Tian tidak menyangka kalau kekasihnya ternyata main hati. Dan yang tidak habis pikir pria yang menjadi selingkuhan kekasihnya itu adalah biang kerok di malam reuni.
Aaaargh!
Tian menggeram lalu menggusar kepalanya sendiri hingga rambutnya acak-acak kan tidak karuan. Dia lantas melempar barang apa pun yang ada di hadapannya saat ini. Maria yang baru saja masuk tentu langsung tercengang melihat barang-barang sudah berserakan di atas lantai. Apa pun itu, semua sudah terlempar ke sembarang tempat.
"Ada apa ini?" tanya Maria sambil perlahan menutup pintu.
Tian sudah terduduk di bibir ranjang sambil mencengkeram seprei. Terlihat sekali napasnya naik turun membuat Maria sedikit takut.
"Tian," lirih Maria seraya sedikit membungkukkan badan mencari wajah Tian. "Kamu baik-baik saja?"
"Peduli apa kamu!" hardik Tian tiba-tiba.
Saat itu juga Maria terjungkat dan menekan dadanya yang berdegup cepat karena kaget.
"Aku hanya bertanya, kenapa kamu membentakku?" sungut Maria. "Sebaiknya aku keluar saja."
"Tunggu!" panggil Tian.
Maria yang sudah hampir membuka pintu, tertunduk, kemudian berbalik badan. Maria melangkah mendekat usai menghela napas. Di sana, Tian masih duduk menundukkan kepala.
Kini Maria duduk di samping Tian. Kedua kakinya menyilang di bawah sana dan sedikit bergoyang-goyang. Saat Maria hendak menoleh, Tian sudah lebih dulu menjatuhkan kepala di atas pangkuan Maria.
"Eh!" jerit Maria lirih.
Tiada yang bicara, keduanya hanya diam dalam pikiran masing-masing. Maria yang gugup sampai bingung harus menempatkan kedua tangannya di mana. Wajah Tian yang datar dan seperti ada raut kecewa itu, Maria lirik. Ingin rasanya tangan ini mengusap wajah itu dan menyibakkan lembut rambut poninya yang mulai gondrong, tapi tak berani Maria lakukan.
"Apa kamu serius akan menceraikanku?" tanya Tian tiba-tiba.
Maria sontak menunduk dan mata itu kini bertemu. Maria kemudian mengangkat wajah lagi dan menatap lurus ke depan. "Kenapa tanya begitu?"
"Mama yang bilang padaku."
"Oh."
"Oh?" Tian mengerutkan dahi menatap ke atas pada dagu Maria. "Apa itu, Oh?"
Maria jadi salah tingkah, dia menggigit bibir dan masih menatap lurus. Di atas pangkuan Maria, Tian diam-diam mengamati bibir itu. Indah dan seksi, memang. Namun, selalu Tian abaikan. Kenapa?
Tian lalu menutup mata rapat-rapat supaya pikiran ngawurnya tidak semakin merajalela dan membuat pertahanannya buyar.
"Kupikir memang sebaiknya kita bercerai." Maria tiba-tiba bersuara.
Maria sempat menunduk singkat lalu kembali membuang muka.
"Bagaimana jika aku tidak mau kita bercerai?"
Maria kembali menunduk menyusuri wajah Tian. Pertanyaan itu membuat hari Maria bimbang. Keputusan bercerai sebenarnya belum jelas apakah itu memang tepat atau tidak. Maria hanya merasa akan percuma menjalani pernikahan tanpa rasa seperti ini.
"Kenapa diam?" tanya Tian.
Maria tersenyum tipis lalu menyingkirkan kepala Tian dengan perlahan. Maria kemudian berdiri. "Aku hanya merasa akan lebih baik kalau kita bercerai."
Tian ikut berdiri. "Hal itu tidak akan pernah terjadi." Suara Tian tiba-tiba meninggi. "Aku yang berhak atas semuanya di sini."
Maria berbalik masih dengan senyum tipis menghiasi wajahnya. "Aku bertahan hanya untuk Agam. Aku juga berhak bahagia."
Di saat Maria hendak pergi, dengan cepat Tian meraih tangannya. Tian lantas menarik kuat tangan itu hingga Maria jatuh menabrak dadanya. Keduanya saling pandang. Satu tangan Tian sudah berada di pinggang Maria.
Cukup lama saling pandang, hingga Maria tersadar dan coba mundur. Namun, tangan Tian semakin kuat meraih bagian pinggang Maria. Maria tidak tahu kenapa mendadak Tian bersikap seperti ini. Padahal biasanya bersentuhan pun hampir tidak pernah.
"Lepaskan aku!" pinta Maria sambil meliuk-liukkan badan.
Tian tidak berkata apa pun selain merangkul erat pinggang Maria. Dada mereka bahkan sempat saling menempel.
"Tian, aku mohon." Maria sudah merengut dan sempat berdecak.
"Tenanglah!" decak Tian kemudian. "Aku tidak akan berbuat buruk!"
Maria menelan ludah kemudian terdiam. Ia gigit bibir bawahnya membuat perasaan Tian semakin tidak karuan.
"Tidak bisakah kamu tidak menggigit bibir di hadapanku?" sergah Tian.
Maria mengerutkan dahi lalu melepaskan bibirnya. "Kalau begitu, lepaskan aku. Aku mulai kehabisan napas."
Tian tidak kunjung melepaskan tangannya. Tangan itu malah perlahan mulai menyusup ke dalam blus yang Maria kenakan. Saat Maria melotot, Tian malah ikut melotot membuat Maria menciut.
Ketika tangan Tian mulai merambat naik, Maria merasakan pengait bra sudah terlepas.
"Apa yang kamu lakukan?" Maria kembali coba menyingkir meski tetap tidak bisa.
Maria tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini. Dia hanya sudah membayangkan sebuah adegan yang pernah ia tonton dalam sebuah film barat. Akankah seperti itu?
Bayang-bayang tidak jelas itu, membuat Maria tidak sadar kalau ia sudah dibawa Tian ke atas ranjang. Apa pun yang Tian lakukan saat ini, tak bisa Maria tolak. Sekasar apa mulut Tian saat berucap, dia sungguh pandai merayu. Usapan lembut, kecupan itu, tidak bisa Maria elakkan.
Apa pun yang Tian lakukan saat ini, membuat Maria seolah dibawa terbang k angkasa. Seberapa acuh dan kasarnya sikap Tian, sungguh kali ini jauh berbeda. Ini seperti bukan Tian yang biasanya.
Sekitar setengah jam berlalu, Tian sudah tergeletak di samping Maria. Keringatnya jelas sekali membasahi seluruh tubuh kekar itu. Napasnya tampak naik turun, pun dengan Maria.
Tidak lama setelah itu, Tian duduk. Ia turun dari ranjang usai memakai kembali pakaiannya. Sementara Maria, masih tertegun heran karena Tian mendadak dingin lagi.
"Pakai selimut, biar tidak kedinginan," kata Tian seraya melebarkan selimut di atas tubuh Maria.
Ace menyala, Tian hanya takut nantinya Maria terlelap sebelum kembali memakai pakaian lebih dulu. Saat Tian melenggak ke luar meninggalkan kamar, Maria hanya diam saja sambil memandangi punggung lebar itu.
"Bagaimana rasanya bisa begitu nikmat?" desah Tian ketika sudah berada di luar kamar.
Tian melenggak menuju balkon usai mengambil satu rokok dari dalam bungkusnya yang ada di dalam laci. Tian memantik korek lalu menyulutkan pada rokoknya yang sudah ia apit dengan kedua bibirnya.
Sampai di balkon, Tian berdiri menghadap ke luar sana. Ia nikmati udara sore hari yang cukup panas tapi terasa angin sepoi-sepoi. Kepulan asan dari rokoknya, menambah suasana hati terasa lebih nyaman.
"Aku tidak percaya aku melakukan hal itu setelah lima tahun," kata Tian. "Aku tidak bisa menahannya tadi. Sial!"
Asap itu kembali mengepul ke udara. Tian menghela napas dan kembali mengingat kejadian di mana ia sampai berkeringat nikmat.
"Tubuhnya memang sangat bagus!"
"Aish, brengsek! Otakku jadi tidak beres seperti ini!" decak Tian. Ia tekan ujung rokok yang menyala itu pada fondasi balkon hingga benar-benar mati.
Tian kemudian berbalik badan dan meninggalkan balkon. Saat kembali ke kamar, wanita cantik di balik selimut sudah terlelap.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Gara-Gara Reuni (TAMAT)
RomanceMalam itu harusnya menjadi momen saling bertukar rindu. Namun, tidak untuk Maria. Dia terluka, dia kotor karena ulah seorang pria. Maria ternoda dan takdir memutuskan pria bernama Tian harus menjadi suaminya. Reuni, bukan suatu acara yang Maria baya...