Bab 9. Dikta menghilang

101 11 2
                                    

Haloooo, selamat pagiii!!! Ada yang nungguin cerita ini update? :D

Dari Kota Tangerang yang pagi ini tumbenan dingin, aku mau ucapin happy reading....

----------------------

Brengsek!

Hanya umpatan-umpatan kasar seperti itu yang sejak tadi terus mendominasi kerja otak seorang Gyana. Sudah dua jam dirinya duduk di depan laptop, dan biasanya sudah banyak baris diksi yang ia tulis untuk bab terbaru novel yang harus diunggahnya besok. Namun, jangankan satu baris kalimat, satu kata pun belum bisa ia tulis untuk menjadi pembuka bab terbaru novelnya. Jika seperti ini, apa yang harus dia lakukan?

Gadis dengan rambut sebahu itu mengetuk-ngetuk kepalanya dengan kepalan tangan, secara otomatis memori kepalanya memutar kejadian siang tadi. Gyana sungguh kesal pada dirinya yang lemah dan mudah sekali terpedaya oleh tipu muslihat seorang Pradikta.

Bisa-bisanya dia menurut dengan permainan yang sudah pemuda itu susun. Apa yang kini ada di pikiran Dikta? Pasti pemuda itu sedang menertawakan kebodohannya, kelemahannya, dan siap untuk menyerangnya dengan semua itu. Apakah pembullyan yang pernah terjadi dulu akan terulang di kampusnya?

Gyana berdecak lirih, lalu memutuskan untuk menutup laptop. Percuma saja menulis di saat mood-nya sedang tidak berada di tempat. Ide itu tidak akan muncul, lebih baik membaca novel yang kemarin dibelinya, atau menonton film. Namun, niatnya urung saat membuka ponsel, dan mendapati pesan dari Rain belum sempat dibalasnya sejak tadi siang.

Gyana : Sori Rain, aku nggak sempet pegang hape dari siang. Hari ini lagi badmood banget.

Gyana menghela napas, lalu merebahkan tubuhnya untuk menatap langit-langit kamarnya yang dicat polos. Pesan dari Rain datang begitu cepat, mungkin adik gadis itu yang selalu menganggu sudah tidur mengingat jam sudah menunjuk pukul sembilan malam.

Rain : Aku baru selesai nugas. Kenapa memang bisa badmood? Kebalikan dong, hari ini aku malah lagi seneng banget.

Gyana langsung mengetikkan pesan balasan.

Gyana : Aku terperangkap jebakannya Dikta.

Rain : Kok bisa? Jebakan gimana?

Gyana pun segera menjabarkan panjang lebar melalui pesan apa yang terjadi padanya tadi siang. Begitu menggebu dan penuh emosi, sampai tidak memedulikan apakah tulisannya rapi atau tidak. Namun, meski pesannya tertulis dengan begitu berantakan, sepertinya Rain paham. Terlihat dari cara gadis itu yang langsung mengirimkan emoticon tertawa.

Rain : Terus sekarang kamu nyesel karena tadi siang jalan sama dia?

Gyana : Banget, harusnya aku nggak mudah terperangkap kayak orang bego. Gimana kalau dia sekarang lagi ngetawain ketololan aku?

Rain : Jangan mikir jelek mulu, Gy. Siapa tahu dia udah tobat? Bukannya aku mau belain, tapi sebesar apa pun kesalahan dia, bukankah dia layak dapetin kesempatan buat memperbaiki semuanya?

Gyana tidak langsung membalas pesan tersebut karena sedang merenung. Mungkinkah seorang Pradikta bisa tobat?

Rain : Selama ini sikap dia ke kamu gimana? Pernah dengan sengaja mempermalukan kamu di depan umum nggak?

Pesan itu kembali masuk sebelum Gyana sempat membalas. Dan kali ini pun gadis itu tidak langsung membalas karena masih mencerna dengan baik kalimat yang Rain tulis. Memang selama dia menjadi mahasiswa, dan ternyata satu kampus bahkan satu jurusan dengan Pradikta, pemuda itu tidak pernah terlihat ingin mempermalukannya. Hanya saja setiap kali pemuda itu mendekat padanya dalam jarak yang begitu dekat, otak Gyana langsung terprogram untuk memiliki firasat buruk.

MENGEJAR CINTAMU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang