"Bisa lepas sekarang, nggak?" desis Gyana jengkel karena pemuda di sampingnya seperti tidak sadar jika masih menggengam tangannya sejak tadi. Tentu saja hal seperti itu akan menimbulkan kesalahpahaman bagi siapa pun yang melihat. Untuk Pradikta mungkin tidak akan menjadi masalah, tetapi untuk Gya itu adalah bencana.
"Sori." Dikta melepas genggaman tangannya sembari berdeham, mencoba menyembunyikan gugup yang tiba-tiba hadir. Jujur dirinya tidak dengan sengaja terus menggenggam jemari gadis yang kini melesatkan tatapan sengit terhadapnya ini.
"Kamu jangan deket-deket cowok itu lagi, kalau bisa blokir aja nomornya." Pradikta tidak melakukan ini semata-mata karena cemburu, tetapi dia tahu betul pemuda macam apa Andi itu. Yang jelas bukan pribadi baik, dan Gyana tidak boleh mendekat barang sesenti pun.
"Apa—"
"Dia pernah kepergok lagi ngelecehin cewek," potong pemuda itu cepat sebelum gadis di samping nya sempat memprotes. "Hampir di-DO juga dari kampus."
Gyana langsung terdiam karena informasi tersebut mengejutkan sekaligus mengerikan. Beruntung tadi mereka bertemu di tempat ramai.
"Jangan sok njelek-jelekin orang, kayak tingkahnya udah bener aja."
Namun, meski begitu tentu saja Gyana tidak akan menunjukkan jika dirinya takut atau malah berterima kasih pada pemberi informasi. Jika orangnya bukan Dikta mungkin akan lain.
Pradikta hanya tertawa kecil, sudah biasa mendapat sikap ketus dari seorang Gyana. Hal yang seharusnya menjengkelkan itu kini menjadi lucu di mata pemuda dengan alis tebal itu. "Terserah kalau nggak percaya."
Gyana memilih untuk tidak merespon, gadis itu melangkah terlebih dulu menuju kampus.
"Masih ada kelas?" Dikta menahan tubuh Gyana saat gadis itu akan menyeberang jalan padahal kondisi masih ramai. Tidak memedulikan protesan yang gadis itu berikan, Dikta dengan sigap memegang lengan Gyana dan menuntunnya untuk menyeberangi jalan dengan cara yang benar.
Gyana sempat tertegun, ingin menarik tangannya, tetapi kondisinya tidak sedang memungkinkan. Jadi yang dilakukannya hanya bisa merundukkan kepala, mencoba menutupi wajahnya saat beberapa pasang mata melihat mereka dan menunjukkan berbagai macam ekspresi.
*
Jemari Gyana yang sedang memilah beberapa novel terhenti. Gadis itu berdecak lirih, lalu dengan cepat menoleh ke arah samping, menemukan seorang Pradikta sedang berdiri tidak jauh dari tempatnya. Pemuda itu melebarkan mata dan melempar senyum, seolah jika pertemuan mereka ini adalah kebetulan. Padahal Gyana sangat yakin jika pemuda itu mengikutinya sejak tadi.
"Aku beli buku." Sebelum dituduh yang tidak-tidak, Dikta menunjukkan buku di tangannya. Tujuannya ke toko buku sebenarnya ada dua; pertama memang benar-benar sedang mencari buku, kedua karena untuk mengikuti Gyana sesuai mandat dari ayah gadis ini.
Gyana hanya berdecih, lalu melangkah ke rak lain karena selain novel, ada buku lain yang dirinya butuhkan.
"Toko buku ini perasaan luas, deh," cibir Gyana saat Dikta kini sudah berdiri menjulang tepat di sampingnya. Tidak lagi sembunyi-sembunyi seperti tadi.
"Tapi buku yang aku cari ...." Pemuda itu malah berpindah posisi menjadi tepat di belakang Gyana. Secara otomatis gadis itu menahan napas saat lengan Dikta menjulur ke arah depan, dan mengambil buku yang ada di depannya. Dan sialnya Dikta tidak langsung menarik tangannya padahal buku sudah ada di tangan pemuda itu. Sedikit merunduk, Pradikta menatap wajah Gyana yang mendadak gugup, melempar senyum, lalu menarik tangannya sembari menggeser tubuh.
Saat itulah Gyana baru sadar untuk mengambil napas yang sejak tadi tertahan. Ada gugup yang merajai, apalagi saat aroma khas seorang Pradikta masih tertinggal di indera penciumannya. Parfum yang pemuda itu kenakan adalah jenis yang—sialnya Gyana sukai. Campuran antara wangi maskulin dan buah-buahan segar. Gadis itu tidak bisa menjabarkan bagaimana wangi parfum lawan jenis. Namun, untuk dirinya yang tidak terlalu menyukai parfum dengan bau menyengat, parfum pemuda ini sangat ramah dihidungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGEJAR CINTAMU
ChickLitGyana membenci Dikta karena pemuda itu adalah sumber masalah di masa lalunya. Dikta adalah musuh abadi yang akan selalu Gyana jauhi. Namun, bagi Dikta, Gyana adalah cinta pertama yang tidak terlupakan. Maka saat ayah gadis itu memintanya untuk menja...