Ibu Sakit

14 1 0
                                    

Burung-burung itu berterbangan seolah tengah saling mengejar satu sama lain. Diatas awan yang tengah beriringan. Kupu-kupu hinggap dibunga yang nampak mekar merekah. Hari begitu sangat cerah berbanding terbalik dengan hatiku yang tengah kelabu. Siapa yang tidak gundah gulana, jika tidak mendapat restu atas cinta yang mati-matian diperjuangkan. Ditambah lagi sudah hampir satu minggu aku didiamkan olah bapa dan ibu, semua ini benar-benar membuatku tersiksa. Membuat semangatku seperti meredup. Berkali-kali aku mengajak bicara tapi tak ditanggapi. Seperti tadi pagi, aku melihat kaki ibu yang nampak sedikit bengkak. Niat hati hanya ingin bertanya, karena aku merasa khawatir pada ibu. Tapi pertanyaanku berakhir mengambang diatas angin karena tak ditanggapi.

Berkali-kali juga ka Najma menasehatiku agar bersabar. Yang malah membuatku semakin dongkol, sampai kapan kiranya aku harus sabar? tidak nyaman jika harus terus diperlakukan seperti mahluk tak kasat mata. Bahkan aku merasa seperti hidup dihutan antah-barantah yang hanya ditemani tanaman liar. 

Huh, aku  memijit kepalaku merasa pening dengan keadaan. Ditambah aku juga bingung harus berbuat apa. Memutuskan mas Raihan seperti keinginan bapa? Rasanya tidak mungkin sekali. Karena aku tidak ingin perjuanganku selama ini sia-sia tapi aku tidah tahu seperti apa ujung dari hubungan ini? semuanya terasa abu-abu.

Dan semenjak kejadian itu aku lebih sering mengurung diri dikamar. Bukan untuk mencari solusi dari permasalahan ini melainkan, lebih tepatnya aku memilih menghindar. Sebab aku sangat takut jika bapa benar-benar menyuruhku memutuskan mas Raihan. 

Dilema ini pasti akan membunuhku dengan perlahan sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Aku menyadari, apa yang aku lakukan ini sebenarnya mempersulit hidupku sendiri. Jika saja aku patuh dengan apa yang diperintahkan bapa untuk memutuskan mas Raihan. Masalah selesai. Dan aku tidak harus berada diposisi dilema seperti saat ini. Tapi lagi-lagi cinta membuat semuanya rumit. Karena memang masalahku tidak seberat itu jika dipikir-pikir kalau aku tidak menjunjung tinggi cinta dan ego yang malah membuat masalah ini terlihat besar dan sulit.

Satu kesimpulan aku kalah dengan egoku sendiri.

***

Seperti biasa malam ini aku pergi ke cafe bersama Azka. Ia sudah menyelesaikan tugas kuliahnya jadi bisa kembali bernyanyi lagi. 

Malam ini aku sangat tidak bersemangat sekali, tapi berdiam diri dirumah bukanlah keputusan yang tepat. Setidaknya dicafe nanti aku bisa sedikit menghibur diri dan melupakan permasalahanku sejenak. Lagi-lagi melarikan diri menjadi pilihanku saat ini.

Setelah aku menyanyikan beberapa lagu, aku mengecek ponselku. Mencuri-curi sedikit kesempatan saat Azka yang tengah tampil tidak masalah bukan. Karena sedari tadi aku merasakan ponselku tidak berhenti berdering. Dan saat aku membukanya benar saja, ada puluhan telepon dari ka Najma. Aku meminta izin kapada mas Reza untuk menelepon, dibalas anggukan oleh mas Reza tanda menyetujui izinku. Aku bergegas turun dari podium dan mencari tempat yang tidak bising dan langsung menelepon ka Najma.

"Halo ka ada apa?"

'Arum! kamu bisa izin tidak?'

Aku menghela nafas, menerka-nerka apa yang tengah terjadi karena tidak biasanya ka Najma menyuruhku izin.

"Ada masalah?"

'Ibu masuk rumah sakit'

Deg.

Aku langsung berlari meju podium mengambil kunci motor dan sweaterku. Tak memperdulikan teriakan ka Najma karena sambungan telepon kami belum terputus.  Aku memasakan ponselku kedalam saku celana. Aku melihat Azka yang mulai tak fokus menyanyi dan mas Reza menatapku bingung. Aku tak berniat menjelaskan apa-apa karena pikiranku sedang kalut. Biar nanti aku mengirimi mereka pesan Whatsapp. Dan sekarang tujuanku adalah rumah sakit.

Aku mengendaraiku motorku dengan kencang. Menyalip beberapa mobil kotainer. Jika saja keadaanku tidak mendesak mungkin aku akan berpikir dua kali mengendarai motor ugal-ugalan seperti ini. Motorku hampir saja terjatuh saat tidak sengaja melewati jalanan yang berlubang. Benar-benar menantang maut. Gimana tidak? coba saja dipikir jika aku benar-benar terjatuh. Akan tidak lucu jadinya bukan? Disaat aku akan menjenguk ibu dirumah sakit malah aku juga dirawat nantinya.

Setelah sampai dirumah sakit aku bergegas keruang UGD. Tapi disana tidak ada orang. Aku buru-buru berlari menyusuri lorong-lorong rumah sakit tapi tidak ketemu juga. Aku terduduk dibangku tunggu hampir saja menangis saat tidak menemukan siapapun. Namun aku terkesiap, ketika menyadari aku membawa ponsel dan bisa menelepon ka Najma sekarang ada dimana. Rasa panik membuatku bodoh seketika.

Setelah aku mengetahui ruangan ibu dirawat aku langsung menanyai salah satu perawat yang lewat. Saat perawat itu menunjukan letak ruangannya aku langsung bergegas.

Rasa cemas, panik, khawatir, dan takut berbaur menjadi satu. Pikiranku melayang, tentang yang sebenarnya terjadi. Menerka kemungkinan-kemungkinan yang negatif. 

Aku melihat ka Najma duduk ditempat tunggu seorang diri. Aku berlari menghampirinya. Tangisku pecah begitu juga dengan ka Najma. Kami menangis berdua tersedu-sedu. Untung saja keadaan rumah sakit tengah sepi hanya ada beberapa perawat yang lewat.

"Ka ibu kenapa?" tanyaku sesaat setelah tangis kami mereda.

Ka Najma menunduk, mengusap air matanya yang masih menetes.

"Ibu didiaknosa penyakit gagal ginjal." Setelah mengucapkan itu air mata ka Najma semakin turun deras. Hatiku seketika terasa nyeri saat mendengar ucapan ka Najma.

"Harus dirawat beberapa hari dan melakukan berobat jalan."

Aku memejamkan mataku. Kenapa masalah seperti silih berganti menghinggapi keluargaku. Masalahku saja belum kelar tapi kenapa harus ditambah masalah baru. Seperti tidak ingin membiarkanku menghela nafas sejenak.

PIkiranku benar-benar kacau sekali.

Ruang rawat ibu terbuka menampilkan sosok bapa yang berjalan mendekati ka Najma.

"Najma tunggulah ibumu didalam, bapa mau keluar sebentar." Ka Najma mengangguk kemudian bapa berlalu meninggalkan kami tanpa melirik sedikit pun kearahku.

"Arum hanya satu orang yang boleh masuk, jadi kamu tunggu diluar gak papa kan?" Aku mengangguk, setelah ka Najma masuk kedalam, rasanya hatiku seperti diiris-iris saat bapa seperti menganggapku tidak ada. Setelah apa yang aku lakukan, masih saja aku berharap bahwa bapa akan memaafkanku dengan mudah. 

Padahal aku bisa saja menjadi anak penurut, tapi malah memilih menjadi anak pembangkang. Saat diperlakukan seperti ini aku malah merasakan sakit padahal inikan pilihan ku sendiri. Aku tertawa miris mengingat semua kelakuan burukku.

Ponselku berdering, dan saat aku melihatnya ternyata Azka yang meneleponku.

'Ara kamu dimana?'

"Aku dirumah sakit."

'Ada apa?'

"Ibuku dirawat dirumah sakit, maafkan aku karena tidak menyelesaikan penampilanku." Aku menghela nafas, menyesali karena meninggalkannya begitu saja.

'Sekarang bagaimana keadaan ibumu?' 

Aku mendengar nada khawatir disuara Azka.

"Doakan saja semoga ibuku baik-baik saja." ucapku dan mengakhiri panggilan kami.

Aku mengusap wajahku frustasi, perasaanku benar-benar berlarut menjadi satu. Bukan hanya keadaan ibu yang membuatku frustasi juga memikirkan biaya rumah sakit yang pastinya sangat besar ditambah lagi keluarga kami tidak memiliki kartu jaminan kesehatan. Dari wajah bapa yang terlihat acuh aku melihat kekalutan yang sama dengan yang aku rasakan. Setelah ini aku harus mencari cara agar bisa membantu biaya rumah sakit karena kesembuhan ibu lebih penting dari seonggok kertas yang disebut uang.


#####

26-03-2022

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 26, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bunga MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang