Jasper tampak menawan dengan setelan formalnya, ketika aku membuka pintu kamar. Aku mengerutkan dahi, heran karena dia harus berpakaian seperti itu pagi-pagi.
"Oh, kamu mau ketemu klien?" tanyaku berbasa-basi. Penampilannya sekarang jika dibandingkan denganku, rasanya seperti bumi dan langit. Aku hanya mengenakan kimono handuk, dengan rambut yang disisir sekenanya. Wajahku juga hanya dibilas air, aku tak sempat melakukan perawatan rutinku.
"Boleh aku masuk?" tanya Jasper, tampak lebih canggung dan gugup.
Aku mengangkat alis. Well, secara teknis ini kamarnya dan rumahnya, jadi dia bisa saja menerobos masuk. Lalu aku tersadar, ini namanya etika menghargai tamu. Aku jadi merasa sangat bodoh.
"Yeah, tentu. Tetapi, maaf aku... tak sempat mandi dan sebagainya." Aku mundur selangkah, agar lelaki itu leluasa masuk ke dalam.
Saat ia masuk, tangan kanannya tersembunyi di belakang punggung. Aku tak mengerti kenapa, tetapi saat ia sudah berada di dalam kamar, lelaki itu menyodorkan buket bunga yang cukup besar.
Aku terperanjat, karena yah, memangnya ada momen apa dia harus memberiku bunga. Aku tak berulangtahun. Aku masih merasa bingung, sampai akhirnya lelaki itu berlutut di hadapanku.
"Roxanne Marie Ferdita, aku tahu ini sangat mendadak. Sebenarnya aku berencana melakukan ini saat aku ke Indonesia. Tetapi karena kejadian kemarin, aku melihatmu begitu rapuh dan terluka, aku tak bisa menahan diriku lagi. Maukah kamu menikah denganku?" Jasper menatapku tepat di mata.
Mataku terbelalak, karena aku tak menyangka akan seperti ini akhirnya. Dia ... melamarku? Sungguhkah? Dia melamarku, atau dia melamar Bawang Merah yang dia ajak berkomunikasi selama ini? Kepalaku terasa berdenyut nyeri, merasa terdzalimi dengan kebohonganku sendiri.
"Dengar, Jasper. Aku, aku, sungguh tersanjung dengan ini. Tetapi ... "
Perkataanku terpotong oleh nada dering ponselku yang tergeletak di ranjang. Ah, sial. Aku yakin tadi sudah mematikannya, mengapa sekarang ia berbunyi nyaring?
Jasper bangkit dari lantai dan mengambil ponselku. Wajahnya awalnya tampak biasa saja tetapi ketika melihat sesuatu di layar ponselku, lelaki itu tampak gusar.
"Siapa ini? Mengapa dia memakai gelang yang kuhadiahkan untukmu?" Jasper memperlihatkan layar ponselku yang sedang menampilkan foto Ivo yang memamerkan gelang pemberian Jasper pada kamera. Aku memejamkan mata dan mengumpat dalam hati.
Perlahan, kubuka mata dan memandang ke arah lelaki itu. Wajahnya tampak gusar dan terluka, membuat hatiku ikut tersayat dan berdarah.
Sanggupkah aku mengarang kebohongan lagi? Bisakah aku merangkai alasan lain yang hanya akan memperbesar bom waktu yang telah kutanam sendiri?
Bibirku terkatup, sementara lidahku terasa kelu. Kali ini setelah peristiwa Johan menyerangku, aku tak ingin menyakiti siapapun lagi. Aku sudah tak bisa menanggung perihnya tersakiti karena melukai orang lain. Karena tak ada plester mana pun yang bisa mengobati hati.
"Maaf," lirihku, seraya menundukkan kepala. Panggilan dari Ivo berhenti.
"Roxy?"
Suara lelaki itu sungguh menyayat hati. Aku tak bisa menahan bendungan air mataku sekali lagi di hadapan lelaki ini.
"I'm so sorry," bisikku disertai isak tangis.
"I don't wanna your sorry, I want your explanation!" Jasper menjatuhkan buket bunganya, yang menyebabkan sesuatu yang mungil berbentuk lingkaran menggelinding ke arah kakiku. Setelah aku menunduk dan mengamatinya, ternyata itu adalah sebuah cincin berlian. "Bagaimana bisa sesuatu yang kuberikan padamu sebagai hadiah istimewa, kau berikan kepada orang lain?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr Right & the Wrong Girl [Tamat]
RomanceIvo meminta Roxy untuk menemui Jasper Kim, seorang lelaki berkebangsaan Singapura yang menjadi teman chat Ivo. Mereka berkorespondensi via Tinder, selama setahun. Kemudian Jasper ingin bertemu dengan Ivo, dan hendak datang ke Indonesia. Sayangnya se...