Bab-8: Kenal Ethan?

32 2 1
                                    

Phil awalnya tidak memperhatikan. Ia terlalu cuek untuk urusan yang menurutnya nggak ada hubungannya dengan dia. Ia tahu sih kalau minggu-minggu pertama Lisma masuk itu bikin heboh seangkatan, apalagi ternyata beberapa tahu prestasinya, dan mulai menempelinya. Tetapi setelah hampir sebulan ini (tepatnya tiga minggu) Phil memperhatikan kalau akhirnya mereka semua sadar gadis ini sama diamnya dengan dia. Mereka tidak bersusah payah berusaha mengajaknya mengobrol, menariknya ke balkon didepan kelas, atau duduk disebelahnya. Ia tidak mempermasalahkan sih; dia juga begitu kok. Tetapi entah mengapa itu membuatnya agak sedih. Seakan hal itu tidak terjadi kalau nggak ada dia disana.

Tentu saja, kan Lisma sendiri masuk sekolah sini karena 1) Tantenya guru disekolah itu, 2) Ada cowok yang dunianya berada dalam laptop.

Phil sangat bersyukur kalau dibalik fakta itu masih saja ada yang mau peduli dengan mereka. Mereka tidak bisa meminta pagi-pagi, karena toh mereka juga masuknya pas-pasan. Jadi, mereka meminta Ethan waktu istirahat pertama. Masalahnya, tidak ada diantara mereka yang masih ingat muka Ethan, biarpun keduanya pernah bertemu. Jadi Lisma bertanya pada seorang cewek yang mereka temui di lorong. "Uh, permisi. Lihat Ethan tidak?"

"Ethan? Dia dikelasnya kok", jawab si cewek tersebut.

"Kelasnya yang mana ya?", tanya Phil tanpa berpikir. Selanjutnya ia merenung, kenapa ia sebodoh itu.

"Umm, kalau tidak salah ia anak XD", jawabnya. Sekolahnya sebenarnya besar, tergolong yang populer malah. Angkatannya Phil dan Lisma ini terbagi atas 5 kelas. Mereka di kelas XB, sedangkan Ethan 2 kelas jauhnya dari kelas mereka. Mungkin itu alasan mereka jarang menemuinya. 'Atau mungkin karena Gue dan Lisma memang kelewat cuek', begitu pikir Phil.

Lisma kemudian berterimakasih, lalu dengan santai ke kelas XD. Rupanya kelas ini tidak sesepi kelas mereka yang penghuninya suka nongkrong di kantin. Didalam situ hampir semua meja dipenuhi oleh anak-anak yang berkerumun, untuk sekedar berbagi cerita, bergosip, atau main game bareng.

"Umm, Ethan ada disini?", tanya Lisma asal. Phil sebenarnya enggak heran mendapati kalau cewek ini juga terbakar ambisi. Tetapi menurutnya hari ini Lisma kelihatannya dalam situasi darurat, seakan Ethan ini gantungan hidupnya.

"Iya", jawab seorang cowok sembari menyengir. "Sejauh yang aku tahu, aku masih Ethan kok Lis. Kenapa?". Phil sama sekali tidak mendapat kesan penulis yang biasanya ada di benaknya saat melihat Ethan. Justru kesan pertamanya malah Ethan itu lebih mirip admin FP Facebook yang anggotanya itu orang-orang kalangan atas: Rambut yang tersisir rapi ke atas, kacamata bergagang mahal (titanium, mungkin?), dan sepatu kets hitam yang tidak akan Phil temukan di Tanah Abang (Jakarta) ataupun Pasar Baru (Bandung). Pakaiannya tentu saja seragam sekolah seperti yang Phil dan Lisma kenakan, namun samar-samar Phil bisa mengendus aroma parfum dari tubuhnya. Bukan jenis parfum yang bikin Phil mabuk, tetapi jenis yang bisa membuat wanita dengan senang hati dekat dengannya. Bahkan wajahnyapun amat terawat, tidak seperti Phil yang jauh lebih memperhatikan debu di layar monitornya, ketimbang nyamuk di batang hidungnya. 'Cowok ini punya gaya', pikirnya saat itu.

Ekspresi Lisma yang sedikit heran pun menandakan bahwa cewek itu juga memiliki kesan pertama yang sama seperti Phil. "Euh, kalau tidak salah kau pernah berkata kalau kau ini penulis ya?", ujar Lisma. Teman-teman Ethan yang tadi ia ajak ngobrol mendadak tertawa. "Pergilah ke toko buku yang besar. Cari bagian 'Best Seller', dan tanpa berusahapun kau akan menemukan buku Ethan!", ujar salah seorang cowok yang tertawa. Muka Lisma agak memerah karena malu. Ethan kemudian berkata, "Sudahlah Niel, mungkin Lis lupa dengan pekerjaanku yang lainnya itu.

"Ya, aku memang penulis. Memangnya kenapa?", tanya Ethan sembari berjalan mendekat ke arah pintu tempat Phil dan Lisma berdiri.

"Aku—Kami ada proyek untuk membuat visual novel. Aku yang menjadi programmernya, dan Lisma yang membuat gambar serta ceritanya. Tetapi, yah, kami lalu memutuskan untuk mencari satu orang lain lagi untuk membantu.", terang Phil singkat.

"Well, sebenarnya kalian lagi beruntung sih. Eh, maksudku kita yang lagi beruntung, soalnya kebetulan juga aku lagi mencari... mari kita katakan, suasana baru.", jawab Ethan santai sembari melangkah ke luar. Otomatis Phil dan Lismapun mengikutinya keluar. Rupanya Ethan berusaha untuk sedikit menjauh dari teman-temannya.

"Suasana baru?", tanya Lisma bingung. "Ada yang salah dengan keadaan sekarang?"

Setelah berjalan melewati berberapa kelas, Ethan lalu berhenti. "Yah, sebenarnya aku berutang budi padamu, Phil."

"Aku?", ujar Phil sembari mengangkat alis.

"Yep. Karena sebenarnya semuanya berawal dari lu. Ingat kan waktu aku minta dibuatkan website untuk tulisan-tulisanku? Sejak saat itu aku rajin menulis, hingga akhirnya entah bagaimana aku dihubungi oleh salah satu penerbit. Mereka bilang ceritaku bagus, dan pantas diterbitkan. Tentu saja aku setujui, orang tuaku juga turut senang. Selanjutnya, yah, aku jadi penulis tetap. Sekarang saja aku baru saja menyelesaikan novel terbaruku. Tapi lama-lama aku bosan, rutinitas yang begitu saja. Eh, mendadak kalian datang, menawarkanku membantu membuat visual novel.", terang Ethan cepat tapi jelas. Tentu saja ingatan Phil akan Ethan berubah, waktu awal mereka bertemu, ia tidak seperti ini. Jauh lebih pendiam, kalau ia tidak salah. Apa ia berubah karena dirinya? Ia sendiri bahkan tidak peduli dengan banyak hal, kecuali urusannya sendiri.

"Jadi kamu setuju dengan permintaan kami?", ujar Lisma, agak bersemangat. Tidak, tidak, sangat malah. Seakan hidupnya bergantung pada Ethan. 'Eehh?', Phil menegur dirinya, merasa agak bersalah sudah berpikir seperti itu. Tapi begitulah perasaannya sekarang. Perasaan yang dia takuti sejak pertemuannya di rumah mewah Lisma.

"Tentu saja. Kapan kita mau membahas cerita kalian?", ujar Ethan, tak kalah bersemangat. "Biarpun aku masih agak penasaran, setahuku Lisma itu memenangkan begitu banyak penghargaan untuk urusan beginian. Kok kalian masih butuh aku sih?"

"Itu... ceritanya agak berseliwaran.", Phil menjawab seadanya. "Yah, paling baik kalau kita menentukan ketemuan kita secepatnya, kan?"

***

Ethan tidak terlalu banyak berkomentar saat diberitahu seperti itu. Paling hanya sekedar, "Oke", "Baik", "Mmmhmm". Phil dan Lisma menjelaskannya bergantian,  tetapi cewek yang duduk disebelahnya lebih bersemangat ketimbang pembawaannya dalam berbicara. Sesekali Lisma menyeruput dua-tiga teguk Chocolate Macchiato-nya, tetapi jelas lebih sering daripada kedua cowok di hadapannya. Terbukti dari Espresso Phil dan Whip-Mocca Ethan yang masih ada setengah sementara milik cewek itu sudah tinggal sisa es.

Suasana di cafe itu tidaklah ramai. Kurang dari 10 meja saja yang terisi, jadi Phil tidak usah terlalu banyak bicara. Tapi entah kenapa kerongkongannya terasa begitu kering. Ethan menyadari suaranya suka terkadang serak, beberapa kali menyuruh Phil untuk minum pesanannya.

"Ah, begitu toh.", komentar Ethan saat Lisma selesai berkomentar ("Nggak tahu kenapa, tapi yah penulis, seperti kita Tan, bisa mentok juga kan?"). "Cukup epik juga sih. Dua orang yang jarang bersosialisasi—extrovert—bertemu, terus jadi saling suka. Aku penasaran, kau mengambilnya dari murni khalayan atau sedikit dari pengalaman, Lis?"

Komentar Ethan sukses membuat Lisma cukup gugup; wajahnya memerah dan ia berusaha sekuat tenaga menyedot es melalui sedotan, membuat mukanya makin merah. Ia berkata—bergumam lebih tepatnya, "Suka-suka elu.", ujarnya. Namun Phil mengawasi garis-garis muka cewek itu. Ada sesuatu dibalik ekspresi malunya. Sedikit ketegangan...

Pikiran Phil dipecah oleh kekeh tawa Ethan. "Baiklah, guys. Aku akan berusaha keras melanjutkan cerita itu.

Shut-In Students and Visual NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang