5. Kenapa Tidak Bercerai?
Mimpi buruk itu datang lagi, membuat Maria terbangun. Ia terduduk dengan peluh sudah membasahi sekujur tubuh. Rasa sakit kala itu, kini mendadak menyerang lagi. Teriakan sakit dan ketakutan kala itu kembali menyerang pikirannya.
"Ya, Tuhan," desah Maria sambil meraup wajahnya yang basah.
Maria memutar pandangan mencari jam dinding. Saat ini masih pukul dua dini hari, harusnya masih tidur dengan nyenyak. Beruntung Agam tidak sampai terbangun karena umpatan Maria yang terganggu oleh mimpi.
Setelah mengelus kepala putranya, Maria kemudian turun. Dia berjalan tertatih menuju kamar mandi. Dia membasuh mukanya yang kacau. Lalu, sambil mengelap menggunakan handuk, Maria menatap dirinya dari pantulan cermin. Sungguh menyedihkan!
Maria lantas melempar handuk itu ke sembarang tempat. Dia kemudian ke luar dari kamar mandi. Sebelum pergi meninggalkan kamar, Maria sempat menoleh ke arah Agam. Bocah tampan itu masih tidur dengan nyenyak.
"Aku haus," desah Maria sambil mengusap lehernya.
Maria berjalan menuju dapur. Baru sampai di ambang pintu, Larisa melihat sosok Tian tengah berada di luar sana. Terlihat dari dinding kaca penghubung dengan area taman belakang.
"Sedang apa dia di sana malam-malam begini?" tanya Maria lirih.
Maria tidak mau terlalu peduli. Dia angkat bahu lantas melengos menuju meja ruang makan. Dia terlebih dulu mengambil gelas, lalu menuangkan air putih dari poci ke dalamnya.
"Sedang apa kamu di sini?"
Ukuk!
Suara Tian begitu mengejutkan sampai-sampai tersedak minumannya yang baru hendak masuk ke tenggorokan. Maria yang kesal, kini tarik napas lalu meletakkan gelasnya cukup kasar sampai ada air yang naik dan jatuh di atas meja.
"Apa-apaan kamu ini?" tanya Maria bernada kesal.
"Apa?" Tian mengangkat kedua alis dan pundak. "Aku hanya bertanya. Apa yang salah?"
"Sialan!" umpat Maria dalam hati.
Maria jatuh terduduk di atas kursi dan membuang muka. Ia kembali meminum air putihnya hingga habis. Maria sungguh enggan menghadapi Tian yang menjengkelkan.
"Kamu tidak tidur?" Tian ikut duduk setelah mengambil minuman kaleng di dalam kulkas.
Maria hanya mengangguk tanpa bersuara. Dia menggoyang-goyang gelas kosongnya sambil diam-diam melirik Tian yang sedang menikmati minuman kaleng.
"Apa kamu mencintai Mita?" tanya Maria.
Tian menoleh tajam. "Urusan apa kamu bertanya begitu?"
Maria angkat bahu. "Tidak, aku hanya ingin tahu saja. Kalau kamu mencintainya, kenapa tidak kamu nikahi saja?"
Tian membuang mata jengah lalu kembali meneguk minuman kalengnya. Ia sempat bersendawa lalu mengecap bibirnya sekilas.
"Memang kamu mau dimadu?"
Pertanyaan Tian membuat Maria menarik dagu sedikit ke dalam. Ia kemudian tertawa kecut. "Tidak dimadu pun, rasanya aku sudah seperti dimadu."
"Apa maksud kamu?" salak Tian.
Maria tersenyum miring. Dia lantas mendaratkan tangan menyiku di atas meja lalu menyangga kepala. "Aku istri kamu, tapi jelas sekali aku orang asing di sini. Haha, kita menikah tapi tidak seperti menikah."
Tian kembali meneguk minumannya dan kali ini sampai habis tak tersisa. Setelah itu, ia lempar kaleng kosong tersebut tepat pada lubang tempat sampah.
"Lalu?"
"Kenapa kamu tidak ceraikan aku saja?"
Tian langsung menoleh dengan mata membulat. Entah apa yang ada di otak Tian saat itu, tapi kata perceraian terasa mengagetkan.
"Kamu ingin bercerai?" tanya Tian sambil coba bertingkah biasa.
Maria angkat bahu lalu berdiri menuju wastafel sambil menenteng gelasnya. "Entahlah, aku hanya merasa sia-sia saja menjalani pernikahan seperti ini."
Maria berbalik lagi. Tidak duduk kembali, melainkan meninggalkan ruang makan tanpa menunggu Tian memberi jawaban lebih dulu.
Setelah Maria tidak terlihat, Tian menghela napas panjang. Dia menjatuhkan kepala di atas meja. Rasanya berat dan juga pening. Lima tahun ini sungguh kacau. Hidupnya seperti tidak berjalan semestinya.
***
Pagi harinya, Maria sudah sibuk di dapur bersama Sua Lela. Meski dia bertugas mengurus keperluan Agam, tapi juga sering membantu Maria saat memasak. Dia juga terkadang ikut bersih-bersih rumah.
Tok! Tok! Tok!
"Biar saya yang buka saja, Nyonya," kata Sus Lela sigap.
Maria mengangguk lalu kembali menata beberapa menu di atas meja makan. Tidak lama setelah itu, terdengar suara ramah menyapa Maria.
"Selamat pagi, Sayang."
Maria menoleh. "Mama?" Mata itu seketika membelalak.
Maria buru-buru mengelap tangannya lalu berlari menghampiri ibu mertuanya itu. Dia mencium punggung tangan ibu mertuanya lalu mengajaknya duduk sekalian ikut sarapan.
"Wah! Kayaknya enak, nih. Kamu yang masak?" tanya Puspita.
Maria tersenyum malu-malu. "Dibantu Sus Lela, Ma."
"Tian sama Agam mana?" tanya Puspita lagi.
"Agam masih belum bangun, Ma. Kalau Tian mungkin lagi mandi."
Susmita membulatkan bibir sekejam, kemudian bicara lagi. "Tian bersikap baik padamu, kan?"
Maria tersenyum getir. Reaksi itu tentu langsung dipahami oleh Susmita. Wanita empat puluh tiga tahun itu kemudian menghela napas penuh sesal.
"Mama minta maaf," desah Puspita.
"Eh, kenapa mama minta maaf? Mama tidak salah apa-apa padaku." Maria meringis kaku.
Puspita kembali mendesah. Dia letakkan kedua tangan yang saling genggam di atas meja. "Mama hanya tidak enak hati sama kamu. Kamu terlalu baik untuk Tian. Mama tidak tahu lagi harus bagaimana supaya Tian bisa mengerti dengan kesalahannya."
Maria tersenyum tipis. "Sudahlah, Ma, jangan terlalu dipikirkan. Aku baik-baik saja."
Puspita memutar posisi duduknya menghadap tepat ke arah Maria. Ia meraih tangan Maria lalu menggenggam dengan erat. "Mama tahu kamu tertekan dengan semua ini. Kaku yang dilukai, kamu juga yang menderita selama ini."
Maria tidak tahu harus berbicara apa saat ini. Hatinya benar-benar teriris. Puspita adalah ibu mertua idaman para setiap kaum wanita, tapi Tian bukanlah putra idaman yang layak dijadikan suami. Andai saja sifat Tian seperti ibunya, mungkin Maria akan dengan senang hati membuka hati untuknya.
"Mama di sini?" tanya Tian.
Dengan cepat Maria berkedip lalu pura-pura bersikap biasa saja. Dan untungnya tadi Maria masih bisa menahan air matanya yang hampir ke luar. Maria juga kini sudah berdiri dan beralih mengambilkan sarapan untuk Tian.
"Apa kamu baru bangun?" seloroh Puspita.
Tian duduk. "Tentu saja tidak."
"Lalu kenapa tidak membantu istrimu di sini?"
Tian terdiam. Dia sempat melirik Maria yang kini tengah meletakkan sepiring nasi tepat di hadapannya. Setelah itu, Maria melenggak menuju wastafel untuk mencuci beberapa perabot dapur yang kotor.
"Kenapa diam saja?" Puspita menendang kaki Tian yang berada di bawah meja.
"Apa sih, Ma!" dengus Tian kesal. "Jangan mengusikku!"
Pletak!
Puspita spontan menjitak kepala Tian saat itu juga. Karena cukup keras, Tian sampai menjerit dan menjatuhkan sendok di atas meja.
"Sakit, Ma!" hardik Tian.
"Itu hukuman untuk orang tidak waras seperti kamu!" cerca Puspita.
Wanita paruh baya itu kemudian berdiri. Ia menenteng tas lalu berjalan menuju kamar Agam. Dia datang rencananya karena mau mengajak Agam jalan-jalan di hari minggu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Gara-Gara Reuni (TAMAT)
RomanceMalam itu harusnya menjadi momen saling bertukar rindu. Namun, tidak untuk Maria. Dia terluka, dia kotor karena ulah seorang pria. Maria ternoda dan takdir memutuskan pria bernama Tian harus menjadi suaminya. Reuni, bukan suatu acara yang Maria baya...