4. Malam itu

699 41 0
                                    

4. Malam Itu.
Apartemen dengan nomor satu dan dua nol di belakangnya itu, sedang dalam keadaan riuh. Dua gadis cantik tengah sibuk merias diri masing-masing. Gadis berambut pirang, bernama Rika sedang dudu di depan cermin kecil yang ada ditangannya. Satu tangannya lagi memegang lipstik yang kemudian ia oleskan pada bibirnya. Sementara di depan meja rias dengan cermin persegi panjang, berdiri sosok cantik lain. Gadis cantik itu tengah mengamati tampilannya yang dirasa sedikit terbuka.
"Aku sudah siap," kata Rika usai memasukkan kaca kecil dan lipstiknya ke dalam tas.
"Aku tidak suka baju ini," celetuk Maria. Dia berdiri menyamping hingga lekuk tubuhnya begitu nyata. Ditambah lagi, belahan di bagian paha terasa begitu tinggi.
"Apa yang salah?" Rika berdiri. "Menurutku sudah cocok." Kini Rika mulai memantau tampilan Maria sambil mengusap dagu dan mangut-mangut.
Maria kembali menoleh ke arah cermin. Ia berdiri tegak lagi, dan kini tersadar akan bagian dada yang ternyata juga terbuka. Belahan di tengah itu bahkan rasanya akan mencuri perhatian.
Maria terbiasa dengan pakaian yang tertutup. Kalau pun terbuka, itu hanya sampai di atas lutut saja. Ia bahkan hampir tidak pernah memakai pakaian yang bagian pundaknya terlihat.
"Aku harus ganti."
"Eits!" Rika langsung menghadang Maria. "Kamu akan membuat kita terlambat kalau ganti baju," katanya.
Maria berdecak. "Tapi ini terlalu terbuka, Rika!"
Rika menghela napas lalu tersenyum sambil menepuk kedua pundak Maria. "Dengar, tidak ada istilah terbuka dari bajumu. Lihatlah aku! Kita memakai baju dengan model yang sama."
Rika sudah mundur lalu memamerkan tampilannya yang begitu sempurna pada Maria. Hidup di kota metropolitan, sebenarnya lumrah jika berpakaian sedikit terbuka, apa lagi bagi para anak remaja yang hendak datang ke sebuah acara. Dan tentunya jika dipandang-pandang, gaun yang Maria kenakan tidaklah akan terlalu membuat pusat perhatian. Terkecuali jika karena memang mereka menatapnya karena Maria sendiri jarang memakai pakaian terbuka.
Gaun dengan model ketat hingga menempel erat di badan, itu wajar bagi sebagian orang. Dan lagi, gaun itu juga panjang sampai mata kaki. Hanya saja memang belahan di sebelah kiri yang tinggi sampai ke paha.
"Ayolah!" kata Rika. "Tidak akan terjadi apa-apa memakai gaun itu. Di sana juga akan banyak yang lebih terbuka malahan." Rika coba meyakinkan.
Maria yang terdiam dan ragu, akhirnya luluh juga. Dia kemudian mendesah pasrah.
Satu jam kemudian, mereka berdua sampai di tempat tujuan. Sebuah rumah mewah yang menjadi tempat acara reuni. Di hadapan terlihat beberapa mobil mewah sudah terparkir memenuhi halaman rumah. Huh! Sepertinya tamu yang hadir para konglomerat semua.
"Ayo!" Rika menarik lengan Maria yang melamun sejak turun dari mobil taksi.
"I-iya, ayo," sahut Maria gugup.
Mereka berjalan beriringan. Jika Rika berjalan dengan santai dan anggun, tidak dengan Maria. Wanita itu terlihat kaku dan gugup. Kalau bukan karena paksaan dari Rika, Maria juga enggan mengikuti acara seperti ini. Maria juga tidak terlalu akrab dengan mereka-mereka yang ada di dalam sana.
Sampai di dalam, mereka berjalan menuju ruang belakang. Terlihat orang-orang sudah memenuhi area taman yang ada kolam renangnya itu. Ada yang berdiri saling sapa, ada juga yang duduk pada kursi yang sudah disediakan. Dan ada juga yang tengah berjalan sambil minum di tepian kolam. Mungkin ada sekitar lima puluh orang di ruangan terbuka ini.
"Wow, wow, wow! Lihatlah siapa yang datang!" Sang Tuan rumah datang menyambut mereka berdua. Reaksi itu, tentunya mengundang para tamu yang lain terfokus pada mereka berdua.
Rika bisa bersikap biasa saja dan tersenyum mengangguk pada mereka-mereka, tapi Maria malah tampak panik dan gugup. Tatapan mereka seperti sedang mengintimidasi saat ini. Saking gugupnya, Maria sampai menggenggam tangan Rika begitu kuat.
"Inikah Maria?" Pria bernama Galih itu begitu terpesona dengan tampilan Maria. "Aku pangling melihat tampilanmu malam in," katanya.
Maria hanya tersenyum kaku. Tidak lama kemudian, muncul satu pria lain dan merangkul pundak Galih. Dia adalah Tian, Subastian Wijaya. Seorang pria urakan, putra dari orang yang masuk jajaran orang terkaya di negara ini.
"Halo, Maria," sapa Tian dengan senyum miring. "Kupikir wanita seperti kamu tidak akan datang ke acara seperti ini."
Kalimat itu ternyata mengundang gelak tawa dari teman-teman yang lain. Mereka seolah sedang mencibir Maria yang polos dan pendiam karena bisa hadir dengan tampilan yang tidak biasa.
"Minggir kamu, brengsek!" Galih menyikut bagian perut kiri Tian. "Jangan mengganggunya."
Tian terkekeh lalu matanya mulai bergerak menatap Maria mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala. Sungguh tatapan itu membuat Maria merasa risi.
"Ayo, aku antar kalian duduk di sebelah sana." Galih mengantar mereka duduk di kursi kosong yang paling dekat dengan panggung setinggi setengah meter itu. "Nikmati acaranya," katanya sebelum pergi.
Maria dan Rika sudah duduk. Rasa haus dan canggung, gugup juga, membuat tenggorokannya terasa kering. Dan seketika Maria menyambar minuman yang tersedia di atas meja. Ia meneguknya sampai habis.
"Halo gays!" Satu wanita datang dan ikut bergabung di meja mereka berdua.
"Hai, Sonya," balas Rika dan Maria bersamaan.
"Kupikir kalian tidak datang,"
"Tentu saja kami datang. Bertemu dengan kawan SMA momen yang langka menurutku." Rani tertawa, pun dengan Sonya.
"Kamu benar. Terkadang mereka sudah sibuk dengan kehidupan masing-masing. Jadi, bertemu seperti saat ini jarang terjadi.
Satu jam setengah sudah berlalu, acara pun di mulai. Galih sudah naik ke atas panggung bersama bandnya di masa SMA dulu. Mereka memberi sambutan dan mulai mengisi acara reuni ini. Tepuk tangan, dan riuh sorak-sorak mulai terdengar. Tawa dari mereka yang menggelegar, membuat Maria merasa gerah.
"Aku permisi sebentar," kata Maria tiba-tiba.
"Mau ke mana?" tanya Rika.
"Ke toilet sebentar," jawab Maria sambil melenggak.
Maria berjalan masuk ke dalam rumah mewah milik Gilang. Maria tidak tahu kalau di area taman ada toiletnya, jadi dia malah masuk dan mencari toilet yang ada di dalam rumah.
"Di mana toiletnya?" gumam Maria.
Maria berjalan masuk ke dapur. Dia celingukan di sana sambil garuk-garuk tengkuk.
"Nah, pasti itu." Maria tersenyum sambil menunjuk sebuah pintu berwarna cokelat di samping lemari besar berwarna putih.
Saat Maria hendak meraih gagang pintu, tiba-tiba ada seseorang yang membuka pintu tersebut dari dalam. Mulanya Maria tertegun, menatap pria itu mulai dari bawah dan berhenti di bagian tengah pada dua tangan yang sedang menaikkan resleting. Selanjutnya, Maria menaikkan tatapannya hingga akhirnya tahu siapa pria itu.
"Astaga Tian!" Spontan Maria berbalik badan.
Di belakangnya, Tian diam-diam menyeringai menyusuri lekuk tubuh Maria. Pinggang itu tampak ramping dan semakin terlihat sempurna dengan dua bulatan kencang di bawah panggul. Saat itu juga Tian menelan ludah.
"Halo, cantik," bisik Tian tepat di dekat telinga Maria.
Maria langsung terlonjak kaget dan menghindar. Maria berjalan menunduk--menjauh--tapi sayangnya Tian berhasil meraihnya.
Tian meraih tubuh Maria, memepet Maria pada dinding lalu dengan cepat kakinya menendang pintu toilet hingga tertutup. Tian kemudian mulai menyusuri leher jenjang Maria, meski Maria sendiri terus berontak. Gaun merah itu ia tarik hingga sobek. Entah apa yang terjadi pada Tian, dia seperti kerasukan yang mengharuskan menyelesaikan apa yang baru saja ia mulai saat ini.
Maria sudah berteriak, tapi dengan cepat Tian bungkam mulut itu dengan ciuman buas.  Tian beralih memutar tubuh Maria dan memulainya dari belakang. Hentakan itu, membuat Maria menjerit hingga matanya membelalak mengeluarkan air mata.
Apa pun yang terjadi, maka terjadilah.
***

Gara-Gara Reuni (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang