Awalnya saya mau bikin cerita yang ringan-ringan aja. Tapi malah jadi melenceng ke yang berat. Hahaha, labil banget! Yaudah deh, semoga kalian suka dengan cerita ini.. :)
--------------------------------------------------
Aku membencinya, benar-benar membenci pria itu yang tak lain adalah suamiku sendiri. Tapi, aku lebih membenci diriku yang tak berkutik di hadapannya. Bagai orang tolol yang tak tahu harus berbuat apa. Setelah ia menyuruhku istirahat, laki-laki itu segera pergi dari kamar, tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Ia hanya mengatakan bahwa hari ini aku harus beristirahat, para pelayan akan mengurusi segala keperluanku.
Aku memutuskan tidur untuk beberapa menit setelahnya, karena merasa tubuhku dalam kondisi yang sangat buruk. Bayangan malam itu terbayang jelas dipikiranku, membuat wajahku seketika memanas. Mataku yang semula berat terpaksa kembali terbuka. Aku bangkit dari tidurku sebelum para pelayan memasuki kamar. Badanku sangat pegal, serasa ditimpa beban berton-ton.
Dengan berat, aku melangkahkan kaki. Agak aneh karena pagi ini aku merasa tidak bisa berbuat apapun. Kakiku aku seret menuju wardrobe, aku hanya berharap bisa menemukan satu saja stel pakaian yang layak kugunakan. Nihil, hanya pakaian milik presiden yang ada di wardrobe. Aku mendesah kesal. Secara acak, aku pun mengambil pakaian kasual milik presiden. Sebuah kemeja putih yang sangat besar untuk ukuran tubuhku. Tak mungkin aku hanya menggunakan pakaian dalam keluar kamar kan?
Ditambah dengan sebuah celana kain yang sangat panjang -yang sebenarnya terlalu panjang untuk ukuran tubuhku- aku pun berjalan menuju kamar mandi.
Kutatap pantulan diriku di cermin. Aku cukup bersyukur wajahku tak begitu buruk ketika bangun pagi. Mungkin rambut kecoklatanku agak berantakan, tapi tak begitu buruk. Maksudku, tidak berantakan seperti rambut singa, ya, berantakan, tapi masih bisa ditata.
Aku mendelik seketika saat menyadari sesuatu. Kuraba leher dan permukaan kulitku dengan kasar. Bercak merah bertebaran di leher dan beberapa bagian tubuhku. Aku memejamkan mata dengan kesal, sedikit ada rasa malu dalam diriku. Dasar Presiden Marchel!
Seorang pelayan baru datang ketika aku sudah selesai mandi, ia sedikit kaget melihatku yang sudah siap dengan pakaian milik presiden.
"Nyonya, maaf saya terlambat, ini pakaian Anda," ucapnya sopan sambil menundukkan wajah.
Aku menggaruk tengkukku sedikit malu, kemudian berjalan mendekatinya.
"Tak usah menyebutku 'nyonya', aku tidak setua itu," balasku lalu menerima pakaian darinya.
"Tentu saja," jawaban tak terduga datang dari bibirnya.
Keningku berkerut bingung.
"Omong-omong pakaian presiden itu cocok juga di tubuhmu," ia mendongakkan kepalanya, dan melipat tangannya tepat di hadapanku.
Seketika mataku terbelalak. "Clara!" aku segera memeluknya.
"Hei, sudah, aku tak ingin mati muda," ucapnya memintaku segera menghentikan pelukanku yang terlalu erat.
Clara adalah sahabat terdekatku. Aku tak pernah menyangka akan bertemunya saat ini, termasuk dengan melihatnya mengenakan pakaian pelayan istana.
"Bagaimana kau bisa di sini?"
"Well, siapa yang tak ingin tinggal di istana, disekolahkan di sekolah terbaik se-Aidelore, dan yang terpenting menjadi pendamping sahabatku?"
Aku kembali memeluknya.
"Sudah, aku harus menyelesaikan beberapa pekerjaan lain. Besok aku akan mulai sekolah. Terima kasih berkatmu hari ini adalah libur nasional,"
Aku mengangguk.
YOU ARE READING
Mr. President
Action[First book of the trilogy] Kutukan. Darah. Ambisi. Tahta. 4 Hal yang tak bisa dipisahkan dari kehidupannya. Hidup seorang pemimpin negara makmur bernama Aidelore. Bukan keinginannya untuk jadi pemimpin, tapi memang sudah tugasnya. -Marc...