Chapter Two

1.4K 57 2
                                        

"Sekian rapat kali ini. Terima kasih." Adit mengakhiri sesi rapat kami kali ini.

Karin menarik kursi di sebelahku saat semua orang sudah meninggalkan ruang rapat.

"Beruntung kamu sampai tepat waktu!" dia mencubit lenganku. Aku meringis pelan.

"Aku bisa datang sepuluh menit sebelum rapat, kalau kamu nggak berisik kirim pesan terus."

Dia berdecak, "habis, tidak seperti biasa kamu telat pas ada agenda rapat."

"Di luar hujan, kasurku lebih menggoda dibanding bos ganteng itu." Aku bangkit sambil memeluk tumpukan map. "Kamu mau kutinggal di sini sendirian?"

Dahinya berkerut. "Ya, nggak, lah." Dia bangkit dan mengikuti aku yang sudah lebih dahulu keluar ruangan.

Saat melewati lorong dengan jendela menghadap taman--kebetulan sekali kantorku berseberangan dengan taman--aku melihat seorang lelaki turun dari mobil sedan hitam dengan payung warna abu-abu. Aku mendekati jendela untuk memastikan, kalau itu lelaki yang pagi tadi mengantarkanku ke kantor. Dia mulai memasuki gerbang taman saat aku berhasil mendekati jendela. Itu memang dia. Hujan di luar tidak terlalu deras, tetapi lelaki itu tetap mengembangkan payungnya.

"Lihat siapa, Key?" Karin berbisik di belakangku.

"Cowok." Ucapku sambil melengos pergi.

"Ha? Cowok?" dia mengekoriku menuju bilik milikku. "Cowok siapa?"

"Yang waktu itu aku ceritakan."

"Yang mana?" dia diam sebentar. Mengingat sesuatu. "Oh, cowok yag waktu itu kamu kira tukang ojek payung?"

"Pintar." Ucapku sambil menarik mantel dan berjalan keluar ruangan.

"Mau ke mana?" dia menyusulku sampai ke depan lift.

"Mau ngedate. Jangan ikut. Ini urusan orang dewasa." Aku mengedipkan mata dan menghilang di balik pintu lift.

*

Bau tanah tercium di mana-mana. Mengingatkanku akan kenangan masa kecil. Aku berjalan menyusuri jalanan setapak yang lembab akibat diguyur gerimis yang tak berkesudahan. Aku merapatkan mantel ketika angin berhempus pelan menerpaku.

"Sial. Sebegini penasarannya aku?" aku berdecak sambil sedikit menggigil.

Di ujung sana, seorang pria duduk di kursi taman dengan payung abu-abu terkembang. Aku mempercepat langkahku.

"Hai lagi." Sapaku setelah berada di hadapannya.

Dia mengangkat kepalanya. Menatapku dengan tatapan bingung.

"Boleh duduk?"

Dia melirik sisi kursi di sebelahnya. Dia mengangguk pelan. Aku tersenyum, lalu mengambil tempat di sisinya.

"Kopi."

Dia melirik. Asap putih tebal mengepul berebut keluar daru dalam gelas plastik coklat yang kugenggam.

"Tenang, ini aman." Tambahku saat dia tidak juga mengambil gelas itu.

Dia tertawa kecil, lalu mengambil alih gelas itu dari tanganku.

Hening kemudian. Tetesan gerimis terdengar nyaring di atas kepalaku. Perlahan derit kursi taman terdengar. Sebuah sentuhan menyenggol bahuku.

"Hujan mulai turun lagi." Ucapnya saat aku menoleh.

Aku masih terdiam menatap pria itu. Di pipinya ada bintik-bintik hitam kecil. Tersusun rapi hingga garis tulang pipinya berakhir. Lelaki ini belum sempat bercukur rupanya. Aku beralih memperhatikan ujung matanya. Mata yang ketika menatap terasa seperti menusukku dengan pedang. Mataku menyusuri wajahnya. Hidungnya melengkung indah di sana. Bibirnya, terlihat menggoda. Bibir atasnya tipis, sementara bibir bawahnya sedikit tebal untuk menyeimbangkan. Bibir itu begitu merah. Aku langsung membayangkan buah ceri yang manis saat menatapnya. Ingin rasanya aku menyicipi sekali saja saat bibir itu merengkuh bibirku. Sial. Kenapa pikiranku liar di saat seperti ini?

Tentang HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang