"Hai, Sistah! Cuma mau mastiin, seminggu ini aku dapat jatah libur kan?" Aku segera memberondongnya dengan kata-kataku sebelum ia sempat mengatakan halo.
"Iya. Mau apa kamu?" tanya Ivo di seberang sana dengan curiga.
"Nggak papa. Aku nggak pulang ya. Diajak temenku liburan. Don't worry, aku pasti balik on time," ucapku seraya memberi kode kepada supirku untuk menepi. Asisten pribadi yang duduk di sebelahku menatapku kebingungan.
"Heh, jangan macem-macem kamu ya! Just don't messed up with another bad guys! I warned you!" Ancaman Ivo hanya seperti angin sepoi-sepoi bagiku. Segera kututup panggilan tersebut, tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
Aku meminta supir dan para asistenku pulang terlebih dulu. Mereka awalnya takut kena marah Ivo karena berani meninggalkanku sendirian. Membuatku semakin keki karena itu berarti mereka lebih takut pada Ivo ketimbang padaku.
"Aku yang bayar gaji kalian. Kalau kalian lebih nurut Ivo, kalian dipecat!" Aku menggertak, seraya melotot agar terlihat galak. Kukira aku sudah terlalu lama bersikap lembut. Saatnya menunjukkan taring.
Begitu kakiku melangkah keluar, mobil yang tadinya hendak membawaku pulang segera melesat ke jalan. Aku mengembuskan napas, sebelum memasukkan tangan ke dalam tas, mencari sesuatu yang kuharap masih ada.
Ketemu. Sebuah kertas tipis, bertuliskan deretan angka, yang ragu-ragu kusimpan saat bertemu Jasper. Ini nomer teleponnya. Dia memberiku ini seraya mengharapkan aku berubah pikiran. Dan ya, aku berubah pikiran.
Rupanya saat berkomunikasi via Tinder, Ivo tak mau bertukar nomer, dengan alasan menjaga privasi. Entah alasan logis macam apa itu. Mereka hanya bertukar percakapan melalui aplikasi tersebut. Karena itulah, Jasper kemarin mendesakku, agar mau menyimpan nomernya.
Tanpa ragu aku segera memencet nomer tersebut, lalu menunggu. Jantungku berlompatan seiring dengan nada sambung yang berbunyi. Apakah nomer ini benar? Apakah Jasper menipuku? Atau dia terlanjur kecewa sehingga memutuskan untuk kembali ke tanah airnya?
"Hello?" Suara itu membuatku terkesiap. Astaga, Roxanne. Tahan harga dirimu! Aku merasa seperti kembali ke masa SMP, yang berdebar saat menelepon gebetan. Sigh.
"Jasper Lee?" tanyaku dengan gugup. Berulangkali kugigit bibir hingga nyaris lecet. Panas terik mentari menyengatku hingga ubun-ubun, membuatku menyesal karena meminta turun begitu saja, tanpa tahu ini di daerah mana. Segera kakiku melangkah mencari tempat yang lebih teduh.
"Wait a minute. It can't be ... Roxy?" Suara lelaki itu terdengar antusias. Wow.
Setelah berbincang selama kurang lebih dua menit, kututup telepon tersebut. Kemudian ibu jariku sigap menekan aplikasi ojek online, memesan kendaraan. Tak butuh waktu lama mobil pesananku datang, membawaku ke suatu tempat. Ada rasa berdebar yang sudah lama tak kualami. Adrenalin yang terpacu kencang karena menjalani sebuah tantangan.
Kukenakan kacamata Fendi kesayanganku, kemudian masuk ke dalam mobil. Sang pengendara mengenaliku dan tampak bersemangat mengantarku ke tujuan. Saat dalam perjalanan menyusuri kemacetan kota Jakarta, sebuah notifikasi pesan masuk menyentakkanku dari lamunan. Dari Ivo. Segera saja, ibu jariku mengusap layar, membuka pesan tersebut.
[I really warn you! Don't mess up with another bad boy!]
Sudut bibir kiriku terangkat, sama sekali tak merasa gentar dengan ancaman kakakku. Dia? Ngancem aku? Ha ha ha, bercanda. Bisa apa dia tanpa aku?
"Don't worry, Sista. I don't mess up with bad boy. I mess up with your boy."
Mobil terus membelah jalanan Jakarta, semakin jauh meninggalkan rumah. Ah, benar-benar menyenangkan. Padahal aku tahu aku melakukan perbuatan jahat. Tapi rasanya sangat menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr Right & the Wrong Girl [Tamat]
RomanceIvo meminta Roxy untuk menemui Jasper Kim, seorang lelaki berkebangsaan Singapura yang menjadi teman chat Ivo. Mereka berkorespondensi via Tinder, selama setahun. Kemudian Jasper ingin bertemu dengan Ivo, dan hendak datang ke Indonesia. Sayangnya se...