Gyana yang merasa malu langsung melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan. Mengabaikan godaan yang Reni berikan, sahabatnya itu kini malah pergi entah ke mana. Sementara Dikta—Gyana menahan napas saat merasakan sosok itu kini ada di belakangnya. Hanya mencium aroma parfumnya saja Gyana sudah tahu kalau Dikta kini ada di dekatnya.
'Tadi itu, aku salah dengerkah?" Dikta menyandarkan pundaknya di rak sembari menatap Gyana yang pura-pura sibuk dengan buku di tangan.
"Anggep aja lo salah denger," jawab Gyana mencoba untuk tidak salah tingkah. Gadis itu sungguh benci suasana tidak nyaman ini. "Lo ngapain, si, di sini?" ujar gadis itu lagi. Ingin Dikta pergi dari hadapannya saat ini juga.
"Pengin denger yang tadi kamu bilang." Dikta sengaja sedang menggoda Gyana yang tampak memerah sekali wajahnya.
"Gue kan udah bilang kalau lo salah denger," desis Gyana menahan diri untuk tidak berteriak karena kini mereka berada di perpustakaan.
Dikta bukannya kecewa malah tertawa kecil. Sikap yang Gyana tunjukkan kali ini berkali lipat menggemaskan di matanya. "Kalau salah denger, yang benernya tadi kamu ngomong apa?"
Gyana memijit pelipisnya yang mulai berdenyut. Apa Dikta tidak bisa pergi sebentar saja dari hadapannya? Dia membutuhkan oksigen yang seakan terampas dari sekelilingnya saat ini.
"Please, pergi." Gyana yang sudah putus asa tanpa sadar memohon pada Dikta.
"Di luar ada Luna." Dikta hanya asal bicara, tidak tahu apakah ada Luna atau tidak di luar perpustakaan kini. Tadi saat melihat Gyana lari setelah melihat Luna bergelayut manja di lengannya, pemuda itu ikut lari untuk mengejar. Tidak menyangka malah mendapat pengakuan mengejutkan dari Gyana.
"Terus?" Gyana masih berusaha untuk bersikap cuek, meski hatinya mulai tidak rela Dikta pergi saat ini jika benar di luar ada Luna yang menunggu.
"Dia nunggu aku buat nganter pulang." Dikta mengatakan itu sembari mengamati wajah Gyana yang menunjukkan aura penuh kebimbangan.
"Kalau kamu mau bilang cukup aku nggak bakalan nganterin dia pulang," ujar Dikta lagi membuat wajah Gyana kembali menunjukkan aura penuh kebingungan.
"Kalau gitu anterin aja dia pulang." Gengsi masih memenangkan pertahanan Gyana. Entahlah, masih banyak hal yang membuat pikirannya carut marut saat ini.
Dikta yang kecewa mendapat perkataan semacam itu terpaksa mengangguk. Kenapa gadis ini sangat keras kepala dan belum juga mau mengatakan cukup? Dikta rasanya sudah berada di ujung lelah.
"Kamu yakin?" tanya pemuda itu dengan sorot lelah.
Gyana yang melihat sorot layu itu tidak menjawab. Kepalanya sedang berperang antara ingin melupakan gengsi atau sebaliknya.
"Aku udah cape, Gy," ujar Dikta yang membuat mata Gyana melebar saat itu juga. "Di luar ada cewek yang udah suka sama aku dari dulu, dan apa aku harus terus bertahan sama kamu yang kayak gini?"
Gyana yang dulu pasti akan membalas kalimat itu dengan kalimat pedas. Siapa juga yang menyuruh pemuda ini menunggu dan mengejarnya? Namun, Gyana yang sekarang tentu saja berbeda karena perasaannya sudah berubah.
"Oke, aku pergi," ujar Dikta dengan wajah kesal. Namun, langkahnya terhenti saat sebuah tangan menarik lengan kemeja putihnya.
"Jangan pergi," bisik Gyana nyaris tidak terdengar. Bahkan wajah gadis itu sudah memerah. Kepalanya menunduk malu dengan apa yang diperbuatnya.
"Apa? Nggak denger." Dikta menahan senyum saat mengatakan itu.
"Jangan pergi, jangan anterin Luna," ujar Gyana lagi lebih keras, tetapi masih dengan nada berbisik.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGEJAR CINTAMU
ChickLitGyana membenci Dikta karena pemuda itu adalah sumber masalah di masa lalunya. Dikta adalah musuh abadi yang akan selalu Gyana jauhi. Namun, bagi Dikta, Gyana adalah cinta pertama yang tidak terlupakan. Maka saat ayah gadis itu memintanya untuk menja...