Detik demi detik seakan berlalu begitu lambat. Johan mengangkat kedua tangannya dan hendak merengkuh tubuhku yang terjatuh. Namun, segera saja kulayangkan kakiku ke arah selangkangannya dan kutendang kuat-kuat. Setelah itu aku bangkit berlari, menutup pintu dan menguncinya sebelum Johan berhasil bangkit. Tanganku yang gemetar membuatku sulit untuk memasukkan kunci ke lubang pintu. Napasku terengah-engah sementara bulir-bulir peluh menetes dari dahi. Setelah aku berhasil mengunci pintu rumah, aku berlari ke arah mobil, lalu mengendarainya menjauh. Pikiranku kalut, aku sampai tak tahu harus ke mana. Yang jelas, kakiku menginjak pedal gas kuat-kuat, tanpa menoleh lagi ke belakang.
Ketika aku tersadar, aku berada di keramaian. Entah bagaimana reaksi orang-orang yang melihatku di sini, dengan penampilan yang ... entahlah. Aku bahkan tak sempat dan tak berani bercermin untuk melihat bagaimana wajahku. Atau apakah ada bagian tubuhku yang terluka. Aku masih merasakan tanganku gemetar. Lalu kurasakan ponselku berdering, menandakan adanya panggilan masuk. Itulah yang menyentakkanku dari kekosongan yang menghinggapi benakku sejak tadi.
Butuh beberapa detik bagiku untuk meraih benda pipih itu dari dalam tas, dan mengangkatnya.
"Roxy?" Suara itu seperti segelas air yang mengguyur tenggorokan yang kering kehausan.
Tanpa bisa kucegah, aku menangis.
🖤🖤🖤
Beberapa jam kemudian, setelah berhasil membuat tubuhku berjalan dan mematuhi instruksi dari seseorang yang meneleponku, aku tiba di sini. Sekali lagi, sebuah keramaian, tetapi setidaknya di sini aku aman. Tak banyak yang mengenaliku di sini. Aku duduk seraya memeluk lutut, dengan tas yang aman terjepit di antara dada dan pahaku. Tanganku masih gemetar, bibirku berkedut.
Lalu ketika kudengar sebuah suara memanggil namaku, aku tersentak. Mataku terbuka, mencarinya di antara sosok-sosok manusia yang lalu lalang. Ketika aku berhasil menangkapnya dalam jarak pandangku, aku bangkit berdiri dan berlari menghampirinya. Aku tak peduli lagi dengan norma, aturan, atau apa pun yang akan merantaiku saat ini. Aku bagaikan pengembara yang sekarat karena dehidrasi dan menemukan sebuah oase. Aku mengikuti kata hatiku, meski langkahku bagaikan kesetanan untuk bisa mencapainya. Beberapa kali kurasakan tubuhku menabrak sesuatu—atau seseorang—tetapi tak kuhiraukan.
Aku hanya ingin menggapainya.
Aku hanya ingin bersamanya.
Yang bisa membuatku merasa aman sekarang, hanyalah berada dalam pelukannya.
Aku tak bisa lagi menyangkal, bahwa aku tak bisa lagi hidup tanpanya.
🖤🖤🖤
"Iya, bereskan saja pelakunya. Aku tak peduli bagaimanapun caranya, Ed!" Suara lelaki yang terdengar lantang dan tegas, membuatku terbangun. Mataku mengerjap beberapa kali, sehingga lensanya bisa segera beradaptasi dengan cahaya yang masuk.
"Jasper?" panggilku dengan suara lirih. Saat aku menengok ke bawah, baru kusadari aku mencengkeram selimut terlalu kencang.
Lelaki itu segera menghampiriku, lengannya yang kokoh melingkariku, membuatku merasa tenang. Sejenak aku merasa berada di nirwana, setelah mengalami penyiksaan seperti di neraka.
"Jangan khawatir, aku akan membereskan semuanya. Istirahatlah dan jangan pikirkan apa-apa," titahnya dengan nada lembut, sementara tangannya menepuk-nepuk bahuku dengan perlahan.
Saat itulah, aku merasakan pikiranku sejernih kristal. Dan menyadari bahwa apa yang kulakukan sekarang akan memancing banyak keributan yang justru akan melemahkan posisiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr Right & the Wrong Girl [Tamat]
RomanceIvo meminta Roxy untuk menemui Jasper Kim, seorang lelaki berkebangsaan Singapura yang menjadi teman chat Ivo. Mereka berkorespondensi via Tinder, selama setahun. Kemudian Jasper ingin bertemu dengan Ivo, dan hendak datang ke Indonesia. Sayangnya se...