29. Jantung Aku, Ngga

1.1K 164 4
                                    

Hai

DUA PULUH SEMBILAN

Gangga masih melajukan mobilnya, membelah jalanan ibu kota yang masih lumayan ramai meski sudah lewat pukul sepuluh malam. Kedua matanya masih fokus pada jalan raya, namun kedua telinganya fokus pada cerita Gelora. Yang mengakibatkan pikirannya bercabang ke mana-mana.

Ya, Gelora akhirnya menceritakan kenapa ia bisa sampai di daerah pertokoan Cempaka Putih. Wanita 25 tahun itu berinisiatif mencari rumah satpam komplek, yang ternyata adalah orang tua dari kurir pengantar paket berisi kado untuk Ghaitsa dari Arga. Karena Gelora ingin segera sampai, ia memesan ojek online. Begitu sampai di sana, Gelora langsung saja menyatakan tujuannya datang.

Kurir paket itu pun menjelaskan jika memang benar ia yang mengirim paket, menitipkannya di satpam karena kurir itu tidak mengenal Ghaitsa meski ia tahu itu rumah Caitlin. Lalu mengatakan jika paket itu diambilnya dari salah satu toko kue. Dan yang mengirim adalah perempuan.

Sesuai dengan pengakuan Gede jika memang bukan dia yang mengirim. Karena ciri-ciri perempuan yang mengirim paket itu tidak seperti Istri Gede; Iluh sedang hamil.

"Emang paket apa sih? Harus banget lo tau siapa yang ngirim?" tanya Gangga.

"Aku tau siapa yang pengirimnya. Aku cuma pi--"

"Lo udah tau siapa yang ngirim, terus kenapa masih nanya kurirnya, Ra?" sela Gangga.

"Pengirimnya mas Arga, Ngga. Kalau kamu mendapatkan sesuatu dari Elora, apa kamu akan diam dan menerima saja barang itu?"

Pertanyaan Gelora membuat Gangga mengerem mobilnya secara mendadak. Membuat bunyi decitan yang berisik, serta kepala Gelora yang nyaris terantuk dashboard mobil.

"Ya ampun, maaf. Lo nggak apa?" tanya Gangga khawatir, meraih bahu Gelora dan memeriksa kening Gelora. "Alhamdulillah, lo nggak pa-pa." Gangga menghembuskan napas lega.

"Jantung aku, Ngga," ucap Gelora terlihat terengah.

"Kenapa? Sakit?" Gangga dengan reflek hendak memegang bagian itu namun tangan Gelora lebih dahulu menepis tangan Gangga dengan pukulan ringan. "Astaghfirullah, sorry lagi, Ra. Sumpah gue nggak ada maksud buat mesum kok. Demi Allah," ucapnya sungguh-sungguh, membuat Gelora tersenyum.

"Aku tahu kok."

"Jadi kenapa jantung lo?"

"Kayak kesetrum gitu, pas kamu ngerem dadakan kayak tadi."

Gangga terkekeh ringan. "Emang lo pernah kesetrum di jantung?"

"Pernah."

"Kapan?"

"Pas dulu aku masih SMP, pas awal-awal ngerasain jatuh cinta sama Mas Arga," jawab Gelora santai. Memang seperti itu yang dulu dia rasakan. Sengatan pada jantungnya karena cinta, seperti yang barusan Gelora rasakan. Tunggu-tunggu, ini bukan berarti aku jatuh cinta sama Gangga, kan? Nggak mungkin secepat itu.

Sementara Gelora yang menerka-nerka perasaannya saat ini, Gangga justru terkekeh mendengar jawaban Gelora. Pria itu lantas mendaratkan tangan kirinya pada puncak kepala Gelora, mengacak puncak rambut Gelora. Hanya untuk tiga detik, namun efeknya membuat Gelora semakin kacau balau akan perasaannya.

"Masih SMP udah kesetrum cinta aja lo, Ra. Astaghfirullah, labil banget," komen Gangga. Masih terkekeh karena penjelasan Gelora. Sungguh seakan tidak peduli jika Gelora rasanya ingin menguap saja bersama udara malam ibu kota karena perasaannya yang bergejolak.

Perlahan, sembari masih terbit senyum di wajah tampan Gangga, pria itu melajukan kembali mobilnya. Jalanan yang ia lalui sudah mulai lenggang.

"Terus gimana lo bisa ngelepos di depan toko kayak tadi?" tanya Gangga lagi.

One Last Chance - RepublishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang