Seperti biasa, Rain menghilang lagi. Surelku tidak di balasnya lagi. Entah kenapa, setiap kami bertemu, keesokan harinya Rain menghilang berhari-hari. Bahkan, sempat berminggu-minggu. Aku semakin penasaran. Apa sebenarnya yang dia tutupi. Siapa dia sebenarnya.
Hari ini, aku membolos dari kantor. Bukan, aku bukan di taman, duduk diam sambil menunggu Rain datang. Aku sedang menemui seseorang. Berharap dia bisa meringankan bebanku sebentar. Aku berdiri di hadapan nisan mama, dengan buket bunga lili di tangan kananku dan sebuah kartu ucapan di tanganku yang lain. Aku meletakan buket bunga lili di sisi nisan mama. Sementara aku, duduk bersimpuh di hadapannya. Beberapa menit kuhabiskan hanya menatapi batu nisan berwarna hitam itu. Tidak ada kata yang keluar, bahkan batinku pun tidak membisikan apa pun. Aku membuka kartu ucapan yang sedari tadi kugenggam. Aku menatap sederet tulisan yang malam tadi sudah kutulis dengan air mata yang mengalir deras. Dan sekarang, aku akan membacanya di hadapan mama. Aku sudah membuka mulut, tapi tidak ada suara yang keluar. Tenggorokanku mulai terasa sakit.
"Mama.." suaraku terdengar parau, "maafkan karena aku datang ke sini untuk membagi kisah kebimbanganku, mengganggu tidur indahmu. Tapi, aku tidak tahu kepada siapa lagi harus kubagi kebimbanganku ini." Aku menghela nafas.
"Mama, apakah dibenarkan kalau aku menyukai seorang pria, yang bahkan asal-usulnya saja aku tidak tahu? Bertemu dengannya saja, seperti nyata dan tidak. Menyukai seorang pria yang membuatku berdamai dengan kenangan pilu bersama mama. Aku sendiri tidak tahu kenapa ini terjadi, Mama. Ini terjadi begitu saja." Aku melipat kartu ucapan itu, lalu menatap nisan mama. Mataku mulai mengabur. Air mata sudah bermuara di pelupuk mataku. "Aku menyukai Rain, Mah. Apa yang harus aku lakukan?"
Sedetik kemudian, air mata turun sangat deras. Aku menutupi wajahku dengan kedua tangan. Perasaan ini menyesakan dadaku. Menunggu untuk melihatnya saja, sudah membuatku gelisah. Dan sekarang, hatiku berani-beraninya membelokan haluannya untuk berharap mendapatkan hati lelaki dengan payung abu-abu itu. Sebenarnya, apa yang salah denganku? Apa yang salah dengan perasaanku? Bukankah setahun yang lalu dia masih memuja—dengan sangat—bos dengan senyum indah itu? Lalu kenapa sekarang... aku sungguh tidak mengerti.
Aku mematikan ponsel dan meninggalkannya di rumah. Sengaja, agar Karin ataupun Adit, tidak dapat menghubungiku. Aku hanya ingin sendiri. Memikirkan keanehan yang terjadi padaku. Memikirkan keanehan yang tiba-tiba terjadi di hidupku. Tidak sengaja bertemu dengan seorang lelaki—yang menatap sayang ke arah hujan—di taman, membuat seluruh hal di dalam hidupku berubah. Bahkan aku tidak pernah membayangkan sebelumnya. Keajaiban hujan. Itu yang selalu diucapkannya. Kenangan tentang mama yang menjadi kenangan pilu menahun, luluh bersama hujan, merubahnya menjadi kenangan manis dan hangat. Rain. Aku rasa bukan hujan yang membawa keajaiban itu padaku, tetapi dialah keajaiban itu.
Aku berjalan memasuki sebuah taman tak jauh dari pemakaman. Ada beberapa permainan anak-anak—semacam papan seluncur dan ayunan—di sana. Aku berjalan mendekati ayunan dengan dudukan kayu itu. Mengelus pelan rantai yang menggantungnya. Kenangan itu langsung datang. Hari di mana mama pergi keluar di tengah hujan untuk mencariku. Aku duduk di ayunan itu. Mengayunkan tubuhku perlahan. Aku sudah lupa, kapan terakhir aku menaiki ayunan seperti ini, bersatu bersama angin berusaha menyentuh langit. Aku menghela nafas, lalu memejamkan mata. Jeritan serta tawa anak-anak kecil langsung terdengar di telingaku. Samar-samar juga kudengar suara tawa masa kecilku di sana. Aku tersenyum simpul. Betapa indahnya masa itu. Saat semua hal, hanya sesakit kau kehabisan permen atau terjatuh dari atas ayunan. Dan, akan selalu ada pelukan mama jika kau menangis karena PR yang tak kunjung selesai. Jika ada yang bisa kulakukan untuk kembali ke masa itu, aku akan lakukan apa pun. Apa pun, asal masa itu kembali kepadaku.
"Kakak..." mataku langsung terbuka saat kudengar suara anak perempuan menyapaku. "Kalau kakak berayun seperti itu, nanti ayunannya jatuh." Dia menunjuk ujung dari rantai ayunan ini yang sudah mulai bergoyang tidak tentu arah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Hujan
RomanceKamu percaya, kalau hujan membawa keajaiban? Sebelumnya, aku benci ketika musim hujan datang. Semua hal menjadi kelabu. Hujan membuatku tak pernah bisa memaafkan diriku. Karena, hujan telah mengambil ibuku. Kemudian, semuanya berubah. Sejak aku bert...