3. Dia Cantik... Mungkin Aku suka

732 53 0
                                    

3. Dia Cantik, Mungkin Aku Suka.
Wajah Maria masih cemberut. Ia menetapkan hari ini sebagai hari sial nasional. Berlebihan? Tentu saja tidak. Dia baru dua belan bekerja di perusahaan Lintang Jaya, dan tentunya sangat merasa nyaman. Namun, gara-gara berganti seorang pimpinan, semua jadi kacau. Maria yang biasanya bisa tahan dengan ocehan Bela, tadi sampai lepas kendali.
"Aish, sialan!" umpat Maria sambil melempar tas kerjanya. Semoga saja kalimat yang terlontar itu tidak terdengar sampai ke lantai atas di mana ada satu pria yang ingin sekali Maria bunuh.
"Mama, Are you okey?" suara lirih itu membuat Maria membulatkan mata.
Sebelum berbalik badan, Maria menelan ludah lalu menyelipkan rambut ke belakang telinga. Berikutnya, Maria tersenyum ramah menghampiri sang putra.
"Hei, Sayang. Kamu di sini? Mama pikir kamu sedang main dengan suster Lela di belakang."
Agam merangkul meminta digendong sang mama. Sambil tarik napas, Maria lantas menggendong putranya itu menuju ranjang.
"Kamu sudah makan?" tanya Maria sambil menyentil pelan ujung hidung Agam.
Agam menggeleng. "Tadi suster sudah mengajakku makan, tapi aku mau tunggu mama sama papa."
Maria tersenyum getir. "Mama mandi dulu ya, kamu sama suster Lela dulu."
Maria memanggil Lela dengan lantang. Wanita berumur lima puluh tahun itu berlari tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar Maria.
"Ada apa, Nyonya?" tanya Sus Lela.
"Sus ajak Agam makan malam dulu ya, saya mandi dulu."
"Oh, baik, Nyonya."
Lela langsung menghampiri Agam dan menggendongnya membawa keluar kamar tersebut.
Kalau sedang cekcok, Maria selalu memilih masuk ke kamar Agam dari pada ke kamarnya sendiri. Dia malas melihat wajah Tian dan dari pada emosi, lebih baik menghindar dulu. Bahkan terkadang Maria akan memilih bermalam di sini.
"Sus, di mana Maria?" tanya Tian sesampainya di ruang makan.
"Masih di kamar, Tuan," sahut Sus Lela.
Tian berdecak lalu melenggak pergi. Jelas sekali kalau dia sedang marah.
"Sus." Agam menarik-narik lengan Sus Lela.
Sus Lela menunduk. "Ada apa, Sayang?"
"Apa papa sama mama sedang bertengkar?"
Lela meringis lalu menggaruk tengkuk. Ia kemudian coba mengalihkan pembicaraan secara pelan-pelan.
"Mungkin mama papa sedang kelelahan. Jangan terlalu dipikirkan, mending Agam makan dulu."
Rasa penasaran anak kecil memang begitu tinggi. Dan juga, terkadang mereka bisa mengamati tingkah orang terdekatnya. Jadi, kalau ada perubahan sedikit bisa langsung tahu kalau mungkin ada yang tidak beres.
Sementara di dalam kamar, Tian sedang duduk di tepi ranjang menunggu Maria yang saat ini sedang berada di kamar mandi. Dan sekitar lima menit berlalu, Maria muncul. Dia ke luar hanya dengan memakai handuk saja dan rambut dicepol sembarang ke atas.
Bohong kalau Tian tidak menelan ludah. Sering kali diam-diam Tian juga memperhatikan Maria. Meski ingin mengelak, tapi tetap saja tubuh itu memang indah. Namun, percaya atau tidak sampai detik ini Tian belum melakukannya dengan Maria terkecuali kecelakaan waktu itu.
"Astaga!" pekik Maria saat itu juga. Dia baru tersadar ada Tian di kamar ini setelah mengangkat wajah yang semula menunduk memandangi kuku-kuku jarinya yang memutih. "Sedang apa kamu di sini?"
Tian mendecit kemudian berdiri. Dia menghampiri Maria dan saat itu juga Maria terkesiap untuk mundur.
"Mau apa kamu?" tanya Maria penuh waspada.
Tian menatap Maria penuh selidik. "Seperti itukah kelakuan kamu saat di kantor?"
"Apa maksud kamu?" Marian memegang kuat ujung tepian handuk di bagian dada.
"Kelakuan kamu sungguh memalukan!" seloroh Tian kemudian.
Maria langsung membulatkan mata dan ternganga sesaat. Dia belum mengerti maksud kalimat Tian yang terdengar keterlaluan itu.
"Apa ini tentang tadi?" tanya Maria.
"Menurut kamu?"
"Oh, shit!" umpat Maria. "Itu tidak akan terjadi kalau kamu tidak datang di sana!" Maria melenggak dan terlihat lehernya seperti meliuk ke sana ke mari. "Tebar pesona pada para karyawan. Cih!"
"Apa kamu cemburu?" Tian tertawa.
Sekali lagi Maria ternganga. Ia kemudian berdehem dan memelototi Tian sambil mengacungkan jari telunjuk. "Aku tidak akan pernah cemburu! Memang kamu siapa?"
"Umh!"
Tiba-tiba Tian mencengkeram kedua pipi Maria kuat-kuat. "Jaga bicara kamu! Tidak ada yang boleh bicara dengan nada tinggi denganku!"
Tian melepas cengkeraman itu hingga membuat Maria terlempar ke samping. Cukup sakit Maria rasakan saat ini. Dia coba menggerak-gerakkan rahangnya sebelum kembali berdiri tegak.
Maria menarik napas dalam-dalam lalu coba untuk mulai bicara. "Aku tidak akan bicara dengan nada tinggi asal lawanku juga begitu. Kamu sendiri yang memulai, kenapa aku yang salah?"
"Kita sudah ada perjanjian untuk tidak mengusik kehidupan masing-masing. Jadi tolong, bersikaplah semestinya." Maria membuang muka lalu berjalan menuju meja rias.
"Jangan sampai ada yang tahu kalau kamu adalah istriku," kata Tian tiba-tiba.
Maria kembali menoleh. "Tentu saja. Aku juga tidak mau kalau orang-orang tahu tentang kita. Cukup pura-pura acuh dan jangan saling mengusik."
Tian tidak menyahuti kalimat itu melainkan langsung berbalik badan dan pergi.
"Aaargh!" Saat itu juga Maria meraung hingga tubuhnya mencondong. Ia ingin sekali berteriak lebih kencang lagi, tapi itu tidak mungkin.
Maria kemudian menendang kursi lalu mundur terduduk di tepi ranjang. Ia lantas mulai memejamkan mata dan mendongakkan kepala. Tidak lama setelah itu, Maria menghela napas dan mengusap ujung matanya yang hampir mengeluarkan air mata.
Andai kesialan itu tidak terjadi, andai saja tidak datang ke acara itu, tidak akan seperti ini kehidupannya saat ini. Masa mudanya dirampas dan harus menjalani pernikahan di masa muda. Dadanya terasa sakit jika mengingat kekacauan waktu itu.
Dulu bisa dikatakan Maria adalah gadis pendiam dan pemalu, tapi semua itu berubah tatkala seseorang pris brengsek bernama Tian merusaknya. Maria kini tidak selembut dulu. Maksudnya, dia jadi lebih berani dan terkadang membentak siapa pun yang mengusik dirinya. Tidak ada kata mengalah sekarang.
Ya, terkecuali untuk Tian dan Agam.
"Mama di mana, Pa?" tanya Agam yang baru selesai makan.
Tian masih mengunyah daging di dalam mulutnya. "Selesaikan makanmu saja, mungkin mama langsung tidur karena lelah. Kamu bisa menyusulnya setelah ini."
"Oke, Pa."
Selesai makan malam, Tian kembali ke kamarnya. Dia tidak langsung tidur karena memang sedang merasa gelisah. Mungkin Tian juga lelah menjalani pernikahan yang hambar tanpa bumbu seperti ini.
"Terkadang aku begitu terpesona dengannya," gumam Tian. "Tapi aku hanya masih ragu untuk mengakuinya. Dan lagi ... saat ini aku masih ada Mita. Aku tidak mungkin meninggalkannya."
Tian menghela napas dan terduduk di kursi kayu. Ia pijat keningnya hingga bayangan malam itu kembali muncul. Sampai detik ini belum ada yang tahu pasti mengenai kejadian malam itu terkecuali enam orang terakhir. Bagas, Galih, Sonya, Rika, Tian dan Maria. Tian sudah bersumpah siapa pun yang membocorkan kejadian itu, dia akan menghancurkan orang tersebut.
Bukan sebatas sumpah biasa, karena Tian tidak pernah main-main dengan perkataannya.
Perlahan, Tian membaringkan diri di atas ranjang. Malam ini ia tidur sendiri karena Maria memilih tidur bersama Agam. Sepi? Tentu saja. Meski saling memunggungi, rasanya tetap ada yang kurang saat Maria tidak ada di sini.
"Dia cantik," gumam Tian. "Tapi tidak untuk aku cintai."
***

Gara-Gara Reuni (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang