Bab-4: Pagi Hari di Sabtu yang Cerah

26 1 0
                                    

Rencananya sih ketemuannya hari ini, sekitar jam sepuluhan. Tetapi dari tadi Phil belum melihat gadis itu. Dia lantas berpikir, mungkin karena macet. Kan biasa, di hari Sabtu pagi seperti ini pasti banyak yang keluar rumah, menikmati akhir pekan yang mereka tunggu. Yah, bagi Phil, hari pekan itu sebenarnya berarti mengunci pintu dan asik mengetik di keyboard komputernya. Entah bagaimana dia tidak pernah bosan. Baginya, setiap langkah yang sudah dia lakukan itu merupakan tantangan baru.

"Ini pesanannya. Satu teh manis panas", ujar pelayan kafe itu, membawa nampan berisi segelas besar pesanan Phil. Phil lalu berkata, "Terimakasih bu", dengan pelan saat pelayan cewek berumur 20-an tersebut memindahkan gelas ke meja di hadapannya. Phil pun meniup teh itu sebentar lalu menyeruputnya.

Kafe itu sudah agak penuh. Jarang Phil datang ke kafe seperti begini, tidak pernah malah. Tetapi dia sudah terlanjur berjanji pada Lisma untuk bertemu disini. Kebetulan juga di dekat sini ibunya bekerja sebagai pegawai dari suatu bank swasta. Sebenarnya ini kan akhir pekan, namun ibunya rupanya memegang peranan penting, hingga masih harus melakukan sesuatu disana. Memikirkan ibunya, dia jadi agak heran juga dengan sikap itu waktu Phil mengatakan dia akan berjumpa dengan seseorang, sebelum dia pergi. Ibunya amat bahagia, seakan baru mendapat lotre.

"Phil ingin menemui seseorang? Kamu yakin itu bukan mimpi kan?", sambut ibunya menanggapi pernyataan Phil.

"Aduh bu, kenapa sih? Lagipula ini juga ada hubungannya dengan kemampuanku", tambah Phil yang menjadi agak merah wajahnya. "Toh, ini juga gara-gara Bu Sari...", Phil berkata sambil kaget sendiri. Keceplosan, pikirnya sambil menutup mulut.

"Janji apa?", ujar ibunya saat Phil hendak mengambil handuk untuk mandi. Ibunya baru saja selesai menggunakannya, namun bukannya cepat-cepat berganti pakaian, malah menanyai Phil begini.

"Eh, yah, bukan apa-apa. Lagipula, itu kan masalahku!", bantah Phil. Bisa gawat kalau ibunya tahu apa yang hendak dia lakukan. Tentu saja hangout bareng cewek tidak masuk dalam daftar hariannya.

"Sebentar, biar ibu tebak. Urusan cewek ya", ibunya lanjut menggodanya. Dan ekspresi anaknya sudah cukup untuk membuatnya tersenyum semakin lebar. "Semoga beruntu-"

"Ais, diam saja dan masuk kamar!", Phil berkata dengan nada kesal. Ia lalu membuka kamar ibunya dan mendorong ibunya ke dalam sana.

Phil tidak menyadari bahwa Lisma sudah berada di samping mejanya.

"Hoi, Philipus! Mau sampai kapan bengong begitu?", cewek itu berkata dengan nada agak keras. Setidaknya Phil tahu bahwa janjian ini bukan buat hal-hal lain di luar dugaannya. Lisma hari ini memakai kaus berkerah merah dengan celana jeans. Rambutnya kali ini ia ikat menjadi satu kunciran. Sepatunyapun masih sepatu seperti pertemuan pertama mereka. Singkatnya, penampilannya polos, senada dengan Phil. Dia mengenakan kaus tanpa kerah bergambar di bagian depan, jaket denim yang tidak dikancing, dan jeans hitam.

Sebenarnya Phil berpikir bahwa paling tidak cewek itu harusnya sedikit berusaha, yah, modis. Atau begitulah pengalaman dia kalau melihat di film-film serta mendengarnya dari teman-temannya. Namun kelihatan kalau Lisma nggak secentil cewek pada umumnya.

"Ngapain liat aku kayak begitu?", kata Lisma sambil menarik kursi. Tanpa disadari, Phil sudah memandanginya paling tidak 5 detik.

"Hehe, aku jarang ketemuan seperti begini, jadinya aku masih belum terbiasa", Phil beralasan. Dia merasa mukanya agak memanas. Mungkin itu efek dari matahari pagi. "Jadi, mau pesan apa?", ia melanjutkan. Terus terang, berbicara dengan cewek dalam keadaan seperti ini membuatnya gugup.

"Permisi", ujar Lasmi sambil melambaikan tangannya. Seorang pelayan cowok  lalu datang ke meja itu. "Saya ingin pesan teh tawar panas"

"Baik, satu teh tawar panas", konfirmasi si pelayan. Ia lalu menuliskan pesanan Lisma di kertas nota. "Tolong ditunggu sebentar", lalu ia pergi.

"Nah, jadi, mau buat konsep ceritanya bagaimana?", Lisma mendadak bertanya. Dalam hati Phil tidak tahu mau kayak apa ceritanya.

"Terserah kamu aja deh, Lis", jawab Phil agak bingung. "Kan kamu yang pandai membuat ceritanya, kan?"

"Yah, aku juga belum pernah kepikiran buat visual novel sama sekali", ujar Lisma. Ia lalu berpikir sejenak. Ia lalu mulai mencubiti dagunya sendiri hingga akhirnya berkata, "Bagaimana kalau cerita cinta?"

Entah kenapa, Phil merasa wajahnya makin panas. "Eh, jangan ngomong keras-keras seperti itu!"

"Memang kenapa?", Lisma bertanya, kaget dengan sikap Phil yang mendadak berubah.

"Ah, tidak, bukan apa-apa. Yah, itu ide yang bagus sih. Tapi apa nggak takut itu bakal kelewat mainstream?", tanya Phil. Dia memang tidak ahli dalam hal beginian, tapi dia juga beberapa hal mengenai visual novel, sebab teman-temannya di internet terkadang membahasnya. Namun kebanyakan dari yang dengar sih, temanya mengenai orang pacaran melulu.

Lisma kelihatannya juga sepikiran dengan hal itu. "Bener juga sih", ujarnya. Lalu, datanglah seorang pelayan lain membawa pesanan Lisma. Namun saat cangkir itu diletakkan, Lisma tidak mengucapkan apa-apa. Jadi Phil lah yang berterima-kasih. Kelihatannya anak itu tidak mau diganggu kalau lagi berpikir keras. Phil mendadak mendapat pemikiran. "Gimana kalau kita buat saja cerita, berdasarkan dari pengalaman yang kita punya?"

"Maksudmu, mengenai kita?"

"Nggak harus persis kita juga. Yah, seperti yang tantemu katakan, orang yang sama kakunya dengan kita"

Lisma tanpa sadar mengambil sebatang pulpen dari tas sampirnya, dan mengetuk-ngetukkannya ke meja. "Itu... ide yang bagus. Cuma, susah juga ya, memikirkan ceritanya? Lagipula, sebenarnya pertemuan ini aneh juga sih"

"Aneh apanya?", tanya Phil.

"Aku baru ketemu seseorang, lalu langsung diajak ngobrol diluar seperti ini. Yah, sebenernya sih oke-oke saja buatku. Toh kita mau buat cerita?", Lisma berujar. Entah karena efek matahari, wajahnya mendadak terlihat memerah. Dia lalu buru-buru menyisip tehnya. Phil juga melakukan hal yang sama. Tentu saja keduanya mau bertemu seperti ini, mereka berdua begitu tertarik dengan proyek mendadak ini.

"Itu... Aku ada ide! Tapi bakalan panjang dan susah dijelaskan...", seru Lisma. "Aku mungkin bisa memberi rinciannya nanti, kalau udah jadi skriptnya"

"Kalau begitu, eh, gimana kalau kau berikan saja kontakmu? Lewat Facebook atau apa kek?", usul Phil.

Lisma mengeluarkan selembar kertas dan merobeknya menjadi dua bagian kecil. Ia lalu menuliskan alamat emailnya disana. "Ini kontakku. Sekalian juga minta punyamu", ia menyodorkan kertas yang ia tulis, bersama secarik kertas kosong lainnya. Phil pun menuliskan alamat emailnya disana.

"Ku... kupikir, nggak ada yang bisa dibahas lagi eh?", kata Phil. Ia merasa bodoh sudah mengucapkan hal seperti itu. Separah-parahnya kasus Phil, tetap saja ia tahu bahwa situasi seperti ini itu canggungnya bukan main.

Namun, gadis itu ternyata nggak terlalu peduli kalau sudah kedapatan ide di dalam kepalanya. "Kalau begitu, aku pergi dulu. Ayahku juga lagi ngobrol di ruangan sebelah sana", ujar Lisma sembari mengambil tasnya. "Sampai nanti!"

Phil menyadari, bahwa sedikit yang mereka dapat dari pertemuan singkat itu. Dan yang lebih aneh lagi, dia ingin bertemu kembali dengan gadis itu.

Shut-In Students and Visual NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang