Semua tampak menegang. Mereka mulai bergumam dalam hati dan berdoa diam-diam berharap kalau bos mereka bukan orang yang angkuh. Tiada yang tahu siapa pengganti pimpinan perusahaan ini, selain rumor yang beredar mengenai putra pimpinan sebelumnya yang sudah sepuluh tahun tinggal di luar negeri. Wanita atau pria, semua masih menebak-nebak.
"Sial! Aku gugup!" dacak Rika sambil menyikut lengan Maria yang berdiri di sampingnya.
"Diamlah!" balas Maria dengan suara berbisik. "Semua baik-baik saja."
"Aku hanya takut kalau bos baru kita galak seperti suamu."
Maria melotot membuat Rika mengatupkan bibir rapat-rapat membentuk garis lurus. Ups!
Ketika pintu terbuka lebar dan para pengawal berjas masuk, seketika semua para karyawan mengangkat wajah dengan perasaan gugup luar biasa. Mata mereka sudah terbuka sempurna dan merasakan dadanya terasa berhenti seketika.
Suara langkah pantofel mulai bergema, sosok berjas hitam berdasi dongker bergaris garis mulai terlihat. Wajah itu belum terlihat sepenuhnya. Barulah saat mendongak, semua mata semakin membulat. Ada yang sudah mendedah, ada yang ternganga menutup mulutnya, ada juga yang menelan ludah. Namun, lain dengan Maria dan Rika. Mereka saling pandang, barulah menelan ludah bersamaan.
"Realy?" Maria langsung merengutkan wajah tidak percaya.
"Astaga!" Rika mulai merasakan wajahnya panas mendadak. "Mampus kamu, Maria."
Huh! Kalimat macam apa itu? Rika memang teman sialan!
Ya, Tuhan, mimpi apa aku semalam? Kalau begini, lebih baik aku tidak mengajukan diri jadi sekretaris. Aku lebih suka bekerja pada jabatanku sebelumnya.
Semua karyawan mulai tertunduk menyambut pimpinan perusahaan yang baru. Bisik-bisik kekaguman mulai terdengar di telinga Maria. Ingin muntah rasanya. Tian memang tampan, tapi perilakunya, uh! Siapa pun tidak akan betah.
"Kamu!"
Suara itu membelalakkan mata Maria. Maria sontak angkat wajah dan pria bengis itu sudah berdiri di hadapannya saat ini. Glek! Maria menelan ludah susah payah. Yang lain juga mendadak ikut tegang.
"Angkat kepala kalau pimpinan kamu datang. Bersikaplah sopan!" Tian menatap Maria dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Tadi pagi, Tian tidak terlalu memperhatikan tampilan Maria karena sibuk sarapan. Saat melihatnya saat ini, seperti ada yang berbeda. Bibir ranum itu tampak lebih merah dari sebelumnya, ada bedak tipis juga yang menghias di wajah itu.
Tck! Apa seperti ini? Dia bersikap biasa di rumah, lalu berdandan kembali setelah sampai di kantor? Dia sedang cari muka?
"Kamu!" Lagi-lagi Maria dibuat terlonjak.
Di barisan lain, mereka-mereka sudah mulai ada yang berbisik-bisik. Sebagian merasa khawatir kalau Maria akan mendapat masalah, tapi ada juga yang diam-diam cekikikan dengan nasib sial Maria.
"Saya, kenapa, Pak?" tanya Maria.
Tian meraih dagu Maria dan sedikit mengangkatnya. "Saya tidak suka ada wanita yang memakai lipstik tebal di sini."
Tian melepaskan dagu Maria dengan sedikit dorongan.
"A-apa?" Maria ternganga dengan kalimat itu. Dia melirik Rika, tapi wanita itu malah pura-pura buang muka.
Sementara yang lain, kembali saling sikut dan bagi para wanita yang merasa bibirnya tebal lipstik segera mereka lap menggunakan tangan secara diam-diam.
Tidak berkata apa pun lagi, Tian kini melenggak pergi diikuti para pengawalnya. Para karyawan juga sudah diminta untuk kembali bekerja.
Aaaaargh! Brengsek!
Maria memukul meja sesampainya di ruang kerja. Dia tidak peduli beberapa lirikan dari teman kerjanya yang lain. Hampir saja Maria melempar lembaran berkas di atas meja, tapi dengan cepat Rika menghentikannya.
"Tenang, Maria," kata Rika. "Tidak enak dilihat yang lain."
Maria mengangkat wajah lalu mulai toleh kanan kiri. Kemudian dia menghela napas dan jatuh terduduk. Dia memijat keningnya yang mulai terasa pening. Hah! Sial memang. Bagaimana mungkin bisa seperti ini?
"Duh! Duh! Duh! Yang dapat teguran dari pak bos, kasihan banget!" Suara cempreng itu membuat Maria mendesah berat. Kepalanya yang harus reda, malah kembali terasa pening.
Maria lantas angkat wajah. "Jangan menggangguku."
Wanita di hadapannya itu malah tertawa mengejek. "Yakin kamu bakal lolos jadi sekretaris bos baru kita."
Maria tidak tahan lagi. Ia sudah terlalu kesal hari ini karena kelakuan sang suami yang tidak jelas. Maria kemudian berdiri, menggebrak tepian meja dan menatap wanita bernama Bela itu dengan tajam.
"Dengar ya, aku paling tidak suka diusik. Kalau kamu masih saja menggangguku, aku tidak segan mencakar wajah tebalmu itu!"
"Kamu!" Bela ikut melotot. Saat dia melirik ada segelas air putih di meja Maria, saat itu juga dia menyiramkannya di atas kepala Maria.
Mereka yang menyaksikan hal tersebut langsung tercekat. Mulut mereka terbuka dan matanya membelalak. Maria sendiri sudah ternganga lebar-lebar mendapati dirinya yang basah.
"Apa-apaan kamu!" salak Maria kemudian.
"Apa!" Bela seolah menantang. "Aku hanya ingin kamu tahu, kalau tidak ada yang bisa menandingiku."
"Sialan!" Saat itu juga Maria menjambak rambut Bela kuat-kuat.
Bela yang merasakan sakit dan tidak terima, kini membalas jambakan itu dengan jambakan pula. Satu tangannya juga berhasil meraih lengan blus Maria hingga sobek.
"Duh! Kalian ini apa-apaan, sih!" decak Rika. "Hei, Kalian! Kenapa cuma menonton! Bantu pisahin dong!"
Seketika mereka terkesiap dan coba melerai mereka berdua. Bukan pertengkaran para wanita kalau tidak saling jambak-menjambak. Rasanya tidak pas kalau tidak begitu. Saking kuatnya mereka, sampai tenaga mereka-mereka yang hendak memisahkan tidak ada hasilnya.
"Apa-apaan ini!" Suara Bu Sari selaku manajer di perusahaan ini bergema. Suaranya yang khas, membuat mereka tersentak. Pun dengan Maria dan Bela.
Kini, Maria sudah di rangkul bagian pinggang oleh Rika kuat-kuat. Sementara Bela, sudah mendengkus dan tengah merapikan rambut dan tampilannya yang berantakan. Kemudian mereka berdua langsung ditarik menuju ruangan si Boss yang tak lain adalah Tian.
Sial! Sial! Maria mengumpat dalam hati. Mati kali ini. Tian pasti akan mengamuk. Begitu pikir Maria. Dan sampai di ruangan Tian, dua wanita dengan rambut awut-awutan itu berdiri menghadap meja Tian. Perlahan, Tian memutar kursinya hingga kini matanya bertemu tatap dengan mereka berdua.
Belum ada kalimat yang ke luar dari bibir Tian. Dia kini sudah berdiri lalu melenggak mendekati mereka berdua. Tian lebih dulu menatap Maria lalu memutari dengan tatapan aneh. Saat ini, Maria sudah tertunduk dan sesekali menaikkan baju bagian lengannya yang sobek.
"Seperti inikah kamu kalau bekerja?" tanya Tian. Dia setang duduk pada meja kerjanya dengan kedua tangan terlipat di depan dada. "Tidak bermoral!" lanjut Tian.
"Dia yang mulai, Pak," kata Bela.
Maria memutar pandangan--menatap Bela--lalu mendecit--hingga satu ujung bibirnya terangkat.
"Apa itu?" tanya Tian. "Kenapa wajahmu begitu?"
Maria menatap malas ke arah Tian. "Anda lihat baju saya basah bukan?"
Tian hanya menaikkan kedua alisnya.
"Tentu saja dia yang memulai."
"Bukan, Pak. Dia duluan, saya tidak bohong." Bela menyerobot.
Tian mendesis kuat lalu mengatupkan kelima jari--meminta Bela untuk tidak bicara dulu. Bela langsung mengatupkan bibir rapat-rapat.
"Lalu, dengan begitu kamu tidak salah?" Tian kembali bicara dengan Maria.
Maria kembali mendongak menatap Tian. "Saya tidak mungkin melakukannya kalau memang tidak dipancing dulu."
"Kamu bisa mengalah supaya tidak terjadi apa-apa."
Maria menyeringai miring. "Mungkin saya akan mengalah saat ini, tapi kalau terus diinjak-injak mungkin secara perlahan saya akan membalasnya. Termasuk untuk orang yang dekat atau satu rumah dengan saya."
Tian mengerutkan dahi dengan kalimat itu. Namun, saat hendak kembali bicara, Maria malah menyelonong pergi begitu saja.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Gara-Gara Reuni (TAMAT)
RomanceMalam itu harusnya menjadi momen saling bertukar rindu. Namun, tidak untuk Maria. Dia terluka, dia kotor karena ulah seorang pria. Maria ternoda dan takdir memutuskan pria bernama Tian harus menjadi suaminya. Reuni, bukan suatu acara yang Maria baya...