Suga menepuk tangan Jeara seraya berkata, "Aku bawa banyak bunga di rumah pohon. Kamu mau aku ajarkan buat bikin crown, nggak?" tanya Suga setelah cukup lama suara ombak lebih mendominasi.
"Boleh, aku jadi penasaran bagaimana kamu bisa membuatnya sebagus ini." sahut Jeara dengan mengangguk antusias.
Lalu mereka pun berjalan kaki menyusuri tepian pantai menuju hutan yang tak jauh dari sana. Matahari mulai semakin menguning seiring malam yang sebentar lagi akan menelannya sepenuhnya. Langit senja pada saat itu selalu indah hingga membuat bayangan Suga dan Jeara seperti memanjang di belakang mereka. Pemandangan yang sungguh menakjubkan jika saja hal itu dapat dilukiskan.
Tak lama kemudian, mereka akhirnya tiba di rumah pohon.
Jeara terperangah saat mendapati untaian rangkaian bunga yang memanjang dari pohon yang dijadikan rumah ke pohon-pohonnya lainnya. Tak hanya itu, di situ juga terdapat sebuah ayunan yang dihiasi dengan lilitan bunga-bunga warna-warni. Seketika wangi bunga yang bercampur memasuki indera penciuman mereka masing-masing. Baunya sama sekali tak menusuk, melainkan begitu lembut dan membuat nyaman serta tenang. Jeara tak mampu berkata apa-apa lagi saking terpananya. Ia bukannya berlebihan, melainkan karena ini adalah kali pertama ia melihat rangkaian bunga warna-warni hidup yang dihias begitu cantik seperti sekarang.
Suga menyodorkan tangannya yang membuat Jeara tersadarkan lantas menengok ke wajahnya.
"Ya?" tanyanya masih tidak menyambut uluran tangan Suga.
Suga lalu menunjuk ke atas mengajak Jeara untuk segera naik.
"Maaf, aku melamun. Ayo." kata Jeara seraya menyambut uluran tangan Suga. Kemudian mereka pun naik ke atas secara bergantian dengan tangga tali yang juga dihias dengan bunga, membuat Jeara semakin berhati-hati karena takut membuatnya rusak dengan kakinya.
"Suga, apa semua ini kamu yang menyiapkannya?" tanya Jeara begitu mereka sudah sampai di atas dan mendapati dua dus besar berisi bermacam-macam bunga hidup.
"Tentu saja bukan. Aku cuma buat idenya saja, sementara yang merealisasikannya adalah om Wisman." jawab Suga jujur diiringi dengan tertawa kecil.
"Kalau begitu tunggu apa lagi, ayo ajari aku merangkai bunga. Nanti keburu bunga-bunganya pada layu, kan sayang." kata Jeara yang sudah tak sabar.
Suga mengangguk dan mulai mengajari Jeara tahap demi tahap. Jeara beberapa kali mematahkan tangkai bunga karena tidak berhasil melilitnya. Beberapa dari bunga yang patah itu Suga jadikan sebagai hiasan ia membuat bandana dan sementara sisanya Suga selipkan ke kedua telinganya. Jeara terkekeh saat melihat hal itu. Pasalnya Suga jadi terlihat tampan juga cantik secara bersamaan.
Saking asiknya merangkai bunga, mereka tak sadar bahwa langit sudah perlahan menggelap. Beberapa kupu-kupu juga beterbangan tak jauh dari mereka.
"Yeeeeeaayyy, akhirnya berhasil juga." kata Jeara setelah berhasil menyelesaikan crown yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
"Akhirnya, selesai juga." kata Suga dengan tersenyum.
Jeara lalu memasang crown buatannya itu pada Suga yang langsung kikuk ketika tangan Jeara menyentuh kepalanya.
Setelah berhasil memasangkan, Jeara bertepuk tangan bangga dengan hasil yang dibuatnya itu.
"Kamu keren sekali Suga." ujarnya dengan mengacungkan kedua jempolnya pada Suga yang juga tersenyum.
Suga kembali memasangkan crown yang tadi sempat dilepas oleh Jeara.
"Oh, iya, aku lupa. Padahal kan tadi kamu minta aku terus memasangnya sampai matahari tenggelam. Tapi aku malah asik merangkai bunga yang baru." kata Jeara begitu Suga selesai memasangkannya.
"Tidak apa-apa. Aku bahkan tidak sadar kalau sedari tadi kamu melepaskan crownnya. Karena kamu tak jauh berbeda cantiknya ketika menggunakan crown." kata Suga yang membuat kedua pipinya mendadak memerah. Padahal, kalimatnya ditujukan untuk Jeara. Tapi malah Suga sendiri yang mendadak malu. Sementara Jeara hanya terkekeh kecil.
"Eh, iya, aku belum melukis hari ini. Sebentar, ya." kata Jeara dengan mengeluarkan buku gambarnya dan mulai menghadap lautan yang masih terlihat terang diujungnya. Jeara menggambarnya dengan singkat namun tetap terlihat mirip. Sementara Suga hanya memperhatikan bagaimana wajah Jeara ketika serius menatap objek yang ada di depannya.
"Yes. Sudah." ucap Jeara begitu selesai dan menoleh pada Suga yang langsung tersenyum.
"Berapa harga dari gambaran ini jika kamu menjualnya secara daring?" tanya Suga.
"Mungkin sekitar 60ribu atau 70ribu?"
"Ck, bukannya itu terlalu murah untuk nilai dari gambar yang dibuat semirip dengan aslinya ini? Harusnya kamu lebih naikan harganya. Karyamu memiliki nilai seni yang tinggi Jeara." ujar Suga mengomentari.
"Begitu ya? Aku bahkan menjualnya sambil menjadi badut dengan harga yang lebih murah lagi. Hanya sepuluhribu saja perlembarnya." kata Jeara dengan menyengir.
"Apa kamu sengaja, Jeara? Lalu berapa untuk harga yang dijadikan hiasan atau mural pada kafe dan resto yang memakai karyamu? Jangan bilang kamu juga memberikan tarif yang tak sesuai dengan kemampuanmu itu." kata Suga dengan wajah sedikit kesal.
"Hei, Suga. Tak usah sekesal itu. Lagipula, aku menikmati saja dengan berapapun harga yang aku dapatkan. Aku juga membuat gambaran itu tidak untuk benar-benar ingin dinilai secara materi. Tapi lebih kepada dihargai. Itu saja. Meskipun begitu, aku masih tetap melakukan hobiku ini pada setiap harinya. Lihat saja sekarang. Seasik apapun fokusku pada hal lain. Aku masih tetap meluangkan waktuku untuk menggambar meskipun singkat. Pada intinya, aku tetap menggambar dan mencintai semua hasil karyaku dengan berapapun harganya." jelas Jeara membuat sudut pandang Suga terhadapnya menjadi semakin kagum.
"Lantas bagaimana dengan beberapa lembar karyamu yang sempat dijadikan alas duduk, penyeka kotoran dibawah sepatu, bahkan terinjak di jalanan. Tidakkah kamu sakit hati akan semua itu?" tanya Suga tak bermaksud membuat Jeara sedih. Tapi ia ingin tahu apa yang ada dipikiran Jeara ketika hal itu terjadi.
"Aku tinggal buat lagi saja. Lagipula, tidak semua orang benar-benar bisa menghargai terhadap apa yang sudah kita lakukan. Jika sudah seperti itu, maka ya sudah. Aku pun tak bisa memungutnya lagi bukan selain membuatnya kembali."
"Aku salut denganmu Jeara. Kamu bisa mengatasi hal itu tanpa emosi. Beberapa orang diluar sana mungkin akan marah jika karyanya diperlakukan seburuk itu. Aku akan jadi penggemar nomor satumu mulai sekarang." kata Suga yang langsung membuat Jeara tertawa kecil.
"Aku serius Jeara. Aku akan jadi penggemar pertama yang akan membeli karyamu jika suatu hari kamu membuka galeri untuk pameran semua gambar yang kamu buat. Ah, bagaimana jika mulai sekarang kamu rubah medianya menjadi lukisan saja?" tawar Suga tiba-tiba.
"Tidak perlu Suga. Aku sudah terlanjur nyaman menggambar menggunakan spidol warna dan kertas gambar biasa. Rasanya akan sedikit aneh jika tiba-tiba aku menggambar menggunakan kuas." tolak Jeara dengan halus.
"Hei, aku bahkan pernah melihatmu menggambar dengan kuas cat saat di mercusuar kemarin dan hasilnya sangat-sangat fantastis. Kamu tidak bisa merendah lagi Jeara. Mulai sekarang, tempat ini akan jadi tempat kamu melukis menggunakan kanvas dan kuas." setelah berkata begitu Suga mengambil kanvas serta kuas yang ternyata sudah sedari tadi tersampir di dinding rumah. Jeara tak menyadari itu sama sekali saat tadi melewatinya.
"Suga, kamu serius melakukan ini?"
"Harusnya aku yang tanya kamu. Kamu mau kan? Setidaknya melukislah untuk ayahmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Its OK to Not be Okay [Completed]
Подростковая литератураTidak apa-apa untuk tidak merasa baik-baik saja.. copyright©votavato/ringjump2021