Bag. 4

25 4 0
                                    

Pagi ini Suga sengaja berolahraga ringan dengan berlari-lari kecil di pantai. Ia hanya berputar-putar di lokasi yang sama agar bisa bertemu dengan Jeara lagi. Entah kenapa ia menjadi merasa ingin bertemu kembali dengan Jeara.

Pasalnya, selama ia beberapa kali berpindah dari bersekolah formal dan sekolah khusus, ia tidak menemukan satu orang pun teman yang mau mendekatinya. Padahal Suga sudah pernah memberikan mereka semacam traktir makanan atau apapun. Namun, mereka hanya menerima tanpa peduli dengan maksud tujuan Suga seperti apa. Tidak jarang Suga juga mendapat perlakuan buruk dari mereka.

Apalagi ketika bersekolah formal. Ia selalu diledek karena tidak bisa bicara. Ia sering kali mendapatkan seruan umpatan yang dilayangkan padanya. Suga ingin sekali membalasnya, sehingga suara yang keluar dari mulutnya hanyalah lenguhan nyaring yang membuat orang-orang yang melihatnya menjadi menertawakan dirinya. Itulah sebabnya Suga lagi-lagi memilih untuk bersekolah khusus, meski diabaikan setidaknya di sana tak ada yang mengganggunya. Kadang, ketika suasana hatinya kembali baik-baik saja, ia akan meminta kembali bersekolah formal, namun tentu saja di lokasi yang berbeda.

Berulang kali terus seperti itu. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk di rumah saja selama setahun belakangan ini. Suga merasa ia akan lebih nyaman dan aman jika tidak ada orang banyak di sekitarnya. Ia juga berhenti sekolah formal lantaran cidera yang dialaminya hingga ia kehilangan pendengarannya waktu itu. Hal itu sempat membuatnya semakin merasa kesulitan hingga menjadikannya frustrasi.

"Suga!!" teriak Jeara dari kejauhan. Sesaat kemudian ia tersadar bahwa Suga tidak bisa mendengarnya. Ia lantas berlari kecil sampai akhirnya berhenti satu meter di depan suga.

"Hai!" sapanya dengan menggunakan bahasa isyarat sambil tersenyum manis.

"Kamu baru berangkat sekolah?" tanya Suga dengan menggerakan tangannya.

"Iya, soalnya aku telat bangun. Aku duluan ya. Nanti pulang sekolah kita ketemu di tempat kemarin. Dah!" setelah berkata begitu, Jeara pun berlari dengan kencang seolah tubuhnya terlalu ringan untuk dibawa berlari.

Suga hanya tersenyum memperhatikannya. Entah kenapa ia merasa senang meski baru sebentar bertemu dengan Jeara. Dan setelah itu Suga pun mengakhiri olahraga kecilnya dengan berlari menuju vilanya yang memang tidak jauh dari sana. Kemarin ia menaiki mobil karena ia tidak menduga kalau jaraknya sedekat itu ternyata. Maklum, ia kan sudah lama tidak kemari lagi sejak 6 tahun yang lalu.

"Sudah selesai olahraganya, Tuan Muda?" tanya Wisman begitu melihat Suga datang.

"Iya. Aku hanya ingin bertemu dengan gadis yang kutemui kemarin." sahut Suga seraya mengambil minuman dari kulkas.

Wisman tersenyum mengetahuinya. Baru kali ini ia melihat tuan mudanya begitu bersemangat hanya untuk bertemu seseorang walau cuma sebentar.

"Om Wis, kenapa sudah rapi sekali. Mau kemana?"

"Saya dipanggil sama Pak Jonathan. Tapi nanti saya balik lagi. Katanya ada obrolan serius yang hanya bisa dijelaskan secara langsung. Seperti itu."

"Obrolan serius? Apa?"

"Saya juga masih belum tahu, Tuan Muda. Kalau begitu saya berangkat dulu ya. Takut bapak sudah menunggu lama. Anda tidak apa-apa kan saya tinggal sebentar?"

"Beres, Om Wis. Om Wis, hati-hati ya."

Dan kemudian Wisman pun pergi meninggalkan Suga yang mulai beranjak ke kamarnya.

Ia sudah tidak sabar untuk bertemu lagi dengan Jeara nanti sore. Sembari menunggu waktu sore yang masih sangat lama lagi. Begitu selesai sarapan, Suga pun meraih buku gambar yang dibelikan oleh Wisman, membawanya keluar menuju batu karang yang dekat dengan lokasi mereka bertemu kemarin. Ia mencoba menggambar seperti apa yang digambar Jeara untuknya. Meski tidak sebagus gambaran Jeara, namun setidaknya Suga sudah berusaha keras sampai harus berkali-kali meraut pensilnya.

_______________

Sore itu langit seperti sedang tidak bersahabat. Awan hitam berarakan menutupi matahari, sehingganya cahayanya seakan meredup. Sebentar lagi akan turun hujan, namun Suga sudah berada di tempatnya menunggu Jeara sambil menyiapkan dua payung untuknya dan Jeara. Suga tahu harusnya ia mendatangi Jeara ke sekolahnya saja agar payung itu lebih berguna di sana, karena siapa tahu saat sekolah Jeara telah bubar, hujan turun saat itu juga dan Jeara tidak memiliki payung. Tapi Suga tak bisa melakukan itu. Rasa cemasnya pada orang-orang akibat perlakuan yang ia dapatkan semasa sekolah formalnya dulu, membuatnya tak bisa pergi ke sana. Suga hanya berharap hujan turun ketika Jeara sudah tiba di tempat mereka bertemu sekarang.

Seseorang menepuk pundak Suga lantas membuatnya menoleh.

"Minta duit dong. Gue haus." kata orang itu dengan penampilannya yang sangat berantakan. Rambutnya kusut dengan pakaian yang ia gunakan sangatlah lusuh dan kumal. Bau tubuhnya pun membuat Suga refleks memundurkan dirinya. Entah sudah berapa lama orang itu tidak menyentuh air.

"Lo ngeledek gue ya?! Wah, kurang ajar nih anak. Gue minta baik-baik lho ya!" seru orang itu dengan maju selangkah dan Suga yang juga turut memundurkan dirinya.

"Wah, anj***!" umpat orang itu dengan menarik kerah baju Suga namun Suga tidak bergerak sedikit pun. Karena tak tahan dengan bau tubuhnya Suga pun membanting orang tersebut dengan kemampuan bela diri yang dimilikinya.

"Brengs*k!!" orang itu kembali bangun dan berusaha untuk memukul Suga. Menyadari akan dirinya dalam bahaya, Suga pun melawan sampai akhirnya orang itu yang terjatuh kesakitan di tanah. Suga sebenarnya tidak ingin terlalu mengeluarkan energinya untuk menanggapi orang tersebut. Namun karena kelancangannya yang menyentuh dirinya lebih dulu, membuat Suga menjadi tidak terima. Sesaat setelah mempu berdiri lagi meski dengan tubuh yang terhuyung. Orang itu dengan masih mengumpat meninggalkan dirinya.

Beberapa menit ditinggalkan orang tersebut barulah Suga merasakan sakit pada wajahnya yang sempat terkena pukulan.

Perlahan hujan mulai menetes di punggungnya. Ia melupakan rasa sakitnya dan menatap ke sekitar mencari Jeara yang barangkali sudah dalam perjalanan.

Mendapati suasana pantai yang lengang dan air hujan yang mulai semakin menderas, Suga pun beranjak berjalan menuju arah sekolah Jeara. Tidak. Suga tidak benar-benar pergi ke tempat di mana ada banyak murid-murid berlalu lalang itu. Ia hanya mengira Jeara bisa saja sedang berteduh pada suatu tempat.

Dan benar seperti dugaannya. Jeara tengah berdiri pada sebuah halaman toserba bersama dengan anak-anak yang lainnya. Terlihat jelas di sana Jeara sedang mengobrol dengan teman yang ada di sebelahnya. Tertawa kecil hingga membuat mata besarnya menyipit. Jeara terlihat baik-baik saja.

Suga tidak lagi berjalan dari posisinya. Tubuhnya terhalang dengan tanaman yang ada di pinggir jalan sehingga kemungkinan Jeara bisa melihatnya sangat kecil. Suga ingin sekali mengampirinya untuk memberikan payung untuk Jeara. Tapi urung karena rasa cemas itu masih tetap menguasai perasaannya.

Bruk!

Tidak jauh dari posisinya berdiri, seorang ibu paruh baya tengah mendorong sebuah gerobak berisi kardus bekas yang hampir penuh. Entah apa yang terjadi sebelumnya, gerobaknya jatuh miring ke kenan sehingga membuat kardus yang dibawanya menjadi berhamburan di jalanan. Kardus yang tadinya sudah ditutupi dengan plastik itupun menjadi basah seketika. Tidak ada seorangpun yang bergerak untuk menolongnya.

"Bu Hao!" seru seseorang begitu Suga mendatangi dengan memayungi menggunakan satu payungnya. "Suga?"

Dia adalah Jeara.

Its OK to Not be Okay [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang