4. Bertemu dua Pria Tampan

164 19 2
                                    

Kebetulan ini hari jum’at, aku bisa keluar kantor lebih awal. Aku menuruti perintah dari jendral galen, untuk menemuinya diRooftop RumahSakit. Dari pesan yang diketiknya pukul 05.55 pagi.

Mas galen❤

Bertemu ditempat biasa.

Angin diatas sini sangat kencang, hingga meniup rambut ku berterbangan tidak karuan. Dia masih memakai baju seragam praktiknya, aku menghampirinya, berdiri disisinya. Dia menoleh, aku meraih tangannya mencium punggung tangannya, dia mengelus kepala ku sekilas. Kami kembali saling berdampingan, pandangan lurus kedepan, terlihat berbagai gedung-gedung menjulang tinggi.

“Maaf, kemarin saya terlalu sibuk.”

Aku diam,

“Kenapa diam? Marah?”

“Sudah makan siang, Mas?” ucap ku, selagi membenarkan rambut ku terus menerus. Angin disini sepoy-sepoy...

“Tidak makan satu hari, tidak membuat saya mati, kan? kecuali bila kamu pergi meninggalkan saya.”

Bucin! Dusta!

“Sudah tahu seperti itu, sikap mas tidak berubah.”

“Kita sudah lama pacaran, harusnya lebih paham?” sangkalnya,

“Maka, saking lamanya dan sudah sangat paham, seharusnya diperbaiki. Bukan malah terus-terusan dibiarkan, diulangi. Tahu sendiri, bila sesuatu dibiarkan jadinya seperti apa?”

“Padahal ponsel selalu ada disaku celana, apakah otak mas tidak menginstruksi tangan mas untuk mangalihkannya sedetik saja agar tidak membuat ku menunggu?”

“Bukannya kamu selalu bilang ‘Selesaikan urusan bersama orang lain dahulu, baru aku’. Apalagi mengenai pasien saya, lantas dimana salahnya? Saya melakukan kesalahan lagi?”

"Pikir saja sendiri, ingatlah, mas galen calon imam ku, aku tidak ingin melangkahi mu lebih jauh, takut durhaka. Walau aku tahu, antara salah dan tidak."

"Pekerjaan mu, dengan saya, beda. Sangat beda, Mengertilah. Bukan kah sejak awal saya sudah bilang? Jangan mencari api karena hal pekerjaan. Saya begini demi kamu, KAMU RIA." ucapnya tegas tapi pelan, sampai menoleh pada ku. Aku menyerah,

“Aku mau pulang, cape. Kesini hanya diajak adu mulut, menghabiskan energi saja. Percuma!”

Aku sedikit bergerak untuk berbalik membelakanginya, namun keburu ditahan olehnya. Berakhir aku masuk dalam dekapannya, dia memeluk ku dari belakang. Mencium telinga ku, pucuk kepala ku berulang kali.

“Lepas, aku mau pulang. Cape, mau istirahat.” ucap ku dingin, padahal mata ku sudah berkaca-kaca, ada rasa haru berada dipelukannya.

Menyadari diri, setiap hari merasa rindu padanya, apalagi bila tidak bertemu beberapa hari, diri ku begitu sepi. Ketika bertemu, enggan untuk melepaskan. Masalahnya, susah lagi untuk ketemunya lagi. Entahlah kenapa aku ini...

“Tetaplah tinggal disini, kita sama-sama lelah bekerja.”

Aku menoleh kebelakang, pandangan kami saling bertemu. Mas galen sudah menjulurkan wajahnya siap mencium pipi ku, tapi keberu aku tahan. Aku melotot,

“Aku bukan hidangan lezat untuk buaya darat! Muka kulkas!”

Mas galen tersenyum simpul,

“Mengetik satu kata saja, memang tidak bisa? Sampai membuat orang mati kehausan, kelaparan lantaran menunggu balasan situ? Sok ganteng sekali anda, Tuan!” ceroros ku, tanpa titik dan koma. Tidak terasa air mata ku jatuh juga, dia menyekanya,

“Tidak masalah, hasilnya untuk kamu juga. Kita bukan macam anak SMA atau Kuliahan.”

Aku mengeluarkan napas berat dan lelah, membalikan badan memeluknya penuh kerinduan. Melampiaskan rasa kesal tadi malam, dan mengenai sikapnya kemarin.

GARIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang