Bab 8. Virus Dikta

80 12 2
                                    

Gyana mulai sadar jika semua ini adalah jebakan. Namun, sayangnya dirinya terlalu gengsi untuk mengakui jika hari ini telah masuk ke perangkap seorang Pradikta. Seharusnya masih ada waktu jika ingin membatalkan semuanya. Karena film yang akan mereka tonton masih akan tayang sekitar dua jam lagi. Dan demi menunggu waktu yang berputar begitu lama, Dikta mengajaknya makan terlebih dahulu, seperti yang pemuda itu katakan tadi.

"Awas lo ingkar janji, gue udah berkorban hari ini," desis Gyana berusaha menunjukkan wajah ketus. Sesungguhnya gadis itu tengah bersusah payah meredam rasa aneh yang mulai menelusup ke dalam hatinya.

Dikta tersenyum, hal yang tadinya sangat menyebalkan di mata Gyana. Namun, kenapa detik ini senyum itu terasa lain? Tidak lagi terlihat seperti pemuda itu tengah mengejeknya, tetapi senyum itu terlihat menyenangkan dan menambah kadar ketampanan seorang Pradikta. Ah sial! Sepertinya Gyana memang sudah gila.

"Janji itu utang, kan? Maka akan aku tepati, kecuali ...." Pemuda itu sengaja menggantung kalimatnya. Ditelengkannya kepala ke arah samping saat Gyana memusatkan penuh perhatian ke arahnya karena penasaran.

"Kecuali?" Gyana menanyakan itu dengan nada kesal. Bukan hanya kesal akan tingkah yang Dikta tunjukkan, tetapi lebih kesal karena hatinya melemah. Virus Dikta sepertinya mulai mengivansi kinerja otak, hati, dan juga jantungnya.

"Kecuali nanti kamu nyariin aku, aku pasti bakalan dateng dengan senang hati."

Gyana tertawa sinis. "Nggak usah ngimpi."

"Bukan mimpi." Dikta melipat dua tangannya ke atas meja, dan sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. Gyana otomatis mundur dengan napas tertahan. "Itu namanya harapan." Pemuda itu lalu tertawa kecil dan mulai menyantap makanan yang sejak tadi sudah ada di depan mereka.

*

Beruntung film yang Pradikta pilih adalah jenis yang Gyana sukai. Malah kalau boleh jujur film ini adalah yang ingin Gyana tonton. Rencana itu sudah muncul sejak beberapa hari lalu sebelum film dengan genre horor ini resmi dirilis. Bahkan Gyana sudah meminta Viko untuk menemaninya. Reni sudah pasti tidak mau karena gadis itu pecinta drama romantis yang sering membuat Gyana mual.

"Suka horor, kan?" tanya Dikta yang kini duduk di samping Gyana. Mereka sudah duduk di ruang tunggu gedung bioskop karena sebentar lagi film yang ditunggu akan segera diputar.

"Hemm." Hanya itu jawaban yang Gyana beri karena sedang sibuk dengan ponselnya. Gadis itu memilih untuk membalas komentar pembaca di akun menulisnya dari pada harus meladeni Dikta.

"Kamu masih suka nulis novel?" Dikta diam-diam mengintip apa yang sedang Gyana lakukan. Gadis itu langsung menoleh saat mendengar pertanyaan semacam itu.

"Masih?" Kening gadis itu mengerut, apa maksud dari pertanyaan masih itu?

"Bukannya kamu suka nulis novel sejak SMP?

Kening Gyana makin mengerut dengan tatapan menyelidik, dari mana pemuda ini tahu akan hal ini?

"Waktu SMP, kamu suka menyendiri di samping perpus, lalu kamu suka nulis di sana." Dikta melempar senyuman tipis, kembali terbayang hal yang dulu sering Gyana lakukan.

Gadis itu berdeham, mengingat masa SMP sama saja kembali mengingat kejadian tidak menyenangkan yang dulu menimpanya. Dan penyebab dari semua kenangan buruk itu adalah pemuda di sampingnya ini.

"Iya, itu salah satu tempat aku sembunyi biar nggak terus dijadiin lelucon sama siswa yang nggak punya hati." Gyana mengatakan itu tanpa mau menatap wajah Dikta.

"Maaf," ujar Dikta lirih. "Maaf buat semua perbuatan aku di masa lalu yang bikin kamu sakit hati."

Sungguh momen yang tidak tepat karena kata maaf yang Dikta beri membuat mata Gyana memanas. Hal yang tidak boleh terjadi adalah menangis di hadapan pemuda ini. Beruntung film yang mereka tunggu akan segera diputar dan semua yang memiliki tiket harus masuk sekarang. Maka tanpa menunggu Dikta bangkit, gadis itu lebih dulu berdiri dan melangkah cepat ke arah studio tempat film akan diputar.

MENGEJAR CINTAMU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang