Puspita mengajak Agam ke kebun binatang minggu ini. Memang sudah dari beberapa hari yang lalu dia minta ditemani pergi ke kebun binatang karena ingin melihat si leher panjang yang tak lain adalah Jerapah.
Puspita dan Agam begitu antusias. Saking semangatnya, Agam sampai berlari-lari kecil sepanjang jalan setapak sambil sesekali berhenti untuk melihat binatang dalam sangkar besar. Sementara tidak jauh di belakang mereka, berjalan dua orang dengan wajah datar dan saling membuang muka.
Maria melenggak santai sambil mengayunkan tas selempangnya. Sedangkan Tian, berjalan sambil sibuk mengetik sesuatu pada layar ponselnya. Maria sempat berkata dalam hati, semoga saja ada batu kerikil yang membuat pria itu terjatuh. Dan tidak lama setelah itu, benar saja Tian hampir terjatuh. Untungnya dia bisa mengimbangi posisinya, tapi ponsel yang ia pegang tidak bisa diselamatkan.
"Sial!" umpat Tian setelah posisinya terkesiap. Tak jauh di sampingnya, Maria sedang cengengesan sendiri.
Tian kemudian membungkuk lalu memungut ponselnya kembali. Untung terjatuh di atas rerumputan, jadinya ponsel tetap menyala dengan baik. Hanya sedikit kotor terkena tanah, tapi bisa dilap.
"Apa tang lucu!" gertak Tian.
Maria menelan ludah lalu angkat bahu. "Tidak ada."
Saat itu juga Tian berdecak kemudian berjalan lebih dulu. Bukan menyusul mama dan Agam, melainkan ambil jalan lain. Tian terus berjalan dan berhenti di bawah pohon palem yang di bawahnya terdapat kursi besi panjang. Tian lantas duduk di sana dan kembali fokus pada ponselnya.
Baru saja panggilan terhubung dan ponsel menempel pada telinga, Tian langsung mendengar omelan dari balik ponsel tersebut. Suara manja tengah merengek dan mencak-mencak.
"Ini kam hari minggu, sudah semestinya kamu mengajakku jalan!"
Omelan itu membuat Tian sempat menjauhkan ponselnya dari daun telinga. "Tenanglah dulu," kata Tian kemudian.
"Aku menunggumu ada waktu untukku. Setiap hari sibuk sampai tidak pernah bertemu. Jangan katakan kalau kamu pergi dengan wanita itu!"
Tian terdiam tidak langsung menyahut. Wanita yang dimaksud Mita tidak lama kemudian melintas tidak jauh dari pandangan Tian. Dia tengah bersama mama dan Agam di depan kandang singa.
"Hei!" seru Mita lagi.
Tian seketika berkedip dan bergidik. "Maaf, hari ini aku harus menemani Agam. Aku tidak mungkin tidak ikut."
"Anak sialan!"
Kini Tian membulatkan mata mendengar kalimat itu. Dia tidak menyangka kalau Mita bisa berkata sekasar itu. Mungkin Tian akan maklum kalau mencemooh Maria, tapi tidak dengan Agam. Anak itu tidak tahu apa-apa.
Tut!
Tian memutuskan sambungan panggilan begitu saja. Dia tertegun seraya memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas yang tersampir di depan dada. Sementara di seberang sana, Mita sudah mengerutkan dahi--merasa heran--karena tiba-tiba panggilan terputus.
"Kenapa di sini?" Suara mama membuyarkan lamunan Tian.
Tian berkedip seraya bergidik kecil. Ia mendapati Maria dan Agam tengah tertawa-tawa kecil di depan kandang monyet.
"Cuma duduk santai," sahut Tian kemudian.
Tian tidak tahu kalau sedari tadi mama sudah mengamatinya sejak sibuk dengan ponselnya. Mama lantas ikut duduk di samping Tian, tersenyum memandangi membantunya dan cucunya.
"Bukankah mereka lucu?" kata mama.
Tian tidak menjawab, tetapi pandangan lurus ke arah mereka. Maria memang sangat ramah. Dia tidak pernah digosipkan tentang hal-hal buruk. Hidupnya bersih, hingga harus hancur saat Tian tidak sengaja menodai.
"Apa kamu masih bersama Mita?" tanya Mama lagi.
Lagi-lagi Tian terdiam. Ia menunduk sekejam, lalu kembali mengangkat wajah. "Tentu saja," jawab Tian.
"Apa yang kamu dapatkan dari wanita itu?"
Tian menoleh ke arah mamanya. "Maksudnya?"
Mama tersenyum tipis. "Apa kamu merasa nyaman bersama Mita? Maksud mama, apa kamu yakin akan bahagia jika bersama Mita?"
Tian ragu untuk menjawab. Hubungannya dengan Mita sudah berlangsung sangat lama, tentunya sebelum bersama Maria. Untungnya Tian termasuk pria kuat yang jika bersama wanita tidak akan melakukan apa pun melainkan hanya sekedar jalan bersama atau kecupan singkat. Yah, jujur saja Maria lah yang pertama kali untuk Tian.
"Apa wanita itu tidak menuntut apa-apa sama kamu?" Mama terus bertanya.
Sementara Tian tidak menjawab, sebenarnya ia sedang mencoba mencerna setiap pertanyaan yang mama lontarkan sedari awal. Rasa-rasanya seperti ada yang mengganjal di hari Tian.
"Dan juga, apa kamu yakin Mita bisa melayani kamu dengan baik? Bukan soal bercinta, melainkan hal-hal lain."
Tian menyugar rambut ke belakang lalu berdiri. Saat Tian ingin melangkah, Mita kembali bicara. "Maria sudah bilang sama mama."
Tian berbalik badan lagi dan kepalanya sedikit miring.
"Maria ingin bercerai dari kamu."
Kalimat singkat itu membuat Tian terpaku. Ia seperti melayang--terlempar--jauh entah ke mana saat ini. Tian tidak mencintai Maria, untuk apa harus kaget dengan kalimat itu?
"Mama tidak mau kalau kamu melepaskan Maria hanya untuk wanita seperti Mita." Mama berdiri lalu bicara tepat di hadapan Tian. "Coba pahami dulu seperti apa Mita itu sebelum kamu yakin memilih wanita itu."
Maria berkata penuh penekanan berharap Tian bisa mengerti. Ia kemudian berjalan kembali menghampiri Maria dan Agam. Mereka bertiga kini menuju kandang jerapah dan akan dilanjutkan ke akuarium di dekat jalan ke luar. Sementara Tian, dia memilih ke luar lebih dulu dan menunggu di mobil saja.
Belum sempat masuk ke dalam mobil, Tian merasakan perutnya sudah berbunyi. Dia kemudian menyapu pandangan mencari tempat yang cocok untuk singgah dan makan siang.
"Sepertinya di sana nyaman" celetuk Tian saat mendapati sebuah restoran di seberang jalan.
Harusnya tempat yang lebih dekat ada, tapi entah kenapa Tian memilih restoran tersebut yang cukup jauh dari posisi mobilnya parkir saat ini. Peter lebih dulu mengambil topinya yang ada di dalam mobil. Ia lantas memakainya sambil berjalan menuju restoran tersebut.
"Mobil ini ...." Tian terhenti saat mendapati sebuah mobil yang tidak asing.
Tian memutari mobil itu, coba mengingat-ingat karena merasa begitu mengenal dengan pemilik mobil tersebut. Karena sudah menemukan jawabannya, Tian kemudian melenggak masuk. Dia berdiri tak jauh dari ambang pintu sementara bola matanya mulai memantau setiap sudut ruangan.
Restoran ini cukup penuh, cukup susah saat mencari orang pemilik mobil itu. Namun, saat Tian hendak melangkah, ia mendapati seseorang yang baru muncul dari balik tirai. Seketika Tian membalikkan badan dan memiringkan sedikit topinya. Dia pura-pura mengambil lembaran menu yang tergeletak di atas meja.
"Dasar brengsek!" umpat Tian saat dua orang yang dia lihat sudah melenggak ke luar dari restoran.
Tian mengepalkan kuat-kuat kedua tangan dan juga rahangnya. Rasanya ingin sekali mengamuk, tapi ia tahan karena tidak mau ada keributan yang akan mempermalukan dirinya sendiri.
"Baiklah, kita bahas besok," kata Tian dengan gigi menguat.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Gara-Gara Reuni (TAMAT)
RomanceMalam itu harusnya menjadi momen saling bertukar rindu. Namun, tidak untuk Maria. Dia terluka, dia kotor karena ulah seorang pria. Maria ternoda dan takdir memutuskan pria bernama Tian harus menjadi suaminya. Reuni, bukan suatu acara yang Maria baya...