17. Pelakor? Aku atau Dia?

171 18 0
                                    

Sesuai pesan singkat yang dikirim Miara, Ingsya Allah calon adik idaman, mengenai dirinya mengajak makan bersama diBINZA’CAFÉ. Tepat jam kerja selesai, aku segera merapihkan penampilan dan barang-barang ku. Tidak lupa mengirim pesan pada bapak takut pulang telat.

“Hemm, pasti mau dinner, ingat ini malam jumat ri, bukan malam minggu!” ledek Djati

“Dinner malam ini bukan sembarang dinner…” aku meladeninya,

“Terus?”

Siska menyambung seperti saluran listrik,”Dia mau dinner sama dukun, lo tahu sendiri jat, pesugihan hal yang paling mempengaruhi, kali gak pakai itu…”
Aku mengulum senyum,

“Bener juga ya, secara calonnya Dokter…”

“Nah, itulah alasannya. Benar ri?”

“Benar sekali ibu siska, pesugihan memang cara paling terbaik mendapatkan pusaka suami, namun berakhir malah petaka!” jawab ku, Djati dan siska tertawa terbahak-bahak.

“BISA AJA, LOH!” Teriak keduanya,

“Memang konyol ini anak…receh banget!” ucap djati,

“Mangkannya bang, dia sangat nyatu sama karakter pacarnya. Satu dingin satu hangat.”

“DISPENSER, DONG!” Jawab aku dipintu keluar, masih mendengar pembicaraan mereka. Mereka tertawa kembali, aku pamit pulang.

O0o

Café terlihat sangat ramai, mata ku menyapu seluruh meja sampai berhenti di meja ujung dekat bunga ceremai dibalik jendela. Namun sedikit aneh, dirinya duduk berdua bersama wanita, tidak lain Celsa. Ada niat untuk membatalkan pertemuan ini, bukan maksud menghindar, tapi malas saja meladeni perempuan yang belaga sok sempurna. Aku memiliki tujuan bukan padanya, jadi jalani saja. I'm fine..

Aku berjalan, tepat dihadapannya, mulut ku menyapa salah satu bentuk santun sikap manusia.

“Duduk, kak.” Ucap maira, aku mengagguk. Dia memanggil pelayan, mencoba bicara menu apa saja yang aku pesan, dirinya sudah hafal mengenai itu.

Satu meja diam, jujur aku masih canggung dengan kedekatan ini. Tapi beda hal nya maira dan celsa, mereka bicara tanpa arah. Terus ngapain ngajak aku kemari? Mau menunjukan keakraban kalian? Layaknya adik ipar? Sorry ya, aku tidak cemburu jika memang itu niat mu, Celsa.

Aku berdehem, “Maira, tumben ngajak makan bareng, ada apa, hemm?” ucap ku disertai nada gurauan.

“Bukan aku ka yang ingin makan bareng, tapi tante celsa. Katanya ingin mengenal kak ria.”

Aku menoleh padanya,

“Iya saya sengaja menyuruhnya untuk menghubungi kamu, saya tidak memiliki nomer ponsel mu.”

Aku mengangguk,”Begitu rupaya. Senang berjumpa lagi, Mba. Sudah lama kita tidak makan bersama.” Ucap ku ramah, mengulurkan tangan, namun tidak dibalas olehnya. Wah, ngajak rebut nih orang! Setelah tidak sopannya kemarin bicara begitubdudepan orang tua ku, saat mas galen sakit. Aku menurunkan tangan kembali yang terulur cukup lama, malu ih!

"Oh ya, saya lupa. Kita gak akrab ta mba. Maaf."

Aku tersenyum semirik,

“Ra, mas galen tadi malam sudah pulang?” tanya ku,

"Belum kak, mungkin tiga harian lagi."

“Sudah, buktinya saya pun sudah ada disini.” Jawab celsa menyambung, padahal aku bertanya pada maira.

Aku menoleh,”Mba ikut pergi dengannya juga? Bukan kah kemarin katanya gak ikut? Sudah atau belum nih?”

"Dari Bali sudah balik, sekarang pindah ke Yogyakarta. Sedang mengisi acara kedokteran dan pengawas."

GARIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang