Bab-2: Pertemuan Pertama

46 1 1
                                    

Kedua tamu itu akhirnya masuk. Yang satu laki-laki jangkung berkemeja rapi. Dari tatanan rambut, kacamata, dan jam tangannya saja langsung terlihat bahwa dia ini orang penting. Tangan kanannya memegang smartphone, sedangkan tangan kirinya memegang punggung putrinya.

Sementara Lisma, mungkin dia itu benar-benar meniru ayahnya. Dia menggunakan blus biru selengan, dan rok terusan berwarna hitam. Semuanya polos, bahkan sampai sepatunya. Namun yang mencolok adalah laptop 13 inci yang dibawanya dibawah lengan kirinya. Tangan kanannya menyisir rambutnya yang agak kecokelatan, agar tidak ikut terkunyah bersama permen karet dimulutnya.

Phil langsung mengerti apa yang dimaksud dengan kaku disini.

"Johan, lama tidak langsung bertemu", sapa Bu Sari.

"Ah Kakak, kau tahu kan, jadwalku sibuk sekali. Setelah ini saja, aku harus bertemu salah satu VP dari cabang besar"

"Kau selalu begitu. Sudahlah", Bu Sari berujar pada adiknya. Lalu memalingkan muka pada Phil. "Nah dik, ini dia anak yang kubicarakan itu", ia melanjutkan. Nadanya menunjukan rasa bangga, namun Phil merasa itu bukan pujian sama sekali. Masa dia dibilang manusia antisosial? Namun membayangkan dia menemani anak ini seakan itu teman pribadinya...

Phil membungkukan badannya sedikit ke arah depan, sambil menjulurkan tangan dengan yakin. Itu adalah peninggalan lama ayahnya: tunjukan bahwa kau itu orang yang kuat; selalu berdiri tegap dan yakin akan pilihannya. Padahal sih dalam hati dia itu gugup setengah mati. "Saya Philipus Emanuel", katanya dengan suara tegas.

"Johan, dan putri saya, Lisma. Saya rasa kakak sudah membahas banyak hal tentang kami ya?", ujar adik Bu Sari balik memperkenalkan diri.

"Kakak... Bu Sari memang memberi-tahu sedikit, tapi tidak menceritakan semuanya", aku Phil.

"Aduh kakak, kau nyaris menceritakan semua hal mengenai anak ini. Tapi kau bahkan belum memberitahu padanyasiapa aku?"

Bu Sari hanya bisa mengedikan bahunya. "Yah, kupikir akan lebih menyenangkan kalau kalian saling berbicara satu sama lain sambil minum teh" Kemudian guru itu pergi ke meja belakang. Di atasnya terdapat seteko teh serta beberapa gelas. Memang Bu Sari itu suka menerima tamu.

"Baiklah, tapi itu benar-benar membuang waktuku, tahu", sesal Pak Johan. Kemudian dia mengetikan beberapa kata pada handphonenya, lalu mulai berujar, "Saya ini, er, orang kantoran yang sibuk kesana-kemari. Sementara istri saya bekerja di bagian, um, jurnalistik. Jadinya saya terlalu sering membiarkan anak saya di rumah. Namun..."

Layar handphone Pak Johan bergetar, dan kelihatannya pesan yang disampaikan bukanlah berita yang bagus. Pak Johanpun akhirnya berkata, "Aiya, ini orang kelewatan! Maafkan saya, tapi saya harus cepat-cepat pergi! Lisma, ceritakanlah sisanya selagi papa tidak ada!", dan dia pun kemudian pergi meninggalkan ruangan. Bu Sari hanya bisa menuang teh di gelas ke empat sambil berkata, "Uh, benar-benar mengotori gelas ya?"

"Begitulah papa, pergi seakan waktu hendak membunuhnya", mendadak terdengar suara Lisma. Baru sekarang dia berbicara.

"Jadi bagaimana ceritanya? Kenapa jadi bawa-bawa aku ke sini?"

"Kesepakatan", jawabnya singkat. Itu sebenarnya sama sekali tidak menjawab pertanyaannya.

Guru itu lalu membawa dua gelas teh ke atas meja. Sementara gelasnya sendiri dipegang tangannya. "Ibu butuh keluar sebentar. Kalian bisa disini dulu", dan setelah itu dia menutup pintu dari luar.

Situasipun menjadi hening ganjil. Awkward, begitu pikir Phil.

"Kok kamu minta saya untuk―bagaimana mengatakannya?―menemanimu keliling kota?", ujar Phil gugup. Makin awkward, lagi-lagi pikiran itu muncul kembali.

Shut-In Students and Visual NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang