Bab-10: Malam Bersama Kakak

24 2 0
                                    

Phil seperti biasa berpikir di depan laptopnya. Saat itu jam sepuluh malam, namun ibu dan ayahnya sudah lama tidur. Mereka berdua jelas terlalu lelah hari ini, karena urusan kantor yang Phil juga tidak mengerti.

Sebagian besar hari-hari Phil di rumahnya ditemani bersama ibunya, karena ayahnya yang juga orang bank (mereka justru menikah gara-gara pekerjaan) sering keluar kota. Hanya beberapa hari ini ia di kota tempat tinggal Phil sebab kantor punya urusan disini. Harusnya itu menjadi acara keluarga yang lumayan mengobati rindu. Tapi Phil malah ditinggal tidur, melamun diatas meja makan yang sudah bersih, ditemani monitor laptop yang menampilkan wallpaper desktopnya.

Phil merenungkan pagi hari itu, bagaimana kerjaan Ethan, kawan barunya atau mungkin bagi Phil istilah yang lebih tepat itu rekan barunya, ditolak oleh Lisma, rekan awalnya. Bagaimana Ethan menyikapinya serta komentar Lisma setelahnya. Ditambah lagi urusan lamanya, urusan orderan proyek yang biasa ia terima, plus hubungan sosialnya. Ia merasa istilah rekan pada Lisma harusnya diganti menjadi sesuatu yang lain....

Pikiran yang terakhir itu sukses membuat mukanya panas. "Andaikan Kak Martin masih ada di sini", gumamnya pendek. Iya, Martin, kakaknya Phil. Seorang desainer terkenal, plus yang juga jadi dedengkot hobi Phil sekarang, setelah ia menunjukkan 'ini-loh-yang-namanya-komputer' ke Phil. Sekarang sih kakaknya sudah hidup enak, berkeluarga di Italia, dan punya pekerjaan di perusahaan advertising serta percetakan.

Tanpa disadari, Phil menoleh kearah komputer tua kakaknya yang nasibnya sudah menjadi pajangan lantaran tua. Dan setelah ia memfokuskan kembali pandangannya ke monitor, monitor itu sudah berubah tampilannya. Ia, sekali lagi, dengan tidak sadarnya, membuka facebook. Dilayar ia bisa melihat kalau kakaknya lagi online. Suatu hal yang jarang dilakukan, karena ia sibuk sekali. Ia lalu memutuskan untuk menanyai pendapatnya. Hal yang sebenarnya bukan 'Phil banget', tapi ia terpaksa lakukan. Ia kali ini mesti mengakui kalau masalah ini diatas kemampuannya. Ini bukan masalah mendebug programnya atau memperbaiki algoritma serta properties objeknya yang agak cacat. Ini masalah hidupnya. Ia mesti bertanya pada orang yang juga punya kehidupan.

"Hai, gimana kabarnya disana?" Itulah pesan yang sudah diketik di textbox, namun belum di send oleh Phil. Rasanya ganjil memulai percakapan seperti itu. Text itu lalu dideletenya. "Lagi ngapain?" Itu juga, bagi Phil, masih kurang pas.

Sementara Phil masih memutuskan mau memulainya bagaimana, Martin diujung sana sedang menikmati saat santainya. Tidak ada yang lebih nikmat, ketimbang minum kopi dan makan kue kering kayu manis. Ditambah dengan membaca buku, dan memandang jendela apartemennya. Apartemen itu luas sekali. 'Memang tepat pilihan Terina', ujarnya, sembari mengingat-ingat argumennya dengan istrinya mengenai tempat tinggal pilihannya.

Ia kemudian teringat kembali dengan komputer di atas mejanya. Facebooknya masih terbuka. Di kolom message, disebelah nama adiknya terdapat bulatan hijau. Tanda kalau ia sedang aktif juga. Mumpun ia lagi santai, tidak ada salahnya mengirimi pesan ke adiknya. Iapun menulis:

"Buonanotte. Ngapain malam-malam begini masih on. Instalasi sistem ya?" Martin terkekeh pelan, melihat tulisan itu sudah di send. Ia tahu kalau adiknya yang introvert itu kalau bela-belain on facebook, pasti urusan kerjaan dia.

Phil, yang awalnya bingung mau nulis apa, bersyukur kakaknya secara otomatis memulai pembicaraan tersebut. "Met malem. Nggak ada urusan instalasi sistem kok kak. Cuma, gw lagi bingung aja"

"Urusan cewek ya?", kakaknya mengirim balik.

"Yeh kali.", ketik Phil dengan wajah yang memanas. 'Apaan sih?', ujarnya dalam hati. "Bukan, gue~" dan iapun menjelaskan proyeknya panjang lebar ke kakaknya. Sebetulnya sih rencananya sependek mungkin, tapi dia tidak mampun menyingkatnya begitu saja. Terlalu banyak detil yang ia ingat.

"~dan begitulah", tutupnya. Martin tidak bisa begitu saja membacanya dengan ekspresi polos, biarpun mereka bertemu via facebook. Setiap dua atau kalimat pasti diresponinya secara ekspresif. Eh, maksudnya yah tertawa, terkekeh, bahkan sampai berkata, "Ampun deh!" dan tertawa lagi. Untung saja ruang kerjanya itu dilengkapi sound proof. Kalau nggak, pasti Viera terbangun, mengira suaminya tersayang lagi kesurupan.

"Bilang aja urusan cewek! Duh, panjang banget deh! Jadi kamu suka sama si Lisma itu?", kakaknya menulis sembari menahan tawa. Adiknya memang lucu sekali, setidaknya baginya.

Tulisan kakaknya itu sukses besar membuat Phil berteriak "Wayalaahhh!". Ia tidak bisa memungkiri kalau didepannya ada cermin, mukanya pasti merah berat. Bukan hanya Phil, kakaknya tentu tahu kalau ia punya perasaan yang aneh beberapa hari ini. Phil sendiri tidak percaya kenapa dia mau-maunya berkonsultasi pada kakaknya. Coba kalau dia bisa membuat program untuk mendeteksi percakapan masa depan. Tentu ia akan segera menutup facebooknya.

Di lain pihak, dia merasa sekarang sudah saatnya untuk terbuka mengenai perasaannya ke satu-satunya orang sibuk yang sangat jauh sekaligus dekat dengannya. Baru ia mengklik kotak textbox, kakaknya mengirimi dia "Well, adik kecil. Kakakmu ini harus mengucapkan: SELAMAT! Anda merasakan cinta!

Aku sendiri tidak percaya kalau kau bisa jatuh cinta. #unbeliveable"

'Auk ah!', Phil berkata kesal dalam hati. Sebelum dia sempat mengklik tombol 'Alt+F4', kakaknya melanjutkan, "Eit! Jangan ditutup dulu! Lanjutin dong ceritanya! Gara-gara kamu, kakak kehabisan napas. Too many laughs!"

"Bangke!", gumam Phil pelan, takut terdengar orang tuanya. Siapa tahu mereka terbangun gara-gara teriakan Phil sebelumnya. Ternyata enggak. Mereka terlalu capek untuk meladeni anak mereka yang lagi edan itu.

"Gk lucu kak", Phil membalas.

"Iye, iye. Hadeuh. Mungkin sudah saatnya kakak bercakap-cakap padamu layaknya pria menasihati pria yah?

Jangan ribet. Jangan memusingkan hal-hal yang toh nggak bisa kamu pusingin Phil. Kalo nggak kamu bisa-bisa berantem sama hati kamu, dan yang ada kamu makin nggak karuan. Ikuti saja.

Sekali ini, cobalah untuk lepas kendali, dan percaya pada perasaanmu", Martin membalas seperti itu. Balasan yang sebenarnya sama sekali tidak membantu Phil. Karena sekarang anak muda itu melongo membaca balasan kakaknya. Apa pula maksudnya untuk 'lepas kendali dan percaya pada perasaan'?

Phil tidak mungkin melakukan hal itu begitu saja. Ia sebenarnya memiliki prinsip lain, selain lakukan apapun yang kau inginkan, dan jangan lakukan bila tidak ingin. Diatas semua itu, prinsip utamanya adalah bila memang memiliki kerjaan, pertimbangkan dulu semuanya.

Prinsip itu diambilnya dari filosofi yang ia dapatkan saat membuat program. Ia melihat, bahwa semuanya bekerja karena ada input, proses dan output. Bila inputnya salah, tidak akan ada proses. Dan bila prosesnya salah, maka output nya juga akan salah. Begitu pula dengan kehidupan nyata, ada hubungan sebab-akibat. Selalu seperti itu.

Tetapi tidak seperti situasinya ini. "Konyol. Bagaimana bisa aku membiarkan semuanya begitu saja tanpa memikirkannya?" , Phil membalas balik kakaknya.

"Well, adikku tersayang. Itulah jawaban yang harus kau cari. Omong-omong aku off dulu ya. Sakit perut nih, gara-gara baca tulisan kamu tadi", balas Martin sembari ngakak nggak karuan di apartemennya. Statusnya pun berubah menjadi off.

'Sialan. Membantu apanya? Bener dah, nyesel udah ngebales. Tahu gitu pura-pura tidur aja', batinnya kesal dalam hati. Ia belum bisa melihat titik terang dari ucapan kakaknya itu. Nggak ngerti maksudnya apa. Phil entah bagaimana teringat kembali dengan teks naskah yang sudah dia dapatkan dari Ethan. Dan bagaimana naskah tebal itu ditolak. Ia lalu membaca kembali pelan-pelan naskah tersebut. Pendapat diapun tetap sama: naskah itu layak pakai. Semuanya sesuai dengan skema input, proses, dan output.

"Tidak pas. Harus dibuat lebih banyak bifurkasi.", suara Lisma terdengar dalam kepalanya. Phil langsung penasaran pada kata itu. Ia mengetikkan kata itu di bagian kolom pencariannya.

Phil langsung terkekeh. "Bifurkasi nggak ada hubungannya sama istilah penulis!", gumamnya sembari menggelengkan kepala. Perlahan, ia merasa bahwa misteri itu sudah sedikit terbuka di depannya. Yang perlu ia lakukan hanyalah mencari inputnya. 'Atau tidak perlu sama sekali', hatinya menjawab.

Shut-In Students and Visual NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang