Sagara baru menuruni tangga dan sudah mendapati di meja makan sudah dipenuhi anggota keluarganya. Ada Sabrina yang sibuk menguncir rambut Sofia, adiknya yang berusia sembilan tahun. Ale yang sedang membaca tabletnya, dan Sayaka sedang memakan sarapannya.
"Sofia diem dulu. Bunda jadi susah nguncirnya!" tegur Sabrina yang sedari tadi berusaha menguncir rambut Sofia yang bergerak ke kanan dan ke kiri.
"Sofia diem dulu dong. Kasihan Bunda gak bisa nguncirnya," Ale yang daritadi diam saja mencoba ikut menegur anaknya. Ia mematikan tabletnya dan menggesernya sedikit menjauhinya.
"Kakak!" seru Sofia saat Sagara duduk di depannya. "Kakak kok nggak pake seragam sekolah?" tanyanya dengan kebingungan.
"Kakak sudah gak sekolah lagi. Sekarang Kakak sudah kuliah," sahut Ale memberitahu.
Setelah selesai memasang kuncir rambut Sofia, Sabrina mengambil duduk di sebelah Sofia.
"Kalo kuliah boleh pake baju bebas ya, Yah?" tanya Sofia pada Ayahnya.
"Iya."
"Aku mau kuliah aja. Biar bisa pake baju princess," ucap Sofia.
Ale dan Sabrina hanya tertawa mendengar itu.
Lalu Sabrina memandang Sagara dengan lekat. "Anak Bunda udah besar," gumamnya.
Sagara berdecak pelan. Tahu kalau sebentar lagi Bundanya akan mendramatisirnya. "Ya masa aku kecil terus, Bun," sahutnya.
"Bunda jadi kangen waktu kamu kecil."
"Kan ada Sayaka. Dia masih kecil," ucap Sagara.
Pandangan Sabrina beralih pada Sayaka yang sibuk dengan sarapannya. Ia membersihkan ujung bibir anak bungsunya yang terdapat sisa nasi goreng.
"Mau Ayah anter ke kampus?" tanya Ale pada Sagara.
"Ini hari pertama aku masuk kampus setelah orientasi. Aku mau berangkat sendiri aja," tolak Sagara.
Ale hanya menampilkan cengirannya. "Siapa tau mau kayak Sayaka yang dianter sampe depan kelas," godanya.
Wajah Sagara langsung mengkerut. "Ayah!"
"Yaudah ayo kamu sarapan. Habis ini Bunda harus anter Sofia sama Sayaka ke sekolah. Soalnya Ayah ada meeting pagi ini."
"Kamu beneran gak papa naik mobil sendirian ke kampus? Mau Ayah ikutin sampe depan kampus gak?" tanya Ayah dengan raut penuh keraguan
"Ayah!" seru Sagara. "Aku udah gede. Udah punya SIM sama KTP. Aku bisa nyetir dengan baik sampe kampus."
"Ayah, jepit aku cantik gak?" tanya Sofia tiba-tiba menunjuk jepit bergambar kupu-kupu di rambut bagian sampingnya.
"Jelek!" jawab Sayaka yang daritadi diam saja.
Sayaka adalah anak terakhir dan yang paling usil. Dan korban keusilannya selalu Sofia, Kakak perempuannya. Untuk Sofia, dia adalah anak yang paling centil. Apalagi dia anak perempuan satu-satunya dalam keluarga ini.
"Sayaka gak boleh gitu," tegur Sabrina dengan lembut. "Kalo makananya gak cepet dihabisin, Bunda tinggal nanti. Bunda sama Kakak Sofia aja yang berangkat ke sekolah."
"Kalo aku ditinggal, aku nggak sekolah aja," balas Sayaka.
Ale menyemburkan tawanya mendengar ucapan Sayaka sedangkan Sagara hanya tersenyum mendengar ucapan Adiknya.
Sabrina menghela napas lelah. "Anak siapa itu, Mas?" tanya Sabrina dengan lemas.
"Anak kita," jawab Ale tanpa beban.
Sagara hanya tersenyum mengamati obrolan keluarganya di pagi hari. Bahkan hampir tiap hari ia akan menemukan kejadian-kejadian unik lainnya di meja makan. Entah itu datang dari Sofia atau Sayaka. Sagara segera menghabiskan sarapannya sebelum ia harus berangkat ke kampus untuk hari pertamanya.
***
Mendengar pintu kamarnya diketuk, Sagara berseru menyuruh untuk masuk.
"Kakak sibuk?" Sofia menyembulkan kepalanya diantara pintu yang terbuka.
Sagara memutar kursinya menghadap pintu dan mendapati Sofia yang menyembulkan kepalanya saja. "Ada apa?"
Sofia melangkah memasuki kamar Sagara sebelumnya ia menutup pintu kamar terlebih dulu dan duduk di ujung kasur. Tepat di hadapan Sagara. Dia menyerahkan buku sekolahnya membuat Sagara mengerutkan keningnya. "Bantu aku kerja PR ya, Kak."
Sagara tersenyum dan menerima buku yang disodorkan Sofia. "Halaman berapa?" tanyanya.
"Tujuh," jawabnya.
Sagara segera membuka halaman yang dimaksud oleh Sofia. Ia mulai menjelaskan beberapa materi yang ada di buku kepada Sofia sebelum meminta Sofia mengerjakan tugasnya. Bisa dibilang, Sofia sangat manja kepadanya. Beda usia sembilan tahun, tak membuat ada kecanggungan diantara mereka. Bahkan mereka sangat dekat. Sagara dekat dengan kedua Adiknya. Baik Sofia maupun Sayaka.
Sagara yang terbiasa menjadi anak tunggal sampai usia delapan tahun, harus mulai terbiasa berbagi kasih sayang orang tuanya saat Sofia lahir. Bagi Sagara, Sofia bukan saingannya dalam mencari perhatian orang tuanya. Karena orang tuanya sangat adil dalam memperlakukan ketiga anaknya. Sofia yang centil, ceria dan selalu punya energi penuh membuat hari-hari Sagara di rumah lebih berwarna.
"Kamu gak bawa pensil ke sini?" tanya Sagara kebingungan.
Sofia hanya menampilkan cengirannya.
Sagara berdecak pelan. Ia memutar kursinya menghadap meja dan mengambil pensil yang ada di atas bukunya. Ia kembali memutar kursinya untuk menghadap Sofia dan menyerahkan pensilnya pada Sofia.
"Makasih Kak," ucap Sofia.
"Itu coba dikerjain dulu, kalo salah biar Kakak betulin."
Sofia mulai mengisi soal yang ada di bukunya dengan cermat sesuai dengan apa yang barusan dijelaskan oleh Sagara.
Sagara memperhatikan Adiknya tengah tengkurap di kasur Sagara sembari mengerjakan tugas sekolah.
Pintu kamar terbuka menampilkan Sabrina yang masuk ke kamar Sagara. "Pantes dicariin gak ada di kamar," gumamnya.
Sofia mengangkat kepalanya dari buku, dan menatap Sabrina. "Aku belajar sama Kakak," balasnya.
"Kalo belajar sambil duduk dong," tegur Sabrina.
"Susah buat nulisnya Bunda kalo belajar sambil duduk," elaknya. "Kalo mau duduk di kursi Kakak, kaki Sofia gak nyampe nanti." Tunjuknya pada kursi yang sedang diduduki Sagara.
Sabrina menghela napas pelan. "Kan bisa pake meja lipat. Ditaruh di atas kasur."
"Mejanya di kamar aku."
"Kenapa gak diambil?"
"Lupa."
Sagara menahan senyumnya melihat perdebatan antara dua perempuan berbeda generasi di hadapannya.
Sofia bangun dari posisi tengkurapnya. Ia duduk menyilangkan kedua kakinya dan memandang Sabrina. "Bunda, kalo besok beliin meja lipat baru buat taruh di kamar Kakak boleh?" tanyanya dengan mengedip-ngedipkan matanya.
"Kan sudah ada meja lipat di kamar kamu," jawab Sabrina.
"Beli lagi aja," sela Sofia. "Jadi kalo mau belajar di kamar Kakak, aku gak perlu bawa-bawa meja lagi."
"Ada aja alesannya," gerutu Sabrina. "Nanti tanya Ayah aja," lanjutnya memberikan jawaban yang paling aman.
"Kalo sama Ayah pasti dibolehin," gumam Sagara yang membuat Sabrina melotot. "Apalagi Sofia yang minta."
"Yaudah lanjutin belajarnya. Kalo Ayah sudah pulang, kita makan malem bareng," ucap Sabrina. "Nanti Bunda panggil," tambahnya.
"Oke Bunda," balas Sofia.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Love and Friendship
Ficção AdolescentePersahabatan antara satu lelaki dan dua perempuan. Sagara (18) yang akan memasuki bangku perkuliahan, bersahabat baik dengan Felisha (18) dan Sika (13). Dilematis antara mempertahankan pertemanan, atau merelekannya demi cinta yang belum pernah ia ra...