bag. 33

7 2 0
                                    

Jeara tengah duduk di balkon villa yang menghadap ke laut. Saat itu sore hari, sehingga cahaya matahari tampak begitu meyilaukan jika saja tidak ada tirai bambu yang menghalaunya. Di depannya terdapat kertas putih yang kosong beserta satu set spidol warna. Ia hanya duduk diam sambil menunduk menatap pada kertas kosong itu.

Semenjak mendengar cerita akan bagaimana ibunya dulu dari ayahnya tadi malam, Jeara jadi terlihat lebih sering diam. Seharian di villa juga ia lebih sering mengurungkan dirinya di kamar. Meski Suga sudah berkali-kali untuk memanggilnya melalu ponsel, Jeara tak menghiraukannya. Hingga dalam sepanjang hari itu Suga pun membiarkan Jeara untuk memiliki waktunya sendiri.
Suga yakin, Jeara pasti tidak menyangka sama sekali akan bagaimana perangai sebenarnya ibunya itu.

Mendadak, rasa marah dan kecewa merasuki perasaan Jeara. Padahal, tadinya ia sudah berusaha untuk tidak membenci ibunya dan lebih memilih seperti menganggap bahwa ibunya adalah sosok orang asing baginya. Tapi, begitu mendengar akan bagaimana jahatnya ibunya dulu. Jeara pun kebingungan dengan segala rasa yang bercampur aduk dalam dirinya. Itu sebabnya, ia tak beranjak dari kamar semenjak menginap di villa Suga dari kemarin.

Jeara berulang kali menghela napasnya setiap kali ingatan mengenai ibunya yang meninggalkannya selama ini melintas dipikirannya. Tentang bagaimana ia bisa bertahan hidup sendirian setiap kali ayahnya pergi meninggalkannya untuk melaut pada setiap malamnya. Kadang Jeara juga menangis dalam diamnya saat merasa begitu sangat kesepian. Terlebih jika saat malam itu sedang ada pemadaman listrik. Jeara akan bergegas untuk masuk ke dalam lemari dengan membawa satu senter di tangannya. Ia tidak akan keluar sebelum lampu kembali menyala. Andai saja pada saat itu ia masih bersama ibunya, Jeara pasti tidak akan seketakutan itu.

Jeara terperanjat sesaat melihat di teralis pagar balkon muncul sepasang tangan yang kemudian disusul oleh kepala Suga dengan wajahnya yang menyengir.

"Suga!? Apa yang kamu lakukan di situ?" tanya Jeara dengan berseru seraya mengampiri dengan bagaimana Suga bisa bergelantungan di pagar balkon. Dengan susah payah Suga pun berusaha untuk bisa masuk ke dalam balkon, Jeara pun turut membantunya dengan menarik tangannya. Saat Jeara lihat ke bawah, tak ada sama sekali tangga atau tali yang bisa dibuat sebagai tumpuan memanjat oleh Suga. Masa iya Suga dapat memanjat tembok seperti cicak?

"Suga, bagaimana caranya kamu bisa naik ke sini? Sementara ini lantai 4 dan tidak ada tali atau tangga di sana." tanya Jeara dengan menatap khawatir ke Suga.

"Selain merangkai bunga, aku juga suka memanjat sebenarnya. Hanya saja itu lumayan jarang kulakukan. Dan sekarang, berkat kamu yang tidak keluar kamar selama seharian ini, membuat aku jadi kembali melakukan hobi lamaku itu. Bagaimana? Bukannya aku terlihat hebat memanjat seperti spiderman ke mari." ucap Suga dengan tersenyum dan terkesan membanggakan dirinya.

"Jika itu adalah salah satu hobimu yang lama, kamu bisa saja lupa dengan bagaimana caranya menghadapi medan yang licin Suga. Kamu nekat sekali. Kalau saja kamu terjatuh bagaimana? Aku pasti akan menjadi orang pertama yang paling menyesal seumur hidupku. Kamu tahu itu." kata Jeara dengan tatapannya yang masih tak lepas dari wajah Suga. Sesaat ada kilau kristal di matanya yang dipantulkan oleh senja.

"Hei, jangan menangis, Jeara. Aku tidak bermaksud membuatmu sedih. Aku terpaksa memanjat karena kamu tidak kunjung membukakan pintunya untukku. Aku mencemaskanmu, Jeara. Amat sangat. Aku khawatir kamu kenapa-kenapa di dalam kamar. Terlebih, kamu juga melewatkan sarapan dan makan siangmu. Tidakkah kamu hanya akan membuat tubuhmu sakit jika terus-terusan seperti itu? Atau kamu berencana untuk bisa libur sekolah besok pagi dengan alasan sakit? Benar begitu?" sahut suga dengan mendekat.

Jeara tak menyahut apapun, ia justru memilih untuk memeluk Suga dengan erat begitu saja. Karena sikapnya yang tiba-tiba itu membuat Suga pun mendadak mematung di tempatnya. Sebab, jantungnya terasa berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Mendadak perutnya pun merasa mulas. Tapi ia tidak mau beranjak atau melepaskan pelukan tersebut. Dengan perlahan, ia pun membalas dengan mengusap pelan punggung Jeara.

___________

Mobil yang membawa Suga dan Jeara baru saja tiba di sekolah setelah mobil yang ditumpangi Janara terparkir tepat di depan tiang bendera upacara. Sontak saja hal itu membuat beberapa murid yang melewatinya seperti kesal tapi juga tidak bisa berbuat banyak lantaran si pemilik mobil berdiri di samping mobil bersama dua bodyguard-nya yang bertubuh lumayan besar.

Beberapa guru sempat menegur untuk memindahkan mobil tersebut ke tempat yang seharusnya lantaran sebentar lagi akan diadakan upacara bendera. Janara hanya berdecih dan mengabaikan teguran dari guru itu, tapi sesaat kemudian orang suruhannya sudah memindahkan mobilnya ke parkiran tepat di samping mobil Suga.

Suga menggenggam tangan Jeara agar ia jangan dulu turun selagi ibunya masih ada di sana.

"Ck, orang itu mau apa lagi, sih? Buat malu dirinya saja seperti itu." ucap Jeara sambil menatap sebal pada ibunya di sana.

"Sepertinya beliau ingin bertemu Nona Jeara. Mungkin untuk mengajak Nona ikut dengannya lagi seperti waktu itu." jawab Wisman.

"Suga, biarkan aku turun sekarang. Aku ingin bicara dengannya agar ia tidak lagi mendatangiku seperti ini." ucap Jeara.

"Bagaimana jika dia membawamu paksa? Kamu tidak lihat ia bersama dengan dua orang bertubuh besar itu." Suga tidak yakin membiarkan Jeara pergi begitu saja.

"Tidak akan. Lagipula di sini banyak orang. Ia pasti malu jika aku menolak ajakannya terang-terangan disaksikan oleh murid-murid lainya." yakin Jeara sambil menyentuh dan menepuk pelan pundak Suga.

Sesaat Jeara membuka pintu mobil, tiga orang temannya langsung menyambut dengan posisi siap melindungi Jeara dari jangkauan sang ibu.

"Kalian nggak perlu lindungin aku. Aku mau datangi dia dan bicara dengannya sekarang. Jangan khawatir, aku pasti baik-baik saja." ucap Jeara sebelum ketiga temannya melayangkan protes untuknya. Venus ingin sekali ikut bersama Jeara mendatangi ibunya, tapi ditahan oleh Jeara. Sehingga keempat temannya itu pun hanya bisa menyaksikan semuanya dari kejauhan.

Jeara kini sudah tiba di hadapan ibunya. Janara melepaskan kacamata hitamnya setelah Jeara tepat berdiri di depannya.

"Jeara? Kamu akhirnya mendatangi ibu juga, Nak? Astaga, ibu senang sekali." Baru saja Janara hendak memeluk Jeara, Jeara sontak memundurkan dirinya beberapa langkah untuk menghindar, tapi ditahan oleh dua bodyguard ibunya sehingga mau tidak mau ibunya dapat memeluk erat dirinya. Tapi, tangan Jeara tetap diam tanpa membalas sama sekali.

Sesaat kemudian barulah Janara melepaskan pelukannya.

"Kamu sudah memutuskan untuk ikut dengan ibu kan sekarang, Nak?" tanya Janara seperti terdengar putus asa atau terlalu penuh percaya diri.

"Nggak! Sampai kapanpun saya tidak akan pernah tinggal bersama Anda. Saya mendatangi Anda kemari juga bukan untuk perihal itu." sahut Jeara dengan wajahnya yang datar.

"Jeara, maksud kamu apa, Nak? Kenapa bicara pada ibumu seperti itu?" ucap Janara seperti tidak terima dengan gaya bicara Jeara terhadapnya.

"Untuk orang yang sudah pernah berusaha untuk membunuh saya sejak berada dalam perutnya sekaligus meninggalkan saya selama ini, saya merasa tidak punya kewajiban untuk berbicara layaknya ibu dan anak kepada Anda. Untuk itu, jangan pernah datang dan temui saya lagi. Karena sampai kapanpun, saya tidak akan pernah ikut Anda pergi."

Its OK to Not be Okay [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang