Bab-15: Beberapa Minggu Sebelumnya

17 1 1
                                    

Let's change the PoV! Puff!

***

Aku langsung mengetahuinya, bukan dari apa yang Phil lakukan. Gila, emangnya gw sebloon itu? Tetapi karena pemuda tak tahu namanya privasi itu sangatlah ceroboh.

Waktu aku masuk ke kamarku, mungkin jauh lebih benar kalau di bilang 'rumah kecil di dalam rumah', aku langsung melihat ada beberapa kejanggalan: sampai sekarang tidak pernah aku meninggalkan stabilisizer komputerku dalam keadaan menyala kalau tidak di pakai. Otak kreatifku langsung berpikir ke anak itu. Duh, sebenarnya itu adalah hal yang sudah kuwaspadai sejak awal sekali.

Sebenarnya, waktu pertama kali ketemu 'sahabat lamaku' (terkadang aku melabelinya 'si bajingan tak berperasaan'), aku sudah siap berperang dengannya. Gila, beraninya anak itu tampil di depan mukaku. Namun, dalam hati, sebenarnya ayahku sendiri sudah memperingatkan sesuatu, hal yang masih belum ku katakan pada Phil karena menurutku nggak penting di kasih tahu.

"Dad, kupikir aku bakal pindah sekolah saja deh!", kataku setelah di hari kedua aku mengobservasi 'medan pertempuran'. Alias sekolah baruku.

"Kenapa? Bukannya sekolah itu memenuhi kriteria?", balas ayah.

"Ya, memang. Tetapi Ethan juga ada disana! Atau jangan-jangan dad sengaja memasukkanku ke sini karena hal itu juga?"

"Tergantung maumu bagaimana, sayang. Dad pikir malah itu akan membuat kesempatanmu berbaikan dengannya menjadi lebih besar. Bahkan, bukannya kalian ini dulunya, umm, lebih dekat dari sekedar teman?", kata ayah lagi. Wah kelewatan, keterlaluan ini! Malah aku dikira udah pacaran sama si bajingan itu. Amit-amit dah!

Gara-gara dia pula aku kehilangan semangat masa-mudaku. Entah kenapa dulu aku begitu tergantung pada dia. Semua gerak-gerikku, kulakukan demi dia. Gusti.

Sialannya, darahku ini entah bagaimana memutuskan untuk berkumpul ke area kepalaku. "Oy! Jangan berpikir yang macam-macam! Pokoknya Lisma nggak mau datang ke sekolah sampai entah baj- Ethan yang minta maaf atau dia yang pindah, atau..."

Ayah malah tertawa. "Waduh, antara sikap dan umurmu itu, kayak nggak ada nyambungnya kalau udah ngomongin cowok ya, Lis? Bagaimana kalau begini, kamu toh dad rasa sedang punya teman lain. Uh, siapa namanya, yang bikin proyek, apaan?"

Aku lalu menyebutkan nama Phil dan proyek kecil kami.

"Nah, dia itu. Kalau kamu ajak Ethan juga ke dalam proyek itu juga. Dijamin dia akan merasa amat bersalah, terus ya, siapa tahu kalian bisa berbaikan lagi. Dad pikir seorang cowok harusnya nggak melupakan cewek yang udah lama dengannya untung yang kedua kalinya."

Jadi, aku dengan bodohnya mendengarkan kata-kata ayah. Seratus buatku.

Capek deh.

Tetapi ternyata hal itu tidak berlangsung baik. Ethan tetap berusaha baik karena mungkin ia takut kehilangan kredibilitas di mata kami berdua. Atau mungkin benar kata ayahku dulu. Ethan diam-diam ingin kembali menjalin hubungan yang baik denganku.

Tetap saja aku masih marah padanya. Aku menunjukkannya dengan menolak semua skrip yang dia berikan. Yeah. Sekalian agar proyek ini nggak berhenti dengan cepat. Padahal dalam hati aku mengakui naskahnya dia itu sudah sempurna, seperti karya-karya best-seller yang aku baca. 

Ah dasar cowok, dia lalu melakukan tindakan tidak terduga itu.

Itu pagi sih memang. Terlalu pagi malah, buat standar remaja di hari Minggu. Tapi kamar spesialku itu kemudian di ketuk oleh salah satu pegawai di rumah. Mbak Rani namanya.

"Non, bangun non. Ada yang nyariin tuh."

"Siapa mbak?"

"Kalau nggak salah, itu temen deket non yang dulu. Itu lho, yang sering kesini." Mendengar itu, hampir saja aku tersedak ludahku sendiri. Dafuk, harusnya dia kan ngasih tahu dulu gitu. Tapi, toh aku juga udah nggak mau ketemu dia. Dasar nggak tahu diri.

Shut-In Students and Visual NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang