1. Lima Tahun Bersamanya

1.2K 57 0
                                    

Maria merasa guncangan dalam mimpinya. Ia seperti terkena badai yang menerjang tubuhnya dengan sangat kuat. Tubuhnya terasa sakit dan ini terasa seperti bukan mimpi.
Gubrak!
Maria membuka mata lebar-lebar. Ia merasakan wajahnya seperti mendapatkan pukulan. Saat ia meraup wajah dan menoleh, ia mendapati sebuah bantal guling di atas dadanya. Dan saat sadar ada dua bola mata yang mengawasi, saat itu juga Maria terduduk.
"Kamu?"
Tian berdiri di hadapannya dengan wajah masam. Terlihat satu tangannya menenteng bantal lain. Maria tentunya langsung menebak kalau mimpinya adalah kenyataan. Dia merasakan guncangan dan pukulan benda empuk tapi juga terasa keras.
"Kamu yang memukulku dengan bantal ini?" tanya Maria sambil mengangkat bantal guling di atas pangkuannya.
Tian mendecit. "Kamu pikir siapa lagi?" Ia kemudian menjulingkan mata.
Maria cukup lelah menghadapi sikap Tian yang semakin hari semakin keterlaluan. Tian selalu mengusik Maria dengan alasan melayani suami dengan baik. Siapa yang bersalah, siapa juga yang akhirnya tersiksa.
"Semalaman aku tidak tidur," kata Maria. "Bangunkan aku pelan-pelan kan bisa."
Tian angkat bahu kemudian berbalik badan masuk ke dalam kamar mandi. "Terserah aku. Aku yang berkuasa di sini."
Mau apa lagi? Maria tidak bisa berbuat apa-apa kalau Tian sudah berkata begitu. Pria yang Maria nikahi lima tahun itu, seperti menjadi mimpi buruk. Segala sirna, mimpi, kebebasan semuanya tak ada lagi. Sehari-hari Maria hanya disibukkan dengan mengurus Tian dan satu putra kecil bernama Agam.
Mengenai Agam, Maria tidak keberatan karena biar bagaimana pun dia adalah putra kandungnya. Maria menyayangi Agam sepenuh hati meskipun dia hadir karena sebuah kecelakaan.
"Kenapa belum bangun juga?" Suara Tian yang baru ke luar dari kamar mandi membuat Maria terkesiap.
Maria buru-buru turun dari atas ranjang, memakai alas kakinya lalu melenggak ke luar. Dia tidak membasuh wajah lebih dulu, karena memang sudah terlalu siang. Dia juga harus menyiapkan keperluan untuk Agam yang sudah masuk sekolah PAUD.
Sementara Tian yang masih di dalam kamar, ia berjalan ke arah nakas. Satu tangan menggosok rambutnya yang basah, satu tangan lagi meraih ponselnya. Kemudian Tian duduk dan mulai menggeser ponselnya hingga layarnya menyala.
"Aku berangkat agak siangan, kamu hendel semua meetingku pagi ini." Tian berbicara dengan seseorang di balik ponsel.
Hanya obrolan singkat, karena setelah itu ponselnya ia masukkan ke dalam saku jas. Sementara di lantai bawah, Maria sedang sibuk menata sarapan. Kalau Agam, dia sepertinya sedang berganti pakaian bersama si embak.
Selesai menyiapkan sarapan, Maria kembali menuju ke kamar. Dia hari ini juga harus bekerja. Dalam perjanjian waktu itu, pernikahan ini tidak ada yang boleh mengusik kegiatan apa pun dari masing-masing. Intinya Maria boleh melakukan apa pun, begitu juga dengan Tian.
Sampai lantai atas, Maria melihat knop pintu bergerak ke bawah. Itu artinya ada seseorang yang menekannya dari dalam. Dan benar saja, pintu tersebut kemudian terbuka memunculkan sosok pria tampan tapi bengis.
Maria lantas acuh dan kembali melenggak. Ia menyerobot masuk hingga sempat menyerempet lengan Tian. Ketika Tian sempat melempar kata 'Hei', Maria tetap acuh.
Tian menuruni anak tangga sambil berceloteh. Dia cukup kesal dengan sikap Maria yang dianggapnya tidak menghargai seorang suami. Namun, Ah, sudahlah! Semua sudah terjadi. Kalau bukan gara-gara si brengsek Bagas, kejadiannya tidak akan seperti ini.
Lima tahun berlalu, tetap saja Tian masih mengingat kejadian itu. Sepertinya Maria juga begitu. Andai Tian mengerti, posisi Maria lah di sini yang paling tersiksa.
"Selamat pagi, Papa!" seruan dari bocah kecil membuyarkan lamunan Tian.
"Halo, Sayang." Tian menyahut sapaan itu  Ugh!" Sampai-sampai Tian hampir terjengkang saat berjongkok menyambut Agam yang berlari memeluknya.
Setelah pelukan terlepas, Agam memiringkan sedikit kepalanya. "Di mana Mama?"
Tian tersenyum. "Masih di atas. Tunggu saja,  sebentar lagi turun." Tian lantas berdiri lalu menuntun Agam menuju meja makan.
Mereka duduk berdampingan mengahad hidangan di atas meja yang sudah Maria siapkan tentunya. Tian mungkin kagum karena meski sibuk bekerja, Maria tetap bisa mengurus rumah. Tian memang sengaja tidak memperkerjakan pembantu, niatnya supaya Maria kerepotan. Namun, keadaan sepertinya tidak begitu.
Mengenai Agam, suster yang menjaganya itu atas perintah Tuan Rudi dan Nyonya Puspita yang tidak lain adalah kakek Agam--ayah Tian.
"Halo, Ma!" sapa Agam riang.
Maria tersenyum lalu mengecup kening Agam. "Pagi, Sayang."
Maria ikut duduk dia mengambilkan nasi dan lauk untuk Tian seperti biasanya. Sementara Agam, dia sudah dilayani mbak Lela. Tidak ada obrolan apa pun selain mendengarkan Agam yang terkadang mengoceh. Meski hubungan belum membaik, di hadapan Agam mereka berdua selalu bersikap baik. Beberapa kali papa dan mama mengingatkan, meski mereka berdua masih cekcok setidaknya tidak saat bersama Agam.
Selesai makan, Agam dan Mbak Lela berangkat lebih dulu diantar sopir. Kalau Maria, dia selalu memilih mengendarai taksi dari pada harus satu mobil dengan Tian. Meski arahnya sama, tapi lebih baik tidak. Toh, jarak kantornya masih cukup jauh dari perusahaan milik Tian. Lalu, kenapa tidak berangkat dengan sopir bersama Agam? Tentu karena arahnya berbeda.
"Tidak usah menungguku nanti malam. Mungkin aku pulang terlambat," kata Tian sebelum masuk mobil.
"Aku tidak peduli," acuh Maria yang langsung melenggak karena taksi yang ia pesan sudah datang.
Tian mengeraskan rahang lalu masuk ke dalam mobil. Dia membanting pintu mobil lantas melajukan mobilnya. Di luar kompleks perumahan, saat melihat taksi yang ditumpangi Maria, Tian langsung banting setir dan menyalip taksi tersebut. Hal itu tentu membuat Maria dan si sopir taksi terkejut.
"Dasar brengsek!" umpat Maria setelah posisi duduknya terkendali.
Sang sopir cukup kaget dengan kalimat umpatan itu, tapi sebagai orang asing di sini, dia tetap diam saja dan fokus menyetir saja.
Sampai di gedung perkantoran di mana dirinya bekerja, Maria lekas turun. Ia tidak mau terlambat karena hari ini pimpinan baru perusahaan akan datang. Dan juga, dikatakan beliau menginginkan sekretaris baru yang siap mendampingi saat bekerja. Ini kesempatan emas untuk Maria. Semoga saja ia terpilih nantinya.
Bukan apa-apa, Maria hanya tidak ketergantungan dengan sang suami atau keluarganya.
Sampai di dalam kantor, beberapa karyawan lain sudah mempersiapkan di lobi. Sementara Aurora lebih dulu masuk ke ruang kerjanya untuk meletakkan tas dan memakai tanda pengenal pada saku kirinya.
"Belum datang kan?" tanya Maria pada Rika.
Rika menggeleng. "Ayo, buruan! Jangan sampai kita telat ikut berbaris di antara mereka!"
Maria jadi gugup sendiri saat Rika dengan sengaja malah memburunya. Ketika Rika sudah berlari ke luar lebih dulu, saat itu juga Maria berdecak kesal.
"Dasar teman menyebalkan!" seloroh Maria sambil memasang tanda pengenal.
***

Gara-Gara Reuni (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang