14. Menyerah?

154 14 0
                                    

Iya, mas. Ria jalan sekarang,”

Belum juga aku mengucapkan salam penutup, dia sudah menutup telponnya lebih dulu. Aku membuang napas pasrah.

“Bilang sore, jadi sekarang. Terus aja merajuk,” Cicit ku selagi mengaduk-aduk makanan ku, yang sudah berubah rasanya menjadi hambar, gara-gara dirinya.

“Mas Galen?”

Aku mengangguk, “Siapa lagi Mah, ria hanya punya satu panggilan ‘MAS’, dan  memang cuman dia didunia ini menganggap wanitanya bagai jin tomang.”

Mamah lika tertawa,"pemaksa, iya?"

“hemm, Saking jeniusnya mas galen!” lanjut ku bergurau, mamah mengelus punggung tangan ku dan tersenyum.

“Anehnya, sudah tahu anak mamah seperti itu, kenapa kamu mencintainya? Hemm?”

“No comment, aku pun bingung, mungkin mas galen datang ke dukun.”

Aku dan mamah saling sahut melontarkan tawa begitu renyah.

Aku sudah sampai diparkiran apertemennya, merapihkan penampilan ku, takut mas galen tahu kalau habis nangis.

Berjalan sambil menenteng dua bungkus kembang gula yang sempat aku beli dilampu merah, aku tersenyum karena merasa selamat. Selamat tidak akan kena amukannya lantaran permasalahan pakaian, Kali ini aku memakai rok biru muda kotak-kotak bawah lutut dipadukan dengan hoddie putih rambut dikuncir asal, bukan pakai celana jeans, dia sungguh tidak suka.

Aku mengetuk pintu, terakhir dia membuka dan aku mencium tangannya.

"Sudah makan siang?" tanya nya dingin.
Ku lihat wajahnya sama dengan nada bicaranya, entah siapa yang merasukinya.

"Sudah, tadi bareng mamah.”

Mendengar ucapan ku, matanya mendelik pada ku, aku melihatnya begitu menakutkan.

"Kenapa?" tanya ku,

“Ada acara apa kalian bertemu? Mamah tidak bicara macam-macam?”

“Tidak ada, mamah hanya ingin makan siang dengan ku,”

Aku sengaja berbohong, ingin mendengar kejujurannya. Bukan tidak puas dengan penjelasan calon mertua ku, bukankah mendengar kejujuran dari si tersangka jauh lebih real? Apalagi permasalahan seserius ini, bisa-bisanya mas galen menyembunyikan dari ku, menyebabkan cepat atau lambat, aku memilih mundur demi kebahagiaan keluarga besarnya.

Aku sungguh terkejut, mas galen menarik tangan ku dan menyeret badan ku kedalam kamarnya, sampai dikamar seketika badan ku dibantingnya ke atas kasur.

"Mas kenapa sih?" ucap ku sedikit membentaknya, pasalnya aku tidak bisa diperlakukan seperti ini.

"Sudah berani berbohong?" ucapnya, tepat didepan wajah ku,

"Mas tidak dengar ucapan aku tadi, bohong apa?" Ucap ku naik satu oktav,

"JANGAN BANYAK BICARA, JAWAB SAJA PERTANYAAN SAYA!" Suara mas galen naik empat oktav, aku benar-benar takut. Aku melihat wajahnya tanpa berkedip, begitu pun dengannya.

“Kamu melihat dan mendengar ada kebohongan dari cara aku menjawab?” tanya ku pelan,

“YA!” bentaknya, aku memejamkan mata.

“Memang itu saja, mana mungkin aku berbohong sama kamu, Mas?”

Dia bangun, beralih berdiri menatap keluar lewat jendela besar. Kami sama-sama diam, aku bingung harus melakukan apa, sedangkan tidak paham isi pikiran mas galen.

GARIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang