"Karena, aku mencintai hujan."
*
Aku melempar handuk basah ke atas tempat tidurku. Sementara, aku duduk di ujungnya menghadap jendela besar yang memberikan pemandangan kota Jakarta saat malam hari. Kejadian di taman sore tadi, kembali terputar di kepalaku. Tawa riang itu juga tidak mau pergi dari pendengaranku. Entah apa yang terjadi di taman tadi. Aku masih bertanya-tanya, apakah itu benar-benar terjadi. Kenangan masa kecilku kembali terulang. Kenangan yang takut untuk kembali kuingat. Tawa riangku yang membawa sendu di kala hujan.
Aku melirik meja kecil di samping tempat tidur. Foto gadis kecil dengan poni menutupi mata sedang tersenyum riang dalam pelukan seorang wanita muda dengan poni yang sama. Aku meraih bingkai itu. Kuusap perlahan permukaan kacanya. Entah sudah berapa lama aku tidak pernah melihat senyum hangat wanita itu lagi. Tanganku menyusuri wajahnya yang tersenyum. Mata indahnya masih terlihat hangat meski hanya lewat foto. Sebuah tetesan air jatuh ke atas figura. Tetesan lainnya menyusul. Tanpa bisa dicegah, air mataku mengalir deras. Setelah beberapa tahun, aku mencoba terlihat 'Tidak terjadi apa-apa', akhirnya malam ini, pertahananku runtuh.
"Maafin Keyra, Mah." Lirihku disela isak.
*
Beberapa hari ini, Jakarta enggan menurunkan hujan yang biasanya dia lakukan. Tetapi, dia juga enggan untuk menampakkan sinar matahari. Aku selalu menatap sendu ke arah langit saat jam makan siang tiba. Aku berkelit saat Karin menanyakan apa yang sedang aku lakukan.
"Beberapa hari ini, kamu selalu memperhatikan taman di depan, deh. Kenapa?"
"Emang kalau mau memperhatikan taman harus ada alasannya?" aku menoleh ke arah Karin yang sedang sibuk dengan cerminnya.
"Nggak biasanya kamu begini, tahu."
Aku hanya diam. Memegangi erat gelas kopiku yang masih mengepulkan asap putih.
Aku berjalan menyusuri jalan setapak dengan fikiran menerawang. Beberapa hari ini juga aku tidak melihat lelaki itu. Lelaki yang--mengaku--selalu datang ke taman di kala hujan. Lelaki yang berjanji untuk menunjukan keajaiban hujan kepadaku. Keajaiban. Apa yang bisa dilakukan hujan selain membuat repot?
Sebuah tetesan air mengenai kepalaku. Aku menengadahkan kepala. Tetesan air lainnya terjun bebas ke atas pelipisku.
"Hujan?" lirihku menatap langit.
Aku kembali menurunkan kepalaku. Saat tatapanku sudah normal, seorang lelaki dengan payung berdiri di hadapanku. Aku mengerjapkan mata. Lelaki itu tersenyum.
"Saya akan menepati janji." Ucapnya.
"Tapi, ini bukan jam makan siang."
"Hujan sedang turun sekarang." Dia menatapku dalam. Tatapan yang sama. Selalu sama.
"Bagaimana? Kalau kamu sedang terburu-buru, tidak apa." Saat dia akan melangkahkan kaki, aku segera menarik tangannya.
"Tidak, aku tidak keberatan." Aku tersenyum. Aku memberikan tatapan memohon kepadanya.
Kami berjalan menuju kursi taman yang biasa dia tempati. Saat aku menanyakan kenapa harus kursi itu, dia menjawab dengan nada tenang.
"Karena, kursi itu yang memiliki view paling bagus."
Kami duduk diam di kursi taman dalam lindungan payung abu-abu. Rintikan hujan yang jatuh berebut ke atas payung, menemani kebisuan kami. Aku tidak suka duduk bersisian dengan orang lain tanpa membicarakan satu hal pun dalam jangka waktu lama. Aku melirik lelaki itu. Dia sedang tersenyum sambil memejamkan mata. Aku penasaran apa yang ada dalam bayangannya saat ini. Aku menngulurkan tangan untuk membangunkannya, namun sedetik kemudian kutarik kembali. Aku memutuskan untuk menunggunyaa selesai dengan khayalannya.
Aku kembali menatap wajahnya. Ternyata hidungnya lebih indah jika dilihat dari samping. Aku merasakan pipiku memerah. Astaga. Kontrol dirimu, Key. Secara tiba-tiba, lelaki itu membuka matanya. Aku segera memarlingkan wajah.
"Ada apa?" tanyanya.
"Hm?" aku menoleh dengan wajah yang berusaha dipolos-poloskan.
"Kamu menatap saya seperti itu lagi."
Sial. Memang seperti apa tatapan mataku kepadanya.
"Wajahmu memerah." Lelaki itu tertawa. Tawa meledek.
Sial. "Apa yang ingin kamu tunjukan?" aku segera mengalihkan perhatiannya.
"Apa yang ingin kamu tahu tentang hujan?"
"Bukan tentang hujan yang ingin aku ketahui."
"Lalu?" dia menatapku. Tatapan menyelidik.
"Kamu." Aku mengerjapkan mata.
Dia tertawa. "Saya? Apa yang ingin kamu ketahui tentang saya?"
"Semua," aku menarik nafas dalam-dalam, "kamu aneh. Datang ke taman hanya di saat hujan. Kamu, menatap hujan seakan kamu menatap kekasihmu. Dan… siapa namamu?" aku menghembuskan nafas perlahan.
Dia kembali tertawa. "Wow. Pertanyaan mana dulu yang harus saya jawab?"
Aku hanya diam sambil menatapnya lekat-lekat.
Dia menatapku sekilas, kemudian menghela nafas. Tatapannya kini lurus ke depan. Menerawang.
"Saya datang ke sini hanya di saat hujan, karena saya mencintai hujan. Kenapa saya mencintai hujan, karena hujan mengingatkan saya kepada Lynn. Kalau kamu bertanya siapa Lynn, dia kekasih saya. Mantan kekasih. Nama saya?" dia menoleh menatapku. "Rain. Hujan." Dia tersenyum. "Sudah."
"Kenapa hujan mengingatkanmu kepada Lynn?"
Dia menghela nafas. "Ceritanya panjang. Kamu akan bosan mendengarnya."
"Tidak. Aku tidak akan bosan."
"Baiklah. Tapi, kita harus cari tempat yang lumayan hangat." Dia melirikku, "Kamu tidak memakai pakaian yang mendukung."
Aku melirik pakaianku. Blouse bunga dengan blaizer warna nude dan rok mini. Memang sangat tidak cocok untuk menghabiskan malam di tengah hujan.
"Di dekat sini ada kafe dengan cokelat panas yang enak." Dia bangkit, "bagaimana?"
"Oke."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Hujan
RomanceKamu percaya, kalau hujan membawa keajaiban? Sebelumnya, aku benci ketika musim hujan datang. Semua hal menjadi kelabu. Hujan membuatku tak pernah bisa memaafkan diriku. Karena, hujan telah mengambil ibuku. Kemudian, semuanya berubah. Sejak aku bert...