakan tersenyum, "kamu bolos kerja hari ini?"

"Iya. Aku ijin pulang cepat. Ng, Key," dia menggigit bibir bawahnya, menatapku gelisah. "Aku ke sini sama Adit." Ucapnya pelan.

Mataku membulat. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Dari arah pintu, Adit datang dengan setelan kemeja yang masih lengkap serta sebuket bunga di tangannya.

"Sorry." Lirih Karin pelan saat aku melotot ke arahnya.

"Hai, Key." Aku tidak menjawab sapaan lelaki itu. Aku membaringkan tubuh, berguling membelakanginya, lalu menyelimuti seluruh tubuhku.

Aku mendengar dua orang itu menghela nafas pelan. Kurasakan kasurku berguncang. Sebuah tangan terjulur, menaruh sebuket bunga di sampingku. Aku tidak bereaksi. Masih menjalankan aksi pemboikotan.

"Maaf atas kejadian kemarin, Key. Aku tidak bermaksud untuk—"

"Tapi, kamu melakukannya." Aku menyela ucapan Adit.

Dia menghela nafas, "Kemarin, kamu tidak mau mendengar penjelasanku. Kamu langsung membereskan barang-barang dan pergi begitu saja." Dia menyibak selimutku perlahan, lalu mengelus sayang kepalaku. Aku tidak melakukan perlawanan. "Aku sangat senang jika kamu kembali bekerja."

"Tidak mau!"

"Baiklah, aku tidak akan memaksa. Tapi, ijinkan aku merawatmu sampai sembuh, ya?"

Aku berbalik. Menatapnya yang sedang duduk di sampingku, dengan senyum yang selalu melelehkan hati. Aku ingin mengatakan 'tidak', tapi mulutku enggan terbuka. Akhirnya, anggukanlah yang di terima oleh Adit.

Sorenya, Karin pulang ke rumah, tapi tidak dengan Adit. Dia masih menemaniku di rumah. Dia memasakanku bubur yang sangat enak, serta cemilan-cemilan untuk menemani kami menonton. Adit selalu memastikan aku merasa hangat. Dia tidak pernah mengeluh jika aku pintai tolong. Dia akan selalu tersenyum manis sebelum dan setelah menolongku.

Jam menunjukan pukul sebelas malam dan aku masih terjaga. Televisi di depanku juga masih menyala. Aku menoleh ke sofa di depan ranjangku. Dengan lengan kemeja yang digulung hingga siku serta satu kancing paling atas kemeja itu terbuka, Adit terlelap sambil menggenggam remote. Dia pasti kelelahan setelah seharian penuh melayaniku. Aku bangkit, menarik selimutku, lalu menyelimutinya. Sehelai rambut jatuh di keningnya. Kusingkirkan rambut itu. Kuperhatikan wajah lelah itu. Hatiku berdesir, jantungku berdegup. Bahkan, saat dia tidak menatapku, aku masih bisa merasakan desiran aneh itu. Semakin lama kuperhatikan dia, semakin cepat juga jantungku berdegup. Aku menggeleng cepat, lalu berlari kembali ke ranjangku.

Tentang HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang