Gunawan sempat terkejut saat melihat putrinya pulang berboncengan motor dengan Dikta. Namun, sebisa mungkin laki-laki itu bersikap biasa saja.
"Kok telat pulangnya, Sayang?" tanya laki-laki itu seraya mendekat ke arah putrinya yang kini tampak menunjukkan aura lain.
"Maaf, tadi aku lupa ngabarin, Yah. Aku abis ngerjain tugas sama temen." Gyana memang lupa mengabari ayahnya jika hari ini akan pulang telat.
"Kok bisa sama Dikta ini?" Gunawan melongok ke belakang punggung Gyana di mana Dikta kini tengah berjalan mendekat ke arah mereka.
Enggan menjawab, Gyana memilih masuk tanpa mau menoleh ke arah pemuda yang kini sudah berdiri di belakangnya. Efek keberadaan Dikta mulai membuat gadis itu tidak nyaman. Dan jangan sampai pemuda tersebut atau pun ayahnya menyadari kegugupan yang kini dirasakannya.
"Tadi saya nungguin Gya di kampus, Om. Udah kesorean soalnya, jadi agak khawatir." Kalimat yang Dikta bagi itu sempat terdengar oleh Gyana.
"Oh, terus motor kamu mana?"
"Masih di kampus, Om. Ini Dikta langsung pamit mau ngambil, ya, Om."
Gyana yang mendengar itu sontak menghentikan langkah dan memutar kembali tubuhnya untuk berjalan ke depan sebelum Dikta kabur dari rumahnya. "Lo bilang tadi nggak bawa motor?"
Dikta yang sudah berniat pergi dan memesan ojek online untuk ke kampus terpaksa menghentikan langkah. Pemuda itu lantas memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah Gyana yang kini sudah berdiri di samping ayahnya.
"Emm, itu. Tadi aku khawatir aja kalau kamu pulang sendiri." Dikta tersenyum saat mengatakan kalimat itu.
Gyana yang hatinya mulai goyah tentu saja langsung terharu mendengar penuturan itu. Namun, tentu saja gadis itu tidak mau menunjukkannya secara gamblang.
"Kurang kerjaan banget, si. Lo pikir gue anak kecil yang perlu dikhawatirin sampai segitunya?"
Dikta malah mengangkat bahunya acuh. "Menurutku itu bentuk perhatian yang harus aku beri untuk orang yang aku sayang."
Gyana seketika terdiam dengan mata melebar. Untuk sejenak kehilangan kata-katanya, tanpa sadar pipinya pun memerah tanpa bisa dicegah. Apalagi saat ayahnya juga kini terlihat mengulum senyum secara sembunyi-sembunyi.
Gyana yang bingung harus mengatakan apa kembali melangkah ke dalam. Namun, langkahnya terhenti saat menyadari kunci motornya masih berada di tangan Dikta.
"Kunci motor," ujarnya.
Dikta yang seolah baru tersadar jika kunci motor gadis itu masih di tangannya agak terkejut, dan langsung menyorongkan benda itu.
Gyana tidak langsung menerimannya, malah terlihat berpikir. "Lo bawa aja, dari pada balik ke kampus." Kalimat itu sempat membuat dua orang yang kini masih berada di sana terkejut.
"Nggak usah salah paham, gue nggak mau utang budi. Jadi anggep aja gue lagi berbaik hati membalas kebaikan lo tadi. Jadi kita impas." Setelah mengatakan itu Gyana pun melangkah masuk tanpa berniat menghentikan langkah sama sekali.
"Kenapa Om merasa sudah ada yang sedikit melunak, Dik?" ujar Gunawan sembari menatap punggung putrinya yang mulai menjauh. Lalu menoleh ke arah Dikta dan mendapati pemuda itu sedang tersenyum.
"Dikta rasa juga begitu, Om."
"Kamu sungguh sabar sekali menghadapi putri, Om. Semoga Gya memang benar-benar bisa luluh sama perhatian kamu."
Dikta mengangguk, mengamini kalimat itu dalam hati.
"Ini terus motor kamu nggak papa ditinggal di kampus?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGEJAR CINTAMU
Chick-LitGyana membenci Dikta karena pemuda itu adalah sumber masalah di masa lalunya. Dikta adalah musuh abadi yang akan selalu Gyana jauhi. Namun, bagi Dikta, Gyana adalah cinta pertama yang tidak terlupakan. Maka saat ayah gadis itu memintanya untuk menja...