"Apa ini?" Dikta mengerutkan kening saat Gyana tiba-tiba saja sudah muncul di hadapannya dan memberikan selembar uang berwarna merah kepadanya. Bukan memberikan lebih tepatnya, tetapi melempar. Dan tatapan gadis itu saat melemparnya juga tampak sengit seperti biasanya.
"Uang bakso," jawab Gyana datar. Dan sebelum yang lainnya melihat keberadaannya--entah yang lainnya itu siapa saja, gadis itu memutuskan untuk pergi.
Dikta yang merasa bingung tentu saja tidak melepas gadis yang hari ini mengenakan kemeja putih itu begitu saja. "Tunggu dulu! Uang bakso apa ini maksudnya?"
Gyana terpaksa berhenti karena Dikta menarik ransel yang disandangnya. "Nggak usah narik-narik juga kali."
Dikta pun segera melepas pegangannya pada ransel hitam Gyana. "Sori. Tapi tolong ini jelasin maksudnya apa?" Pemuda itu menyodorkan uang seratus ribuan itu pada pemiliknya.
"Katanya pinter, masak kayak gini aja nggak paham?"
Dikta menggelengkan kepalanya. "Memang nggak paham, bakso apa maksud kamu?"
Gyana mencoba menelisik wajah Dikta yang benar-benar menunjukkan kebingungan. Dan sepertinya pemuda ini memang tidak sedang berbohong. Apa jangan-jangan dirinya sudah salah tuduh?
"Ini uang bakso kemarin," lirih Gyana masih mencoba menelisik wajah yang katanya tampan itu. Apalagi saat sedang mengenakan kemeja hitam seperti sekarang ini, kata Reni aura seorang Pradikta begitu terpancar. Namun, di mata Gyana tentu saja tidak seperti itu.
"Kemarin? Bakso? Aku nggak paham."
Gyana berdecak kesal karena tindakan cerobohnya. Jadi maksudnya yang membelikan bakso kemarin bukan Dikta? Melainkan Tante Septi? Bisa jadi seperti itu. Sial!
"Sori, gue ada kelas!" Gyana buru-buru pergi meninggalkan Pradikta yang diam-diam mengulum senyum geli. Pemuda itu tidak mengejar Gyana karena gadis itu pasti akan marah. Dan aktingnya juga bisa jadi akan terbongkar.
Tentu saja dia ingat perkara kemarin dan bakso yang gadis itu katakan karena memang dirinya yang membelikannya. Namun, demi bisa berinteraksi lama dengan gadis itu tentu saja akting seperti tadi diperlukan. Meski interaksi yang terjadi bukanlah sesuatu yang baik, tetapi pemuda itu merasa bersyukur bisa melihat wajah manis Gyana dari jarak yang begitu dekat.
*
"Katanya benci, tapi deket-deketan terus." Cibiran itu terdengar saat Gyana akan berbelok di koridor menuju kelasnya. Sosok Reni sudah berdiri di sana entah sejak kapan. Gadis itu tampak seksi dengan celana jeans ketat yang membungkus kaki rampingnya, yang kali ini dipadukan dengan kemeja bergaris hitam putih.
"Lo ngapain, deh?" sahut Gyana malas sembari melanjutkan langkahnya.
"Lo yang abis ngapain?" Reni tampak menyelidik wajah Gyana yang selalu tampak kesal setiap kali berinteraksi dengan Pradikta. Hal yang sungguh membingungkan di mata Reni karena akhir-akhir ini kedua manusia itu terlihat dekat. Contohnya saja kemarin, Pradikta bahkan membawakan ponsel Gyana, juga mengantar gadis ini ke kampus. Dan baru saja, entah apa yang dilakukan keduanya, Reni hanya bisa menyaksikan mereka berinteraksi dari kejauhan.
"Kepo aja lo." Gyana memilih masuk ke kelas karena sebentar lagi kelas pertamanya akan dimulai.
Reni yang ikut duduk di kursi dekat dengan Gyana memusatkan penuh perhatian ke gadis itu. "Kalian kayaknya akhir-akhir ini deket, deh. Gue nggak salah tafsir, kan?"
Gyana memutar bola matanya malas sembari berujar, "Gue juga nggak tahu kenapa dia harus selalu ada di sekitaran gue setiap waktu." Gadis itu akan menyimpan rapat tentang kedekatan yang terjalin antara orang tua mereka dan bahkan rencana perjodohan konyol itu. Dan lagi, selama beberapa hari semenjak makan bersama hari itu tidak ada lagi pembahasan yang ayahnya lakukan mengenai perjodohan. Jadi, Gyana akan menganggap jika pertanyaan waktu itu bukan hal serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGEJAR CINTAMU
ChickLitGyana membenci Dikta karena pemuda itu adalah sumber masalah di masa lalunya. Dikta adalah musuh abadi yang akan selalu Gyana jauhi. Namun, bagi Dikta, Gyana adalah cinta pertama yang tidak terlupakan. Maka saat ayah gadis itu memintanya untuk menja...